NILAI-NILAI
PENDIDIKAN DALAM
AL-QUR’AN SURAH AL-ISRA’ AYAT 23-25
DAN
AKTUALISASINYA DALAM DUNIA MODERN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan
Melengkapi Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana
Dalam Ilmu Pendidikan Islam
oleh:
K H A N I F
NIM : 073111029
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
ii
PERNYATAAN
KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini
:
Nama : Khanif
NIM : 073111029
Jurusan/ Program Studi :
Tarbiyah/PAI
Menyatakan bahwa skripsi ini
secara keseluruhan adalah hasil penelitian/
karyasaya sendiri, kecuali bagian
tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 4 April 2012
Saya yang menyatakan
Khanif
NIM. 073111029
iii
iv
v
vi
ABSTRAK
Judul : Nilai-Nilai Pendidikan
Dalam Q.S Al-Isra’ Ayat 23-25dan
Aktualisasinya
Dalam Dunia Modern
Penulis : Khanif
NIM : 073111029
Skripsi ini membahas nilai-nilai
pendidikan yang terkandung dalam Q.S
Al-Isra’ Ayat 23-25 dan
aktualisasinya dalam dunia modern. Kajiannya dilatar
belakangi oleh minimnya
pendidikan aqidah (Mengesakan Allah) dan berbuat
baik kepada kedua orang tua (birrul
walidaini). Studi ini dimaksudkan untuk
menjawab permasalahan:(1) Apa
nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam
Q.S. Al-Isra’ ayat 23-25? (2)
Bagaimanakah aktualisasi nilai-nilai pendidikan
agama berdasarkan Q.S Al-Isra’
ayat 23-25 dalam dunia modern? Permasalahan
tersebut dibahas melalui kitab
suci Al-Quran yang menjadi pedoman hidup orang
Islam. Selain itu, sumber data
penulisan ini juga diambil dari buku-buku atau
bahan bacaan yang relevan dengan
pembahasan masalah dalam penulisan skripsi
ini. Sumber data penelitian ini
penulis bedakan menjadi dua kelompok, yang
pertama adalah sumber primer yang
berasal dari Al-Quran dan yang kedua adalah
sumber sekunder yang berasal dari
data yang diperoleh dari sumber-sumber lain
yang masih berkaitan dengan
masalah penelitian seperti: Tafsir klasik dan tafsir
kontemporer.
Kajian ini menunjukkan bahwa: (1)
Nilai-nilai pendidikan yang
terkandung dalam Q.S Al-Isra’
ayat 23-25 yaitu pertama, pendidikan akidah yakni
Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya
untuk mengesakan-Nya dalam ibadah dan
dalam penyembahan serta melarang
mereka menyekutukan Allah dengan apa pun
atau siapa pun. Oleh sebab itu,
yang berhak mendapat penghormatan tertinggi
hanyalah yang menciptakan alam
dan semua isinya yaitu Allah SWT.kedua,
Pendidikan birrul walidainiyakni
sesudah Allah memerintahkan supaya jangan
menyembah selain Dia lalu Allah
memerintahkan kepada kaum Muslimin agar
mereka benar-benar memperhatikan
urusan kebaktian kepada kedua ibu bapak dan
tidak menganggapnya sebagai
urusan yang remeh, dengan menjelaskan bahwa
Tuhanlah yang lebih mengetahui
apa yang tergetar dalam hati mereka.(2)
aktualisasinilai-nilai pendidikan
berdasarkan Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 dalam dunia
modern yaitu pertama,
pendidikan akidah di sekolahan hendaknya mengajarkan
kepada peserta didik bertauhid
meng-Esakan Allah bahwa tidak ada tuhan yang
patut disembah selain Allah Tuhan
Yang Maha Esa. Jumlah jam pelajaran yang
terbatas dengan materi yang
diserat menyebabkan guru agama mengambil jalan
pintas yang paling mudah, yaitu
melihat pendidikan agama tidak lebih sebagai
pelajaran daripada sebagai
pendidikan.kedua, pendidikan birrul walidaindalam
dunia modern sekarang inijustru
perlakuan terhadap orang tua yang sudah lanjut
usia sungguh terbalik. Di saat
mereka membutuhkan perhatian lebih dari orangorang
terdekat terutama seorang anak,
malahan mereka kebanyakan diasingkan
dari keluarga dengan alasan
supaya mendapatkan perhatian yang lebih baik.
Akhirnya, mereka dititipkan di
panti jompo atau yang lain.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdulillah kehadirat
Allah SWT, karena ijin dan ridha-Nya
penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul ”Nilai-Nilai Pendidikan Dalam
Q.S Al-Isra’ Ayat 23-25 Dan Aktualisasinya Dalam
Dunia Modern”.
Shalawat
dan salam senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir
zaman dan pembawa rahmat bagi
makhluk seluruh alam. Dalam penulisan ini,
penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan. Hal ini terlepas dari
keterbatasan penulis sebagai
manusia dengan segala kekurangan dan kekhilafan.
Tidak ada kata yang pantas
penulis ungkapkan kepada pihak-pihak yang
membantu proses pembuatan skripsi
ini, kecuali terima kasih yang sebesarbesarnya
kepada:
1. Dr. Suja’i, M.Ag. selaku Dekan
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
selalu mengembangkan keilmuan di
Fakultas Tarbiyah.
2. Nasirudin, M.Ag. selaku Ketua
Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
yang selalu memberi arahan dan nasehat.
3. Dr. Musthofa, M.Ag. selaku
pembimbing I danAlis Asikin, M.A. selaku
pembimbing II yang telah berkenan
untuk meluangkan waktu, tenaga dan
pikirannya, untuk membimbing dan
mengarahkan penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
4. Dosen jurusan Pendidikan Agama
Islam yang telah membekali penulis dengan
berbagai ilmu pengetahuan dan
pengalaman
5. Ayahanda H. Subkhan dan ibunda
Hj. Mutiah yang tidak henti-hentinya
memberikan dorongan baik moril
maupun materiil dan tidak pernah bosan
mendoakan penulis dalam menempuh
studi dan mewujudkan cita-cita.
6. Teman-teman penulis yaitu Adam
Fatukaloba, Rois Ma’sum dan Mukhlisin
yang ikut memberikan motivasi
selama menempuh studi, khususnya dalam
proses penyusunan skripsi ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Semoga Allah SWT membalas semua
amal kebaikan mereka dengan balasan yang
lebih dari yang mereka berikan.
viii
Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,
baik dari segi materi, metodologi
dan analisisnya. Oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT
penulis berharap, semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa
bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para
pembaca pada umumnya. Amin.
Semarang,4 April2012
Penulis
Khanif
073111029
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
...........................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN
.............................................................................
ii
PENGESAHAN
..................................................................................................
iii
NOTA PEMBIMBING
.......................................................................................
iv
ABSTRAK
........................................................................................................
vi
TRANSLITERASI
.............................................................................................
vii
KATA PENGANTAR
......................................................................................
viii
DAFTAR ISI
.....................................................................................................
x
BAB I: PENDAHULUAN
......................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah
.................................................................... 1
B. Rumusan Masalah
..............................................................................
2
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
.......................................................... 3
D. Kajian Pustaka
...................................................................................
3
E. Metode
Penelitian.....................................................................
......... 5
F. Sistematika
Pembahasan............................................................. .......
8
BAB II : DESKRIPSI Q.S AL-ISRA’
AYAT 23-25 ............................................. 9
A. Surat Al-Isra’ Ayat 23-25
.................................................................. 9
1. Redaksi Ayat dan Terjemahan
...................................................... 9
2. Munasabah
...................................................................................
9
3. Asbabun Nuzul
............................................................................ 11
B. Pendapat Mufasir Klasik
Tentang Penafsiran Q.S Al-Isra’ Ayat .... 14
C. Pendapat Mufasir Kontemporer
Tentang Penafsiran Q.S Al-Isra’
Ayat 23-25
.......................................................................................
19
x
BAB III : NILAI-NILAI PENDIDIKAN
DALAM Q.S AL-ISRA’ AYAT
23-25
.....................................................................................................
25
A. Pendidikan Tauhid
........................................................................... 25
B. Pendidikan Birrul Walidaini
............................................................ 31
BAB IV : AKTUALISASI NILAI-NILAI
PENDIDIKAN Q.S AL-ISRA’
AYAT 23-25 DALAM DUNIA MODERN
......................................... 42
A. Penguatan Akidah Peserta Didik
..................................................... 42
B. Penanaman Nilai Birrul
Walidaini .................................................. 51
BAB V PENUTUP
................................................................................................
58
A. Kesimpulan
......................................................................................
58
B. Saran
................................................................................................
59
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
NILAI-NILAI
PENDIDIKAN DALAM
AL-QUR’AN SURAH AL-ISRA’ AYAT 23-25
DAN
AKTUALISASINYA DALAM DUNIA MODERN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan
Melengkapi Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana
Dalam Ilmu Pendidikan Islam
oleh:
K H A N I F
NIM : 073111029
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
ii
PERNYATAAN
KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini
:
Nama : Khanif
NIM : 073111029
Jurusan/ Program Studi :
Tarbiyah/PAI
Menyatakan bahwa skripsi ini
secara keseluruhan adalah hasil penelitian/
karyasaya sendiri, kecuali bagian
tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 4 April 2012
Saya yang menyatakan
Khanif
NIM. 073111029
iii
iv
v
vi
ABSTRAK
Judul : Nilai-Nilai Pendidikan
Dalam Q.S Al-Isra’ Ayat 23-25dan
Aktualisasinya
Dalam Dunia Modern
Penulis : Khanif
NIM : 073111029
Skripsi ini membahas nilai-nilai
pendidikan yang terkandung dalam Q.S
Al-Isra’ Ayat 23-25 dan
aktualisasinya dalam dunia modern. Kajiannya dilatar
belakangi oleh minimnya
pendidikan aqidah (Mengesakan Allah) dan berbuat
baik kepada kedua orang tua (birrul
walidaini). Studi ini dimaksudkan untuk
menjawab permasalahan:(1) Apa
nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam
Q.S. Al-Isra’ ayat 23-25? (2)
Bagaimanakah aktualisasi nilai-nilai pendidikan
agama berdasarkan Q.S Al-Isra’
ayat 23-25 dalam dunia modern? Permasalahan
tersebut dibahas melalui kitab
suci Al-Quran yang menjadi pedoman hidup orang
Islam. Selain itu, sumber data
penulisan ini juga diambil dari buku-buku atau
bahan bacaan yang relevan dengan
pembahasan masalah dalam penulisan skripsi
ini. Sumber data penelitian ini
penulis bedakan menjadi dua kelompok, yang
pertama adalah sumber primer yang
berasal dari Al-Quran dan yang kedua adalah
sumber sekunder yang berasal dari
data yang diperoleh dari sumber-sumber lain
yang masih berkaitan dengan
masalah penelitian seperti: Tafsir klasik dan tafsir
kontemporer.
Kajian ini menunjukkan bahwa: (1)
Nilai-nilai pendidikan yang
terkandung dalam Q.S Al-Isra’
ayat 23-25 yaitu pertama, pendidikan akidah yakni
Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya
untuk mengesakan-Nya dalam ibadah dan
dalam penyembahan serta melarang
mereka menyekutukan Allah dengan apa pun
atau siapa pun. Oleh sebab itu,
yang berhak mendapat penghormatan tertinggi
hanyalah yang menciptakan alam
dan semua isinya yaitu Allah SWT.kedua,
Pendidikan birrul walidainiyakni
sesudah Allah memerintahkan supaya jangan
menyembah selain Dia lalu Allah
memerintahkan kepada kaum Muslimin agar
mereka benar-benar memperhatikan
urusan kebaktian kepada kedua ibu bapak dan
tidak menganggapnya sebagai
urusan yang remeh, dengan menjelaskan bahwa
Tuhanlah yang lebih mengetahui
apa yang tergetar dalam hati mereka.(2)
aktualisasinilai-nilai pendidikan
berdasarkan Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 dalam dunia
modern yaitu pertama,
pendidikan akidah di sekolahan hendaknya mengajarkan
kepada peserta didik bertauhid
meng-Esakan Allah bahwa tidak ada tuhan yang
patut disembah selain Allah Tuhan
Yang Maha Esa. Jumlah jam pelajaran yang
terbatas dengan materi yang
diserat menyebabkan guru agama mengambil jalan
pintas yang paling mudah, yaitu
melihat pendidikan agama tidak lebih sebagai
pelajaran daripada sebagai
pendidikan.kedua, pendidikan birrul walidaindalam
dunia modern sekarang inijustru
perlakuan terhadap orang tua yang sudah lanjut
usia sungguh terbalik. Di saat
mereka membutuhkan perhatian lebih dari orangorang
terdekat terutama seorang anak,
malahan mereka kebanyakan diasingkan
dari keluarga dengan alasan supaya
mendapatkan perhatian yang lebih baik.
Akhirnya, mereka dititipkan di
panti jompo atau yang lain.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdulillah kehadirat
Allah SWT, karena ijin dan ridha-Nya
penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul ”Nilai-Nilai Pendidikan Dalam
Q.S Al-Isra’ Ayat 23-25 Dan Aktualisasinya Dalam
Dunia Modern”.
Shalawat
dan salam senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir
zaman dan pembawa rahmat bagi
makhluk seluruh alam. Dalam penulisan ini,
penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan. Hal ini terlepas dari
keterbatasan penulis sebagai
manusia dengan segala kekurangan dan kekhilafan.
Tidak ada kata yang pantas
penulis ungkapkan kepada pihak-pihak yang
membantu proses pembuatan skripsi
ini, kecuali terima kasih yang sebesarbesarnya
kepada:
1. Dr. Suja’i, M.Ag. selaku Dekan
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
selalu mengembangkan keilmuan di
Fakultas Tarbiyah.
2. Nasirudin, M.Ag. selaku Ketua
Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
yang selalu memberi arahan dan nasehat.
3. Dr. Musthofa, M.Ag. selaku
pembimbing I danAlis Asikin, M.A. selaku
pembimbing II yang telah berkenan
untuk meluangkan waktu, tenaga dan
pikirannya, untuk membimbing dan
mengarahkan penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
4. Dosen jurusan Pendidikan Agama
Islam yang telah membekali penulis dengan
berbagai ilmu pengetahuan dan
pengalaman
5. Ayahanda H. Subkhan dan ibunda
Hj. Mutiah yang tidak henti-hentinya
memberikan dorongan baik moril
maupun materiil dan tidak pernah bosan
mendoakan penulis dalam menempuh
studi dan mewujudkan cita-cita.
6. Teman-teman penulis yaitu Adam
Fatukaloba, Rois Ma’sum dan Mukhlisin
yang ikut memberikan motivasi
selama menempuh studi, khususnya dalam
proses penyusunan skripsi ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Semoga Allah SWT membalas semua
amal kebaikan mereka dengan balasan yang
lebih dari yang mereka berikan.
viii
Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,
baik dari segi materi, metodologi
dan analisisnya. Oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT
penulis berharap, semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa
bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para
pembaca pada umumnya. Amin.
Semarang,4 April2012
Penulis
Khanif
073111029
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
...........................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN
.............................................................................
ii
PENGESAHAN
..................................................................................................
iii
NOTA PEMBIMBING
.......................................................................................
iv
ABSTRAK
........................................................................................................
vi
TRANSLITERASI .............................................................................................
vii
KATA PENGANTAR
......................................................................................
viii
DAFTAR ISI
.....................................................................................................
x
BAB I: PENDAHULUAN
......................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah
.................................................................... 1
B. Rumusan Masalah
..............................................................................
2
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
.......................................................... 3
D. Kajian Pustaka
...................................................................................
3
E. Metode
Penelitian.....................................................................
......... 5
F. Sistematika
Pembahasan............................................................. .......
8
BAB II : DESKRIPSI Q.S AL-ISRA’
AYAT 23-25 ............................................. 9
A. Surat Al-Isra’ Ayat 23-25
.................................................................. 9
1. Redaksi Ayat dan Terjemahan
...................................................... 9
2. Munasabah
...................................................................................
9
3. Asbabun Nuzul
............................................................................ 11
B. Pendapat Mufasir Klasik
Tentang Penafsiran Q.S Al-Isra’ Ayat .... 14
C. Pendapat Mufasir Kontemporer
Tentang Penafsiran Q.S Al-Isra’
Ayat 23-25
.......................................................................................
19
x
BAB III : NILAI-NILAI PENDIDIKAN
DALAM Q.S AL-ISRA’ AYAT
23-25
.....................................................................................................
25
A. Pendidikan Tauhid
........................................................................... 25
B. Pendidikan Birrul Walidaini
............................................................ 31
BAB IV : AKTUALISASI NILAI-NILAI
PENDIDIKAN Q.S AL-ISRA’
AYAT 23-25 DALAM DUNIA MODERN
......................................... 42
A. Penguatan Akidah Peserta Didik
..................................................... 42
B. Penanaman Nilai Birrul
Walidaini .................................................. 51
BAB V PENUTUP
................................................................................................
58
A. Kesimpulan
......................................................................................
58
B. Saran
................................................................................................
59
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Al-Quran merupakan kalam Allah
yang mu’jiz, yang
diturunkan kepada Nabi
dan Rasul terakhir (Muhammad SAW)
melalui perantara malaikat Jibril ditulis dalam
lembaran-lembaran (mashahif)
sampai kepada umat manusia secara mutawatir dan
membacanya termasuk ibadah,
diawali dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan
surat al-Nas.1Al-Quran juga sebagai sumber utama
ajaran agama Islam. Di dalamnya
mencakup ajaran tentang I’tiqad (keyakinan), akhlak (etika), sejarah,
serta amaliyah
(tindakan praktis).2
Al-Quran merupakan peraturan bagi
umat sekaligus sebagai way of lifenya
yang kekal hingga akhir masa.
Oleh karena itu, kewajiban umat Islam adalah
memberikan perhatian yang besar
terhadap Al-Quran baik dengan cara membacanya,
menghafalkan atau mempelajarinya.
Dalam Al-Quran tidak terdapat sedikitpun
kebatilan serta kebenarannya
terpelihara dan dijamin keasliannya oleh Allah SWT
sampai hari kiamat.3Sebagaimana firman Allah dalam QS.
Al-Hijr ayat 9 yang
artinya : “Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan Sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya”.4 Al-Quran diturunkan bertujuan untuk
menjadi
petunjuk (hudan) dan
pedoman bagi manusia dalam menata perjalanan hidupnya
dunia sampai akhirat. Al-Quran
sebagai petunjuk tidak akan bermanfaat sebagaimana
mestinya jika tidak dibaca,
dipahami maknanya (kognitif), dihayati kandungannya
(afektif), dan kemudian diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari (psikomotor).5Al-
1 Muhammad „Aly As Shabuny, Al-Tibyan Fi ‘Ulum Al-Quran, (Bairut: Alim
Al Kutub,
1985), hlm. 8
2 Ngainun Naim, Pengantar Studi
Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 56
3 Raghib As Siraji, Cara Cerdas
Hafal Al-Qur’an, (Solo: Aqwam,
2010), hlm. 16
4 Departemen Agama RI, Al-Quran
dan Terjemah Indonesia Inggris, (Solo: Qamari, 2008), hlm. 515
5 Mana‟ Khalil
Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj.
Mudzakir, (Bogor: Pustaka
Literatur Antarnusa, 2007), hlm.
19
2
Quran bukanlah merupakan kitab
undang-undang dan lebih lagi bukan buku sains
dan teknologi.
Menurut Fazlur Rahman bahwa
tujuan pokok Al-Quran adalah ajaran moral.
jika melihat kebelakang, keadaan
dimana pertama kali Al-Quran diturunkan, maka
akan ditemui keadaan masyarakat
Makkah yang penuh dengan berbagai problem
sosial. Dari yang paling kronis
berupa praktek-praktek polyteisme penyembahan
kepada berhala-berhala,
eksploitasi terhadap orang miskin-miskin, penyalahgunaan
di dalam perdagangan, sampai pada
tidak adanya tanggung jawab umum terhadap
masyarakat. Meresponi situasi
masayarakat seperti itu, Al-Quran meletakkan ajaran
tauhid atau ketuhanan Yang Maha
Esa, di mana setiap manusia harus
bertanggungjawab kepadanya, dan
pemberantasan kejahatan sosial dan ekonomi dari
tingkat yang paling bawah sampe
ke tingkat yang paling atas.6
Selain pelajaran mengenai aqidah,
dalam ayat ini penulis juga
mengidentifikasi masalah lain
yang menjadi pokok kandungannya, diantaranya yaitu
aspek akhlak yang menjelaskan
tentang birrul walidain (berbuat baik pada kedua
orang tua). Dimana akhlak seorang
anak terhadap kedua orangtua saat-saat mereka
sangat membutuhkan yakni di saat
kedua orang tua dalam usia lanjut. Bagaimana
seorang anak berbuat baik kepeda
kedua orang tua karena pada saat lanjut usia
perilaku mereka berubah seperti
anak-anak dan banyak lupa. Ini termasuk bagian
dari perilaku birrul walidain seorang
anak terhadap kedua orang tua.7
B. Rumusan
Masalah
Dalam tulisan ini, yang penulis
jadikan sebagai rumusan masalah adalah:
1. Apa nilai-nilai pendidikan
yang terkandung dalam Q.S. Al-Isra‟ ayat 23-25?
2. Bagaimanakah aktualisasi
nilai-nilai pendidikan agama berdasarkan Q.S Al-Isra‟
ayat 23-25 dalam dunia modern?
6A. Qodri Azizy, Pendidikan
Untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003),
hlm. 92
7 M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Quran, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007), hlm. 45
3
C. Tujuan dan
Manfaat Penelitian
Berdasarkan pada pokok
permasalahan di atas, tujuan dilakukan penelitian ini
adalah untuk mengetahui
nilai-nilai yang terkandung pada surat Al-Isra‟ ayat 23-25
dan aktualisasinya dalam dunia
modern. Sedangkan manfaat yang dapat kita ambil
dari penelitian telaah Al-Quran
ini adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan wawasan yang lebih
komprehensif terhadap pemahaman nilai-nilai
yang terkandung dalam Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 dan
aktualisasinya dalam dunia
modern.
2. Hasil dari penelitian ini
diharapkan mampu membantu dalam usaha penghayatan
dan pengamalan terhadap isi
kandungan dan nilai-nilai yang ada pada Al-Quran
baik yang tersirat atau pun yang
tersurat, lebih khusus lagi pada Q.S Al-Isra‟ ayat
23-25 dan aktualisasinya dalam
dunia modern.
3. Penelitian ini dapat
memberikan sedikit sumbangan bagi literatur ilmu pendidikan
dalam beberapa aspek, yaitu aspek
aqidah, akhlak, dan mua‟malah.
D. Kajian
Pustaka
Kajian pustaka merupakan kajian
penting dalam sebuah penelitian yang akan
kita lakukan. Kajian pustaka
disebut juga kajian literal. Kajian pustaka merupakan
sebuah uraian tentang literatur
yang relevan dengan bidang atau topik tertentu.8
Penelitian pustaka ini pada
dasarnya bukan penelitian yang benar-benar baru.
Sebelum ini banyak yang sudah
mengkaji objek penelitian tentang nilai-nilai
pendidikan. Oleh karena itu,
penulisan dan penekanan skripsi ini harus berbeda
dengan skripsi yang telah dibuat
sebelumnya. Adapun telaah yang digunakan pada
penulisan skripsi ini ialah
menggunakan prior research (penelitian terdahulu). Prior
research yaitu penelitian
terdahulu yang telah membahas nilai-nilai pendidikan.
Namun prior research yang
digunakan penulis dalam pembuatan skripsi ini,
adalah nilai-nilai pendidikan
yang telah dikhususkan objek kajiannya, seperti nilainilai
pendidikan akidah dan akhlak, dan
lain sebagainya. Diantara prior research
yang dimaksudkan diantaranya
adalah sebagai berikut :
8 Punaji Setyosari, Metode
Penelitian Pendidikan, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm 72
4
1. Nilai-nilai pendidikan akhlak menurut Al Qur’an surat At
Taghabun ayat 14.
Disusun oleh Faiq Jauharotul
Huda. Di sini dinyatakan nilai-nilai pendidikan
akhlak yang dilakukan kepada anak
dengan menggunakan metode pembiasaan
yang sekaligus dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari harus mengikuti dan
menyesuaikan dengan perkembangan
anak. Penerapan pendidikan antara periode
satu dengan periode yang lainnya
harus berbeda, sebagai perbedaan tersebut
berpengaruh terhadap perbedaan
usia dan bahkan peningkatan karakter dan
paradigma anak. Jadi pendidikan
akhlak yang dilakukan kepada anak seharusnya
menggunakan metode pembiasaan
yang sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari.9
2. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surah Al A’raf ayat
199.
Disusun oleh Zaenal
Abidin.10 Di sini
dinyatakan bahwa pola pendidikan Islami adalah pola
pendidikan Qurani yang
diaplikasikan oleh Rasulullah Saw. dalam kehidupan
sehari-hari, diantaranya melalui
metode-metode pendidikan yang dicontohkan
oleh beliau. Metode pendidikan
Qurani adalah suatu cara atau tindakan-tindakan
dalam lingkup peristiwa
pendidikan yang terkandung dalam Al-Quran dan Assunnah.
Jadi metode dalam pendidikan
akhlak seharusnya menganut kepada
pendidkan yang diajarkan oelh
Rasulullah yang terkandung dalam Al-Quran dan
As-sunnah 11
3. Nilai-nilai pendidikan
social dalam Al-Quran surat Al Ma’un. Disusun oleh
Nikmatul Ulfa. Di sini dinyatakan
bahwa pembiasaan dalam pendidikan memiliki
peranan yang sangat penting
karena dengan membiasakan kepada anak terhadap
hal-hal yang baik akan memasukkan
unsur-unsur positif dalam pribadi yang
sedang tumbuh dengan metode
pembiasaan, pembelajaran diharapkan akan lebih
bermakna bagi siswa. Jadi Metode
pembiasaaan tepat untuk diterapkan dalam
pengamalan pendidikan ahklak
sebagai mata pelajaran yang dapat mendorong
9 Faiq Jauharotul Huda (3101332),
Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Menurut Al-Qur’an
Surat At-
Taghabun Ayat 14, (Semarang :
Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2008), td
10 Zaenal Abidin (3102044), Nilai-Nilai
Pendidikan Akhlak Dalam Surah Al-A’raf
Ayat 199,
(Semarang : Perpustakaan Fakultas
Tarbiyah, 2007), td
11 Heri Jauhari Muchtar, Fiqih
Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosda karya, 2005), hlm.
216
5
siswa menghayati sekaligus
mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan
sehari-hari.12
4. Nilai-nilai pendidikan
keimanan anak dalam al-Quran surat al Jin ayat 20.
Disusun oleh Sri Mulyati.13 Di sini
dinyatakan bahwa dengan bertambahnya ilmu,
iman, sesorang akan lebih mantap,
lebih kokoh, dan tindak tanduknya selalu
mengingat keagungan dan kebesaran
Illahi. Ilmu yang dimaksud tersebut adalah
ilmu tentang alam (sunatullah)
serta ilmu tentang agama Allah SWT (dinullah),
sebab keduanya merupakan
kebenaran yang datangnya dari Allah.14
Dari beberapa kajian pustaka di
atas, maka jelaslah bahwa tulisan skripsi
yang membahas tentang nilai-nilai
pendidikan dalam Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25
belumlah ada yang membahasnya.
Dari hal inilah, penulis akan mencoba
memaparkan dan menganalisis
tentang nilai-nilai pendidikan yang ada pada Q.S
Al-Isra‟ ayat 23-25 dan
Aktualisasinya dalam dunia modern.
E. Metode
Penelitian
1. Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti
mengemukakan fokus penelitian sebagai
berikut : nilai-nilai pendidikan
pada Q.S Al-Isra‟ yang meliputi tentang aspek
pendidikan aqidah dan aspek
pendidikan birrul walidain (berbuat baik pada
kedua orang tua), Bagaimana
akhlak seorang anak terhadap kedua orangtua di
saat mereka sangat membutuhkan
yakni di saat kedua orang tua dalam usia
lanjut. Seharusnya seorang anak
berbuat baik kepeda kedua orang tua karena
pada saat lanjut usia perilaku
mereka berubah seperti anak-anak dan banyak lupa.
Ini bagian dari perilaku birrul
walidain seorang anak terhadap kedua orang tua.
Penelitian ini secara tidak
langsung juga merupakan studi sejarah
mengenai cerita isra‟ mi‟rajnya nabi
Muhammad SAW, karena hal tersebut juga
12 Nikmatul Ulfa, Nilai-Nilai
Pendidikan Social Dalam Al-Quran Surat Al-Ma’un, (Semarang :
Perpustakaan Fakultas Tarbiyah,
2008), td
13 Sri Mulyati, Nilai-Nilai
Pendidikan Keimanan Anak Dalam Al-Quran Surat Al-Jin Ayat 20,
(Semarang : Perpustakaan fakultas
tarbiyah, 2010), td
14 Musa Sueb, Urgensi Keimanan
Dalam Abad Globalisasi, (Jakarta: Padoman Ilmu Jaya,
1996), hlm. 63
6
terdapat pada Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25, dan
yang menjadi fokus penelitian ini
adalah mengenai isi dari Q.S
Al-Isra‟
ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam dunia
modern.
2. Sumber Data
Data penelitian ini diperolehdari
kitab suci Al-Quran yang menjadi
pedoman hidup orang Islam. Selain
itu, sumber data penulisan ini juga diambil
dari buku-buku atau bahan bacaan
yang relevan dengan pembahasan masalah
dalam penulisan skripsi ini.
Sumber data penelitian ini penulis bedakan menjadi
dua kelompok, yang pertama adalah
sumber primer, dan yang kedua adalah
sumber sekunder.
a) Sumber Primer
Sumber primer adalah data yang
diperoleh dari sumber inti. Dalam
melakukan kajian mengenai suatu ayat,
maka jelaslah kalau yang menjadi
sumber data primer adalah berasal
dari Al-Quran.
b) Sumber Sekunder
Data sekunder adalah data yang
diperoleh dari sumber-sumber lain
yang masih berkaitan dengan
masalah penelitian, dan memberi interpretasi
terhadap sumber primer. Sumber
data sekunder dapat berupa kitab-kitab tafsir
maupun buku-buku bacaan yang
masih relevan dengan pembahasan skripsi
ini.15 Kitab-kitab
tafsir yang penulis jadikan sebagai referensi penulisan
skripsi adalah sebagai berikut :
1) Tafsir klasik :
a) Tafsir Al Maraghi,
karya Ahmad Musthafa Al Maraghi
b) Tafsir Al Munir, karya
Muhammad Nawawi Al Jawi
c) Tafsir Fi Dzilalil Quran,
karya Sayyid Quthb
2) Tafsir kontemporer :
a) Tafsir Al Misbah, karya
M.Quraish Shihab.
b) TafsirAl-Azhar, karya
Abdul Malik Karim amrullah
c) Tafsir Al Bayan, karya
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
15 Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2006), hlm. 231
7
3. Metode Pengumpulan Data
Tidak kalah penting dari
metode-metode lain, adalah metode
dokumentasi, yaitu mencari data
mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkip, buku, surat
kabar, majalah, prasasti, dan sebagainya.16
Menjadikan perpustakaan sebagai
sumber data utama, yang dimaksud
adalah untuk menggali teori dan
konsep yang telah ditentukan oleh para ahli
terdahulu, mengikuti perkembangan
penelitian di bidang yang akan diteliti,
memperoleh orientasi yang luas
mengenai topik yang dipilih, dan memanfaatkan
data sekunder, serta menghindari
duplikasi penelitian. Kemudian ditelaah dan
dikritisi, serta mengadakan
interpretasi secara cermat dan mendalam.
4. Metode Analisis Data
Setelah data yang dibutuhkan
terkumpul, langkah berikutnya adalah
menganalisis dengan metode yang
diinginkan. Metode yang digunakan dalam
menganalisis tulisan ini adalah
metode tahlili.
Metode Tahlili adalah
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan
memaparkan segala aspek yang
terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
itu, serta menerangkan
makna-makna yang mencakup di dalamnya sesuai dengan
keahlian dan kecenderungan
mufasir yang mentafsirkan ayat tersebut.
Dalam metode ini, biasanya
mufasir menguraikan makna yang
terkandung dalam Al-Quran, ayat
demi ayat, dan surat demi surat sesuai dengan
urutannya di dalam mushaf.
Uraian tersebut mencakup berbagai aspek yang
terkandung dalam ayat yang
ditafsirkan, seperti pengertian kosakata, konotasi
kalimatnya, latar belakang turun
ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik
sebelum maupun sesudahnya. Dan
tak ketinggalan pula pendapat yang telah
diberikan berkenaan dengan
tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan
oleh Nabi, sahabat, para tabi’in, maupun ahli tafsir lainnya.17
16 Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, hlm. 231
17 Nashrudin Baidan, Methodologi
Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005),
hlm. 31
8
F. Sistematika
Pembahasan
Bab pertama dimulai dengan latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, kajian
pustaka, metodologi penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua mendeskripsikan tentang
Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25 menurut para
mufassir yakni menurut mufassir
klasik dan mufassir kontemporer.
Bab ketiga pemaparan nilai-nilai
pendidikan dalam Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25.
Bab keempat analisa dari
aktualisasi pendidikan Q.S Al-Isra‟ ayat 23-25
dalam
dunia modern.
Bab kelima kesimpulan secara
keseluruhan serta memberi saran jika perlu.
9
BAB II
DESKRIPSI Q.S
AL-ISRA’ AYAT 23-25
A. Surat Al-Isra’ Ayat 23-25
1. Redaksi Ayat dan Terjemahan
___________
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah
seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan "Ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka Perkataan yang mulia,
dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil", Tuhanmu
lebih mengetahui apa yang ada
dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang
baik, Maka Sesungguhnya Dia Maha
Pengampun bagi orang-orang yang
bertaubat”.1
2. Munasabah
Munasabah secara etimologi
berarti kedekatan (al-muqarabah) dan
kemiripan atau keserupaan (al-musyakalah).
Ia juga bisa berarti hubungan atau
persesuaian. Secara terminologi munasabah
adalah ilmu Al-Quran yang
digunakan untuk mengetahui
hubungan antar ayat atau surat dalam Al-Quran
secara keseluruhan dan latar
belakang penempatan tertib ayat dan suratnya.
Menurut Quraisy Shihab munasabah
adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat
pada hal-hal tertentu dalam
Al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang
1 Idris Abdul Somad, Dkk., Al-Quran
dan Tafsirnya, (Semarang: PT. Citra Effhar, 1993),
hlm. 550-551.
10
menghubungkan uraian satu dengan
yang lainnya.2
Pendapat
lain mengatakan
bahwa munasabah merupakan
sebuah ilmu yang digunakan untuk mengetahui
alasan-alasan penertiban
bagian-bagian dari Al-Quran. Bahkan pendapat lain
mengatakan munasabah merupakan
usaha pemikiran manusia dalam menggali
rahasia hubungan antar ayat atau
surat yang dapat diterima oleh akal. Dengan
demikian, ilmu ini menjelaskan
aspek-aspek hubungan antara beberapa ayat atau
surat Al-Quran baik sebelum
maupun sesudahnya. Hubungan tersebut bisa berupa
hubungan am (umum) dan khas
(khusus), antara yang abstrak dan yang kongkrit,
antara sebab dan akibat, antara
yang rasional dan yang irasional, atau bahkan
antara dua hal yang kontradiktif.
Adapun yang menjadi ukuran
(kriteria) dalam menerangkan macammacam
munasabah ini dikembalikan
kepada derajat kesesuaian (tamatsul atau
tasyabuh) antara
aspek-aspek yang dibandingkannya. Jika munasabah itu terjadi
pada masalah-masalah yang satu
sebabnya dan ada kaitan antara awal dan
akhirnya, maka munasabah ini
dapat dipahami dan diterima akal. Sebaliknya, jika
munasabah itu terjadi pada
ayat-ayat yang berbeda sebabnya dan masalahnya
tidak ada keserasian antara satu
dengan lainnya, maka hal itu tidak dikatakan
berhubungan (tanasub),
karena sebagian ulama mengatakan:
“Munasabah adalah suatu
urusan (masalah) yang dapat dipahami, jika ia
dikemukakan terhadap akal,
niscaya akal menerimanya”.3
Jadi dapat disimpulkan bahwa munasabah
termasuk hasil ijtihad mufasir,
bukan tawqifi (petunjuk
Nabi), buah penghayatannya terhadap kemukjizatan
(i’jaz) Al-Quran dan rahasia retorika (makna)
yang dikandungnya.4
Adapun
letak
persesuaian antara surat ini
dengan surat an-Nahl dan sebabnya surat ini
diletakkan sesudahnya adalah
sebagai berikut:
2 Nashruddin Baidam, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hlm. 184-185.
3 Supiana dan M. Karman, Ulumul
Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, (Bandung:
Pustaka Islamika, 2002), hlm.
161-162.
4 Supiana dan M. Karman, Ulumul
Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, hlm. 161-162.
11
1. Bahwa Allah SWT. pada surat
An-Nahl menceritakan tentang perselisihan
umat Yahudi mengenai hari Sabtu,
sedang pada surat ini Allah menunjukkan
Syari’at Ahlus-Sabti (Syariat
Yahudi) yang telah allah syari’atkan dalam
Taurat. Menurut riwayat yang
dikeluarkan dari Ibni Jarir dan Ibnu Abbas,
bahwa dia pernah mengatakan:
Sesungguhnya isi Taurat seluruhnya terdapat
pada lima belas ayat dari surat
Bani Israil.
2. Bahwa setelah Allah SWT.
memerintahkan Nabi SAW. supaya bersabar dan
menahan agar jangan bersedih dan
jangan bersempit dada terhadap tipu daya
orang-orang Yahudi pada surat
yang lalu, maka pada surat ini Allah
menyebutkan tentang kemuliaan
Nabi-Nya dan keluhuran di sisi Tuhannya.
3. Pada surat yang lalu, Allah
menyebutkan beberapa nikmat yang banyak,
sehingga karenanya surat itu
disebut surat An-Ni’am. Maka, di sini pun Allah
menyebut beberapa nikmat khusus
maupun umum.
4. Pada surat yang lalu, Allah
menyebutkan bahwa lebah mengeluarkan dari
dalam perutnya suatu minuman yang
bermacam-macam dan mengandung
obat bagi manusia. Maka Allah
berfirman dalam surat Al-Isra’ ayat 82 yaitu:
“Dan kami turunkan dari Al-Quran
suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman”.
5. Pada surat yang lalu, Allah
SWT menyuruh supaya menyantuni kepada
kerabat. Hal yang sama juga
diperintahkan oleh Allah di samping
diperintahkan pula agar memberi
sesuatu kepada orang miskin dan ibnu
sabil.5
3. Asbabun Nuzul
Menurut bahasa “Asbabun Nuzul”
berarti sebab-sebab turunnya ayatayat
Al-Quran. Al-Quran di turunkan
Allah SWT. kepada Muhammad SAW.
secara berangsur-angsur dalam masa
kurang lebih 23 tahun. Al-Quran diturunkan
untuk memperbaiki akidah, akhlak,
ibadah dan pergaulan manusia yang sudah
5 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah
Tafsir Al-Maragi, (Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 1993), hlm. 1-2.
12
menyimpang dari kebenaran. Sebab al-Nuzul
atau asbabunnuzul (sebab-sebab
turunnya ayat) di sini
dimaksudkan sebab-sebab yang secara khusus berkaitan
dengan turunnya ayat-ayat
tertentu. Shubhi Al-Shahih memberi definisi
asbabunnuzul (sebab-sebab
turunnya ayat) yaitu:
“Sesuatu yang dengan sebabnya
turun suatu ayat atau beberapa ayat yang
mengandung sebab itu, tau memberi
jawaban terhadap sebab itu atau
menerangkan hukumnya pada masa
terjadinya sebab tersebut”
Berdasarkan rumusan di atas bahwa
sebab turun suatu ayat adakalanya
berbentuk peristiwa dan
adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau
beberapa ayat turun untuk
menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa
tertentu atau memberi jawaban
terhadap pertanyaan tertentu.6 Surat ini
mempunyai beberapa nama, antara
lain yang paling populer adalah surat Al-Isra’
dan surat Bani Isra’il. Ia
dinamai al-Isra’ karena awal ayat ini berbicara tentang
Al-Isra’ yang merupakan uraian
yang tidak ditemukan secara tersurat selain pada
surat ini. Demikian juga dengan
nama Bani Isra’il, karena hanya di sini diuraikan
tentang pembinaan dan
penghancuran Bani Isra’il. Ia juga dinamakan dengan
surat subhana karena awal
ayatnya dimulai dengan kata tersebut. Nama yang
populer bagi kumpulan ayat ini
pada masa Nabi SAW. adalah surat Bani Isra’il.
Pakar hadits at-Tirmidzi
meriwayatkan melalui Aisyah ra., istri Nabi bahwa Nabi
SAW. tidak akan tidur sebelum
membaca surat Az-Zumar dan Bani Isra’il.
Surat ini menurut mayoritas ulama
turun sebelum Nabi SAW. berhijrah
ke Madinah, dengan demikian ia
merupakan salah satu surat makiyyah.7 Surat Al-
Isra’ di turunkan di kota Makkah,
setelah turunnya surat Al-Qashas. Dalam urutan
yang ada di dalam Al-Quran, surat
Al-Isra’ berada setelah surat Al-Nahl dan
memiliki 111 ayat.8 Ada yang
mengecualikan dua ayat, yaitu ayat 73 dan 74, dan
6 Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul
Quran 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000),
hlm. 89-90.
7 M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 401.
8 Amr Khalid, Spiritual Al-Quran,
(Yogyakarta: Darul Hikmah, 2009), hlm. 339.
13
ada yang menambahkan juga ayat 60
dan ayat 80. Masih ada pendapat lain
menyangkut
pengecualian-pengecualian beberapa ayat Makiyyah. Pengecualian
itu disebabkan karena ayat-ayat
yang dimaksud dipahami sebagai ayat yang
membicarakan tentang keadaan yang
diduga terjadi pada periode Madinah, namun
pemahaman tersebut tidak harus
demikian. Karena itu penulis cenderung
mendukung pendapat ulama yang
menjadikan seluruh ayat surat ini Makiyyah.
Memang peristiwa hijrah terjadi
tidak lama setelah peristiwa Isra’ dan
Mi’raj Nabi SAW., yakni sekitar
setahun lima bulan dan ini berarti turunnya surat
ini pada tahun XII kenabian, di
mana jumlah kaum muslimin ketika saat itu relatif
banyak, walau harus diakui bahwa
dibukanya surat ini dengan uraian tentang
peristiwa Isra’, belum tentu ia
langsung turun sesudah peristiwa itu. Bisa saja ada
ayat-ayat yang turun sebelumnya
dan ada juga yang turun sesudahnya.9 Imam Al-
Biqa’i berpendapat bahwa tema
utama surat ini adalah ajakan menuju ke hadirat
Allah SWT., dan meninggalkan
selain-Nya, karena hanya Allah pemilik rincian
segala sesuatudan Dia juga yang
mengutamakan sesuatu atas lainnya. Itulah yang
dinamakan taqwa yang batas
minimalnya adalah pengakuan Tauhid/Keesaan
Allah SWT. Yang juga menjadi
pembuka surat yang lalu (An-Nahl) dan
puncaknya adalah ihsan yang
merupakan penutup uraian surat An-Nahl. Ihsan
mengandung makna fana’, yakni peleburan diri kepada Allah SWT.
Semua nama-nama surat ini mengacu
pada tema itu. Namun subhana
yang mengandung makna penyucian
Allah SWT. Merupakan nama yang paling
jelas untuk tema itu, karena
siapa yang Maha Suci dari segala kekurangan, maka
dia sangat wajar untuk diarahkan
kepada-Nya semata-mata hanya untuk
pengabdian dan berpaling dari
selain-Nya. Demikian juga nama Bani Israil. Siapa
yang mengetahui rincian keadaan
mereka dan perjalanan mereka menuju negeri
suci yaitu Bait Al-Maqdis yang
mengandung makna isra’, yaitu
perjalanan
malam, akan menyadari bahwa hanya
Allah yang harus dituju. Dengan demikian,
semua nama surat ini mengarah
kepada tema utama yang disebut dengan aqidah.
9 M. Quraish Shihab, hlm. 401-402.
14
Thabathaba’i berpendapat bahwa
surat ini memaparkan tentang Keesaan
Allah SWT. dari segala macam
persekutuan. Surat ini lebih menekankan sisi
pensucian Allah dan sisi pujian
kepada-Nya, karena itu berulang-ulang disebut di
sini kata subhana (Maha
Suci). Ini terlihat pada ayat 1, 43, 93, 108, bahkan
penutup surat ini memuji-Nya
dalam konteks bahwa Dia tidak memiliki anak,
tidak juga sekutu dengan
kerajaan-Nya dan Dia tidak membutuhkan penolong.10
B. Pendapat
Mufasir Klasik Tentang Penafsiran Surat Al-Isra’ Ayat 23-25
Menurut bahasa kata “tafsir”
diambil dari kata “fassara-yufassirutafsiran”
yang artinya adalah keterangan,
penjelasan atau menerangkan dan
mengungkapkan sesuatu yang tidak
jelas. Tafsir Al-Quran adalah penjelasan atau
keterangan-keterangan tentang
firman Allah SWT. yang berhubungan dengan
makna dan tujuan kandungan atau
keterangan dan penjelasan tentang sesuatu kata
atau kalimat yang digunakan di
dalamnya.11
Adapun
pengertian tafsir secara
istilah seperti yang diungkapkan
oleh Syaikh Al-Jazairi adalah menjelaskan kata
yang sukar dipahami oleh para
pendengar sehingga berusaha mengemukakan
sinonimnya atau makna yang
mendekati dengan jalan mengemukakan salah satu
petunjuknya (dilalahnya).
Imam Al-Kilabi mengartikan tafsir adalah menjelaskan
ayat-ayat Al-Quran, menerangkan
maknanya dan menjelaskan tujuan yang
dikehendaki oleh nash atau
teks Al-Quran tersebut.
Dari pengertian tafsir di atas
dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah suatu
hasil usaha tanggapan, penalaran,
atau pemahaman manusia dalam menyikapi
nilai-nilai samawi atau
nilai-nilai Ilahiyyah yang terdapat di dalam Al-Quran.
Oleh karena itu,
perbedaan-perbedaan dalam penafsiran Al-Quran sangat mungkin
terjadi karena dipengaruhi oleh
latar belakang, disiplin ilmu, metode dan corak
yang digunakan oleh para
penafsirnya sendiri.12
10 M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, hlm. 402-
403.
11 Ali Anwar Yusuf, Studi Agama
Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 79.
12 Ali Anwar Yusuf, Studi Agama
Islam, hlm. 79-80.
15
Maksud dari potongan ayat di atas
adalah Tuhanmu memerintahkan agar
kamu jangan menyembah selain Dia,
karena ibadah adalah puncak pengagungan
yang tidak patut dilakukan
kecuali terhadap Tuhan yang dari padanyalah keluar
kenikmatan dan anugerah atas
hamba-hamba-Nya, dan tidak ada yang dapat
memberi nikmat kecuali Dia.13
Dalam tafsir Imam Qurthubi
dinyatakan bahwa kata Qodhoo itu artinya
memerintahkan (amara),
mengharuskan (alzama), dan mewajibkan (awjaba).
Ibnu Abbas, Hasan, dan Qatadah
berkata: “Qodhoo di sini bukanlah qodhoo yang
berarti memutuskan suatu perkara
(qodho’uhukmin), melainkan qodhoo
yang
berarti memerintahkan suatu
perkara (qodho amri)”.14 Kata ”qodhoo” Maksudnya
memerintahkan, semua perintah
mengandung konsekuensi hukum wajib15 (alaslufilamri
lil wujub)16. Menurut Imam
Nawawi dalam kitab Murohu Lubaid
tafsir an-Nawawi perintah di sini
adalah perintah yang mewajibkan.17 Menurut
Ibn Abbas, Hasan dan Qatadah,
Allah telah memerintahkan kita untuk beribadah
kepada-Nya dan mentauhidkan (mengesakan)
Dzatnya. Selanjutnya Allah telah
menjadikan perbuatan berbakti
kepada kedua orangtua sebagai kewajiban yang
berkaitan dengan hal itu,
sebagaimana Dia juga mengaitkan antara syukur
(berterima kasih) kepada orang
tua dengan syukur kepada-Nya.18
13 Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, hlm.
58.
14 Muhammad Al-Fahham, Terjemah Sa’addah Al-Abna’ Fii Birr Al-Ummahat Wa Al-
Aba’, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006),
hlm. 133.
15 Nizam Muhammad Saleh Ya’kubi dan
Muhammad Shadik, TerjemahQurratu Al-Ainaini
Fi Fadhail Birri
Al-Wahdain Wa 55 Hikayah Fi Birri Al-Walidaini Li Thiflika, (Solo: Ziyad
Visi
Media, 2009), hlm. 18.
16 Abdul Hamid Hakim, As-Sullam,
(Jakarta: Saadiyyah Putra,. ), hlm. 11.
17 Muhammad An-Nawawi, Murohu
Lubaid Tafsir An-Nawawi,(Semarang: Toha Putra,. ),
hlm. 476.
18 Muhammad Al-Fahham, hlm. 133-134.
16
Maksud dari potongan ayat di atas
adalah agar kamu berbuat baik dan
kebajikan terhadap orang tua,
supaya Allah telah menyertai kamu.19 Yang
dimaksud dengan kata “ihsan”
atau berbuat baik dalam ayat tersebut adalah
berbakti kepada keduanya yang
bertujuan untuk mengingat kebaikan orang tua
karena sesungguhnya dengan adanya
orang tua seorang anak itu ada dan Allah
menguatkan hak-hak orang tua
dengan memposisikan di bawah kedudukan
setelah beribadah kepada Allah
yakni mengtauhidkan Allah.20
Allah
mengurutkan
kedua amal tersebut dengan
menggunakan lafazh tsumma yang memberikan
pengertian “tertib” atau
“teratur”. Dalam tafsir Al-Munir karya Wahban Az-
Zuhaili dijelaskan bahwa Allah
sering mengaitkan antara perintah untuk
beribadah kepadanya dengan
perintah untuk berbakti dan berbuat baik kepada
kedua orang tua dengan cara
memperlakukan mereka berdua dengan perlakuan
yang baik dan sempurna. Hal itu
disebabkan karena kedudukan mereka berdua di
bawah kedudukan Allah. Yang
merupakan sebab hakiki (yang sesungguhnya) dari
keberadaan manusia (di muka
bumi). Adapun mereka berdua (keduanya) hanyalah
merupakan sebab zhahiri (yang
nampak) dari keberadaan anak-anak, di mana
mereka berdua akan mendidik
mereka dalam suasana yang penuh dengan cinta,
kelembutan, kasih sayang, dan
sikap mengutamakan anak dari pada diri mereka
berdua.
Oleh karena itu, di antara sikap
yang menunjukkan kesetiaan dan
muru’ah seorang anak adalah membalas kebaikan
mereka berdua itu, baik dengan
cara memperlihatkan perilaku yang
baik dan akhlak yang disenangi maupun
dengan memberikan bantuan berupa
materi jika mereka berdua memang
membutuhkannya dan jika sang anak
memang mampu melakukan hal tersebut.21
Maksud dari potongan ayat di atas
adalah apabila kedua orang tua atau
salah seorang di antaranya berada
di sisimu hingga mencapai keadaan lemah,
19 Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, hlm.
58.
20 Abdullaah bin Ibrahim Al-Ansari, Fathul
Bayan Fi Maqosidil Quran, (Bidaulatil Qitrin:
Ihya’ Turosil Islam, 1248), hlm.
375.
21 Muhammad Al-Fahham, hlm. 135.
17
tidak berdaya dan tetap berada di
sisi mereka berdua pada awal umurmu, maka
kamu wajib belas kasih dan sayang
terhadap keduanya. Kamu harus
memperlakukan kepada keduanya
sebagaimana orang yang bersyukur terhadap
orang yang telah memberi karunia
kepadanya. Ibnu Jarir dan Ibnu Munzir telah
mengeluarkan sebuah riwayat dari
Abu AI-Haddaj yang katanya: Pernah saya
berkata kepada Sa’id bin
Al-Musayyab, segala apa yang disebutkan oleh Allah
dalam Al-Quran mengenai birru i-walidain,
saya telah tahu, kecuali firman-Nya:
Apa yang dimaksud perkataan yang
mulia di sini?
Maka, berkatalah Ibnu
AI-Musayyab: yaitu seperti perkataan seorang
budak yang berdosa di hadapan
tuannya yang galak.22
Menurut
imam Jalalain
dalam kitabnya tafsir jalalain
yang dimaksud dengan perkataan yang mulia adalah
perkataan yang yang baik dan
sopan (jamilan layyinan),23 begitu juga menurut
imam Nawawi perkataan yang mulia
yakni perkataan yang lembut dan baik yang
bertujuan untuk menghormati.24 Setelah Allah
melarang melontarkan ucapan
buruk dan perbuatan tercela, maka
Allah SWT. menyuruh berkata-kata baik dan
berbuat baik kepada keduanya.25
Maksud potongan ayat di atas
adalah rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh
kesayangan adalah hendaknya seorang anak selalu
menyenangkan hati kedua orang
tuanya berapapun besarnya, baik itu dengan
perkataan, dengan sikap dan
perangai yang baik, dan jangan sekali-kali
menyebabkan mereka itu murka atau
benci atas putra-putrinya.26
Dalam
Kitab
Tafsir Imam Qurthubi menjelaskan
Allah SWT telah menyebutkan aspek
22 Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, hlm.
61-62.
23 Imam Jalalain, Tafsir Jalalain,
(Surabaya, Darul Ilmi,. ), hlm. 230.
24 Muhammad An-Nawawi, hlm. 476.
25 Abdullah bin Muhammad bin
Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Terjemah Lubaib
Tafsir Min Ibni
Katsir, (Kairo:
Mus’assasah, 1994), hlm. 238.
26 Maimunah Hasan, Rumah Tangga
Muslim, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2000), hlm.
86-87.
18
pendidikan (yang dilakukan oleh
kedua orang tua) itu secara khusus dengan
maksud agar seorang hamba mau
mengingat akan kasih sayang kedua orang tua
kepada anaknya serta rasa letih
yang telah dirasakan oleh mereka berdua dalam
mendidik anaknya. Hal ini dapat
menambah rasa sayang dan cinta dalam hati
seorang hamba kepada orang
tuanya.27
Maksud dari potongan ayat di atas
adalah ucapkanlah: "Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil” adalah janganlah
kamu merasa cukup dengan kasih sayangmu
yang telah kamu berikan kepada
mereka berdua, karena kasih sayangmu itu
tidaklah kekal. Akan tetapi,
hendaklah kamu berdoa kepada Allah agar dia
mengasihi keduanya dengan
kasihnya yang kekal, dan jadikanlah do’a itu sebagai
balasan atas kasih sayang dan
pendidikan yang telah mereka berikan kepadamu
saat kamu masih kecil.
___________
Maksud dari ayat di atas adalah
Tuhanmu lebih mengetahui apa yang
ada dalam hatimu, baik berupa
perasaan berbakti dan menyakiti jika kamu orangorang
yang baik yakni orang-orang yang
taat kepada Allah, maka sesungguhnya
Dia Maha Pengampun bagi
orang-orang yang bertaubat yakni orang-orang yang
kembali kepada Allah dengan
berbuat taat kepada-Nya.28
Jadi dapat disimpulkan bahwa
nilai-nilai pendidikan yang terkandung
dalam Q.S. Al-Isra’ ayat 23-25
menurut mufasir klasik yaitu berisi tentang
pendidikan tauhid (mengesakan
Allah) dan pendidikan akhlak birrul walidaini
yang mana keduanya saling
keterkaitan. Di sini Allah menempatkan posisi
berbuat baik kepada orang tua
langsung di bawah posisi pengesaan Allah dan
penghambaan kepada-Nya tanpa
disela dengan apapun. Menurut Imam An-
Naisaburi dalam tafsirnya bahwa
Allah sengaja menempatkan berbuat baik kepada
27 Muhammad Al-Fahham, Hlm. 135-136.
28 Bahrul Abu Bakar , Terjemah
Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm. 1137.
19
orang tua langsung setelah ibadah
kepada Allah karena keeratan korelasinya
dengan ibadah, diantaranya:
1. Keduanya adalah fasilitator
kelahiran mereka di muka bumi sekaligus
fasilitator pendidikan mereka.
Tidak ada persembahan yang lebih agung setelah
persembahan Allah daripada
persembahan orang tua.
2. Pemberian mereka mirip seperti
pemberian Allah karena keduanya tidak
meminta pujian maupun pahala
dibalik pemberiannya.
3. Allah SWT tidak pernah jemu
memberi kenikmatan pada hamba, mesti hamba-
Nya melakukan dosa besar
sekalipun. Begitu juga orang tua, mereka tidak akan
memutuskan aliran kemurahan
mereka pada anaknya meskipun ia tidak
berbakti kepadanya.
4. Sama seperti Allah yang hanya
menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya,
orang tua pun hanya menginginkan
kesempurnaan bagi anaknya. Seorang anak
tidak akan bisa sempurna kecuali
berkat peran dan obsesi ayahnya. Buktinya,
orangtua tidak pernah iri pada
anaknya meskipun ia diungguli dan anak lebih
baik dari pada diri mereka,
bahkan justru mereka senang dan
mendambakannya. Sebaliknya
seorang anak tidak menginginkan jika ada orang
lain yang lebih baik dari pada
dirinya.
C. Pendapat
Mufasir Kontemporer Tentang Penafsiran Surat Al-Isra’ Ayat
23-25
Maksud dari ayat di atas adalah
Tuhanmu telah menetapkan sesuatu
ketetapan yang harus dilaksanakan
yaitu jangan engkau menyembah selain Dia.29
Agar tidak menyembah tuhan-tuhan
yang lain selain Dia. Termasuk pada
pengertian menyembah tuhan selain
Allah yakni mempercayai adanya kekuatan
lain yang dapat mempengaruhi jiwa
dan raga, selain kekuatan yang datang dari
Allah. Semua benda yang ada yang
kelihatan ataupun yang tidak adalah makhluk
29 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Bayaan,
(Bandung: PT Al-Ma’arif,. ), hlm. 812.
20
Allah.30 Thahir Ibn Asyur
menilai ayat ini dan ayat-ayat berikutnya merupakan
perincian tentang syari’at Islam
yang ketika turunnya merupakan perincian
pertama yang disampaikan kepada
kaum muslimin agar di Mekkah. Menurut
Sayyid Quthb ayat ini berkaitan
dengan tauhid (mengesakan Allah), bahkan
dengan tauhid itu dikaitkan
dengan segala ikatan dan hubungan, seperti ikatan
keluarga, kelompok, bahkan ikatan
hidup.31
Menurut
Abdullah bin Muhammad
bin Abdurrahman bin Ishaq Alu
Syaikh dalam Tafsir Ibn Katsiir Allah berfirman
seraya memerintahkan agar
hamba-Nya hanya beribadah kepada-Nya saja, tiada
sekutu bagi-Nya.32
Begitu juga menurut Haji Abdul
Malik Karim Amrullah (HAMKA)
dalam bukunya Tafsir Al-Azhar
pada ayat 22 di atas tujuan hidup dalam dunia ini
telah dijelaskan yaitu mengakui
hanya satu Tuhan itu yakni Allah SWT.
barangsiapa mempersekutukan-Nya
dengan yang lain maka akan tercela dan
terhina. Pengakuan bahwa hanya
satu Tuhan tiada bersyarikat dan bersekutu
dengan yang lain. Bahwasanya
Tuhan Allah itu sendiri yang menentukan, yang
memerintah dan memutuskan bahwa
Dialah yang mesti disembah, dipuji dan
dipuja. Dan tidak boleh dan
dilarang keras menyembah selain Dia. Oleh sebab itu,
maka cara beribadah kepada Allah,
Allah sendirilah yang menentukan. Maka
tidak pulalah sah ibadah kepada
Allah yang hanya dikarang-karangkan sendiri.
Untuk menunjukkan peribadatan
kepada Allah Yang Maha Esa itulah, Dia
mengutus Rasul-rasul-Nya.33
Maksud dari ayat di atas adalah
supaya berbuat ihsan kepada ibu
bapak34 yakni berbuat
baik kepada keduanya dengan sikap sebaik-baiknya. Allah
30 Menteri Agama Republik Indonesia,
Al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta, Menteri Agama
Republik Indonesia, 1990), hlm.
343.
31 M. Quraish Shihab, hlm. 62.
32 Abdullah bin Muhammad bin
Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh Hlm. 238.
33 Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(HAMKA), Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka
Nasional PTE LTD, 1999), hlm.
4030.
34 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, hlm.
812.
21
memerintahkan kepada manusia agar
berbuat baik kepada ibu bapak sesudah
memerintahkan untuk beribadah
kepada-Nya. Dengan maksud agar manusia
memahami betapa pentingnya
berbuat baik terhadap ibu bapak dan mensyukuri
kebaikan mereka seperti betapa
besarnya penderitaan yang telah mereka rasakan
pada saat melahirkan, betapa pula
banyaknya kesulitan dalam mencari nafkah dan
dalam mengasuh serta mendidik
putra-putra mereka dengan penuh kasih sayang.
Maka pantaslah apabila berbuat
baik kepada kedua ibu bapak, dijadikan sebagai
kewajiban yang paling penting
diantara kewajiban-kewajiban yang lain dan
diletakkan Allah dalam urutan
kedua sesudah kewajiban manusia beribadah hanya
kepada Allah Yang Maha Kuasa.35
menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy
dalam Tafsir Al-Bayaan bahwa
berbuat baik kepada kedua orang
tua merupakan tugas yang pertama sesudah
beriman.36 Menurut Haji
Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam lanjutan
ayat ini terang sekali bahwasanya
berkhidmat kepada ibu bapak, menghormati
kedua orang tua yang telah
menjadikan sebab bagi manusia dapat hidup di dunia
ini ialah kewajiban yang kedua
sesudah beribadah kepada Allah.37 Menurut
Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi
Zhilalil-Quran bahwa sebuah ikatan yang pertama
sesudah ikatan akidah adalah
ikatan keluarga. Atas dasar inilah susunan ayat
mengaitkan berbakti kepada kedua
orang tua dengan pengabdian kepada Allah,
sebagai deklarasi akan tingginya
nilai berbakti kepada keduanya di sisi Allah.38
Maksud dari ayat di atas adalah
jika usia keduanya atau salah seorang
di antara keduanya, ibu dan bapak
itu sampai meninggal tua sehingga tak kuasa
lagi hidup sendiri sudah sangat
bergantung kepada belas kasih puteranya
hendaknya sabar dan berlapang
hati memelihara orang tua. Bertambah tua
terkadang bertambah dia seperti
kanak-kanak seperti dia minta dibujuk, minta
35 menteri Agama Republik Indonesia,
hlm. 554.
36 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, hlm.
817.
37 Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(HAMKA), hlm. 4031.
38 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Quran,(Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), hlm. 248.
22
belas kasihan anak. Terkadang ada
juga bawaan orang tua membosankan anak,
maka janganlah keluar dari mulut
seorang anak walaupun itu satu kalimat yang
mengandung rasa bosan atau
jengkel di saat memelihara orang tua.39
Maksud dari ayat di atas adalah
hendaklah katakan kepada kedua orang
tua dengan perkataan yang mulia,
yang pantas, kata-kata yang keluar dari mulut
orang yang beradab, sopan dan
santun.40
Maksud dari ayat di atas adalah
Allah memerintahkan agar
merendahkan diri kepada kedua
orang tua dengan penuh kasih sayang. Yang
dimaksud dengan merendahkan diri
dalam ayat ini adalah mentaati apa yang
mereka perintah selama perintah
itu tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan
syara’. Taat anak kepada kedua
orang tuanya merupakan tanda kasih
sayang kepada kedua orang tuanya
yang sangat diharapkan terutama pada saat
keduanya sangat memerlukan
pertolongannya. Menurut M. Quraish Shihab dalam
Tafsir AL-Misbah Pada ayat ini
tidak membedakan antara ibu dan bapak.
Memang pada dasarnya ibu
hendaknya didahulukan atas ayah, tetapi ini tidak
selalu demikian. Thahir Ibn Asyur
menulis bahwa Imam Syafi’i pada dasarnya
mempersamakan keduanya sehingga
bila ada salah satu yang hendak didahulukan,
sang anak hendaknya mencari
faktor-faktor penguat guna mendahulukan salah
satunya. Karena itu pula,
walaupun ada hadits yang mengisyaratkan perbandingan
hak ibu dengan bapak sebagai tiga
dibanding satu, penerapannya pun harus
setelah memperhatikan
faktor-faktor yang dimaksud.41
Maksud dari ayat di atas adalah
Allah memerintahkan untuk
mendoakan kedua orang tua mereka,
agar diberi limpahan kasih sayang Allah
39 Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(HAMKA), Tafsir Al-Azhar , hlm. 4031.
40 Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(HAMKA), Tafsir Al-Azhar, hlm. 4033.
41 M. Quraish Shihab, hlm. 67.
23
sebagai imbalan dari kasih sayang
kedua orang tua itu dengan mendidik mereka
ketika masih kanak-kanak.42 Hanya saja ulama
menegaskan bahwa doa kepada
orang tua yang dianjurkan di sini
adalah bagi yang muslim, baik masih hidup
maupun telah meninggal. Sedangkan
bila ayah atau ibu yang tidak beragama
Islam telah meninggal terlarang
bagi anak untuk mendoakannya. Al-Quran
mengingatkan bahwa ada suri
tauladan yang baik bagi kaum muslimin dari
seluruh kehidupan Nabi Ibrahim
as.43
Maksud dari ayat di atas adalah
Tuhanmu lebih mengetahui apa yang
ada dalam hatimu, jika kamu
orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia
Maha Pengampun bagi orang-orang
yang bertaubat, mengenai seseorang yang
terburu nafsu mengucapkan
kata-kata yang tidak sopan terhadap ayah ibunya,
padahal bukan bermaksud menyakiti
hati mereka, atau melakukan sesuatu
perbuatan yang keliru, padahal
dalam hatinya bermaksud baik dengan perbuatan
itu, maka allah berfirman:
“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam
hatimu”.44
Syu’bah menceritakan dari Yahya
bin Sa’id dari Said bin al-Musayyab,
ia mengatakan: “awwaabiin ialah
orang-orang yang berbuat dosa lalu bertaubat,
berbuat dosa lalu bertaubat.”
Demikian juga yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq,
Ma’mar, Atha’ bin Yasar, Said bin
Jubair dan Mujahid mengatakan: “awwaabiin
ialah orang-orang yang kembali
kepada kebaikan”. Ibnu Jarir berkata: “di antara
pendapat-pendapat tersebut yang
paling tepat adalah pendapat yang menyatakan
bahwa awwaabiin ialah
orang yang bertaubat dari dosa dan meninggalkan maksiat
menuju kepada ketaatan, bertolak
dari apa yang dibenci Allah menuju kepada apa
yang dicintai dan diridhai-Nya.”
Apa yang dikatakan Ibnu Jarir inilah yang benar
42 Menteri Agama Republik Indonesia,
Al-Quran dan Tafsirnya, hlm. 556-557.
43 M. Quraish Shihab, hlm. 68.
44 Salim Bahreisy dan Said Bahreisy,
Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1990), hlm. 34.
24
karena kata awwaabiin (orang-orang
yang kembali) diambil dari kata al-aub yang
berarti kembali.45
Jadi dapat disimpulkan bahwa
nilai-nilai pendidikan yang terkandung
dalam Q.S. Al-Isra’ ayat 23-25 menurut
mufasir kontemporer yaitu berisi tentang
pendidikan tauhid (mengesakan
Allah) dan pendidikan birrul walidaini yang
mana keduanya saling keterkaitan.
Keyakinan akan keesaan Allah serta kewajiban
mengikhlaskan diri kepada-Nya
adalah dasar yang padanya bertitik tolak segala
kegiatan. Setelah itu kewajiban
pertama dan utama setelah kewajiban mengesakan
Allah dan beribadah kepada-Nya
adalah berbakti kepada kedua orang tua. Allah
memerintahkan berbuat baik
terhadap kedua orang tua dikarenakan sebab-sebab
sebagai berikut:
1. karena kedua orang tua itulah
yang memberi belas kasih kepada anaknya, telah
bersusah payah dalam memberikan
kebaikan kepadanya dan menghindarkan
dari bahaya. Oleh sebab itu,
wajib lah hal itu diberi imbalan dengan berbuat
baik dan syukur kepada kedua
orang tua.
2. Bahwa kedua orang tua telah
memberikan kenikmatan kepada anak, ketika
anak itu sedang dalam keadaan
lemah dan tidak berdaya sedikitpun. Oleh
karena itu, wajib hal itu di
balas dengan rasa syukur ketika kedua orang tua itu
telah lanjut usia.
45 Abdullah bin Muhammad bin
Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, hlm. 241.
25
BAB III
NILAI-NILAI
PENDIDIKAN DALAM Q.S AL-ISRA’ AYAT 23-25
A. Pendidikan
Tauhid
Secara bahasa tauhid berasal dari
kata wahhada-yuwahhidu-tauhiidan,
yang berarti menjadikan sesuatu
satu. Secara syara’ tauhid berarti mengesakan
Allah dalam penciptaan dan
pengaturan, mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya
dan meninggalkan ibadah kepada
yang lain, menetapkan Asmaul Husna dan Sifat
yang Mulia bagi-Nya, dan membersihkan-Nya
dari sifat kurang dan tercela. 1 jadi
pengertian tauhid adalah
meng-Esakan Allah dengan beribadah kepada-Nya,
yakni agama yang disampaikan oleh
para rasul Allah yang berisi tentang tauhid
untuk hamba-Nya. Allah SWT dalam
ayat-ayat-Nya memerintahkan untuk
menyembah-Nya, tidak
menyekutukan-Nya dan selalu mengabdi kepada-Nya.
Sesuai dengan firman Allah dalam
surat Al-Isra’ ayat 23 yaitu:
Maksud dari potongan ayat di atas
adalah dan Tuhanmu memerintahkan
agar kamu (manusia) jangan
menyembah selain Dia, karena ibadah adalah puncak
pengagungan yang tidak patut
dilakukan kecuali terhadap Tuhan (Allah). Dari
pada-Nyalah keluar kenikmatan dan
anugerah atas hamba-hambanya dan tidak
ada yang dapat memberi kenikmatan
kecuali Dia (Allah).2
Allah
SWT melarang
manusia mengada-adakan tuhan yang
lain selain Allah, seperti menyembah
patung dan arwah nenek moyang
dengan maksud supaya dapat mendekatkan diri
kepadanya. Termasuk yang dilarang
itu ialah meyakini adanya tuhan selain Allah
mengakui adanya kekuasaan yang
lain selain Allah yang dapat mempengaruhi
dirinya, ataupun kekuatan ghaib
yang lain. Larangan ini ditujukan kepada seluruh
manusia, agar mereka tidak
tersesat dan tidak menyesal karena melakukan sesuatu
yang seharusnya dilakukan
terhadap Penciptanya. Padahal mereka seharusnya
1 Sugeng Ristianto, Tauhid Kunci
Surga Yang Diremahkan, (Semarang: Rasail, 2010), hlm. 1.
2 Ahmad Mustafa al-Marai, Tafsir
Al-Maragi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993),
hlm. 59.
26
mensyukuri nikmat Allah yang
telah dilimpahkan kepada mereka, tidak mengadaadakan
tuhan yang lain, yang lain
sebenarnya tidak berkuasa sedikitpun untuk
memberikan pertolongan kepada
mereka, dan tidak berdaya pula untuk memberi
mudarat.3
Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya
untuk mengesakan-Nya dalam
ibadah dan dalam penyembahan
serta melarang mereka menyekutukan Allah
dengan apa pun atau siapa pun.4 Oleh sebab itu,
yang berhak mendapat
penghormatan tertinggi hanyalah
yang menciptakan alam dan semua isinya. Dialah
yang memberikan kehidupan dan
kenikmatan pada seluruh makhluk-Nya.
Maka apabila ada manusia yang
memuja-muja benda-benda alam ataupun
kekuatan ghaib yang lain, berarti
ia telah sesat, karena kesemua benda-benda itu
adalah makhluk Allah yang tak
berkuasa memberi manfaat dan tak berdaya untuk
menolak kemudaratan serta tak
berhak disembah.5
Ini merupakan perintah untuk
mengesakan Allah dalam penyembahan
sesudah larangan berlaku syirik.
Perintah yang diungkapkan dengan gaya
keputusan, perintah yang bersifat
niscaya seperti keniscayaan sebuah keputusan
pengabdian. Dalam ayat ini
memberi frame pada perintah yang ada berupa
penekanan, disamping menekan
khusus atas masalah ini, yang dapat dilihat
peniadaan, pengecualian dan
penekanan masalah tauhid dalam kehidupan.6
Seseorang dinyatakan iman bukan
hanya percaya terhadap sesuatu sesuai dengan
keyakinan tadi. Oleh karena itu,
iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan,
melainkan menyatu secara utuh
dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam
perbuatan.7
pengakuan atas keesaan Allah
mengandung kesempurnaan dan
kepercayaan kepadanya dari dua
segi, yakni segi rububiyyah dan segi uluhiyyah.
3 Departemen Agama, Tafsir
Al-Quran, (Semarang: PT. Citra Effhar, 1993), hlm. 553.
4 Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar,
(Jakarta: Qisthi Press, 2007), hlm. 488.
5 Departemen Agama, hlm. 545.
6 Sayyid Quthb, Terjemah Fi
Zhilali-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 248.
7 Ahmad Taufiq dan Muhammad
Rohmadi, Pendidikan Agama Islam Pendidikan Karakter
Berbasis Agama, (Surakarta:
Yuma Pressindo, 2010), hlm. 12.
27
Rububiyyah ialah pengakuan
terhadap keesaan Allah sebagai Dzat Yang Maha
Pencipta, Pemelihara dan memiliki
semua sifat kesempurnaan. Sedangkan
uluhiyyah ialah komitmen
manusia kepada Allah sebagai satu-satunya Dzat yang
dipuji dan disembah. Komitmen
kepada Allah itu terwujud dalam sikap pasrah,
tunduk dan patuh sepenuh hati
sehingga seluruh amal perbuatan bahkan hidup dan
mati seseorang semata-mata hanya
untuk Allah SWT.8
Manusia
yang beriman dan
bertaqwa terhadap Allah SWT.
dalam konteks ini menyadari sepenuhnya bahwa
dibalik kekuasaan yang ada pada
manusia ini, ada kekuasaan lain Yang Maha
Besar yang menciptakan dan
menguasai segala segi dari hidup dan kehidupan
manusia di dunia ini. Ia akan
selalu berbuat kebajikan dalam kehidupan ini, baik
terhadap dirinya sendiri,
terhadap masyarakat dan terhadap alam di sekitarnya
sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh Allah SWT.9
Zat Allah jelas tidak dapat kita
tangkap dengan indera, akan tetapi Al-
Quran memberikan informasi
tentang adanya Tuhan dengan sifat-Nya yang
sempurna. Dari ayat-ayat yang
bertebaran di dalam Al-Quran disimpulkan bahwa
ada 99 nama Tuhan yang mulia (asma’ al-husna) yang menggambarkan sifat-Nya
Yang Sempurna. Memperhatikan
sifat-sifat Tuhan itu semua dapat disimpulkan
bahwa sesungguhnya Tuhan memiliki
berbagai sifat yang tidak ada bandingannya.
Sebagai Tuhan, Dia tidak bekerja
sama dengan makhluk-Nya. Dia menciptakan
karena itu semua makhluk hanya
tunduk dan patuh kepada-Nya. Orang atau
makhluk tidak berhak untuk dengan
Dia, Yang Maha Pencipta. Dia berkuasa,
berilmu dan dapat bertindak apa
saja jika Dia menghendaki.
Menyembah hanya kepada Tuhan Yang
Maha Esa adalah ajaran inti
agama (Islam). Sikap tauhid
adalah meyakini dan mempercayai bahwa Allah Esa
Zat-Nya, Sifat-Nya,
Perbuatan-Nya, Wujud-Nya. Dia juga Esa Memberi Hukum,
Esa Menerima Ibadah, Esa dalam
Memberi Perlindungan kepada makhluk-Nya.
Kepercayaan dan amal-amal ibadah
akan menjadi rusak bila sikap tauhid (akidah)
8 Achmadi, Ideologi Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 87.
9 Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Quran
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), hlm.
351-352.
28
labil dan lemah. Menurut M.
Quraish Shihab dan ulama tafsir bahwa Keesaan
Allah itu mencakup:
a. Keesaan Zat
Keesaan Zat-Nya mengandung
pengertian bahwa seseorang harus
percaya bahwa Allah tidak terdiri
dari unsur atau bagian-bagian, karena jika zat
yang mana kuasa itu terdiri dari
dua unsur atau lebih, maka itu berarti Dia
membutuhkan unsur atau bagian
itu. Sedangkan semua unsur yang ada, Dia
tidak membutuhkannya. Ini yang
dimaksudkan. Allah berfirman dalam surat
Faatthir ayat 15 yaitu:
“Hai manusia, kamulah yang
berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah
yang Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) lagi Maha Terpuji”.
b. Keesaan Sifat
Adapun Keesaan sifat-Nya antara
lain berarti bahwa Allah memiliki
sifat yang tidak sama dalam
substansi (isi) dan kapasitasnya dengan sifat
makhluk, walaupun dari segi
bahasa kata yang digunakan untuk menunjukkan
sifat tersebut sama. Sebagai
contoh, kata rahim merupakan sifat bagi Allah,
tetapi juga digunakan untuk
menunjukkan rahmat atas kasih sayang Allah
berbeda dengan rahmat
makhluk-Nya. Allah berfirman dalam surat Al-A’raaf
ayat 180 yaitu:
___________
“hanya milik Allah asmaa-ul
husna, Maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asmaa-ul husna
itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya, nanti
mereka akan mendapat Balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan”.
c. Keesaan Perbuatan
Keesaan ini mengandung arti bahwa
segala sesuatu yang berada di
alam raya ini baik sistem
kerjanya maupun sebab dan wujudnya semuanya
adalah hasil perbuatan Allah
semata. Apa yang dikehendaki-Nya terjadi dan
29
apa yang tidak dikehendaki-Nya
tidak akan terjadi, tidak ada daya (untuk
memperoleh manfaat), tidak pula
kekuatan (untuk menolak moderat) kecuali
bersumber dari Allah SWT. Allah
berfirman dalam surat Yaasiin ayat 83 yaitu:
“Maka Maha suci (Allah) yang di
tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu
dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.
d. Keesaan dalam beribadah
kepada-Nya
Kalau ketiga Keesaan di atas
merupakan hal-hal yang harus diketahui
dan diyakini, maka Keesaan
keempat ini merupakan perwujudan dari ketiga
makna Keesaan terdahulu. Ibadah
itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat,
salah satu ragamnya yang makin
jelas adalah amalan yang ditetapkan cara atau
kadarnya langsung oleh Allah atau
melalui Rasul-Nya, dikenal dengan istilah
ibadah mahdhah. Sedangkan
ibadah dalam pengertiannya yang umum
mencakup segala macam aktivitas
yang dilakukan karena Allah. Allah
berfirman dalam surat Al-An’aam
ayat 162 yaitu:
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku,
ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam”.10
Adapun cara-cara untuk memelihara
ketauhidan adalah:
a. Dengan selalu menambah ilmu
pengetahuan (terutama ilmu-ilmu agama).
Kunci dari semua kehidupan dan
iptek tentu ada di dalam kandungan
Al-Quran. Oleh karena itu,
hendaklah kita dapat menyimak dan mengkaji apa
yang ada dalam kandungannya, agar
kita tidak menjadi manusia yang lemah
imannya dan sombong. Firman Allah
dalam Q.S Al-Mujadalah ayat 11:
“Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orangorang
yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat”.
10 Mumi Jamal, Dkk,. Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2005), hlm.
754-758.
30
Banyak gambaran dari Al-Quran dan
As-Sunnah yang
mengungkapkan tentang keagungan
Allah. Jika seseorang Muslim mau
memperhatikan ayat-ayat Allah,
tentu hatinya akan bergetar dan jiwanya akan
tunduk dan patuh kepada Dzat Yang
Maha Agung, anggota-anggota
jasmaniahnya akan tunduk dan
patuh kepada Dzat Yang Maha Tinggi dan
Maha Berkuasa, serta
kekhusu’annya akan semakin bertambah kepada Allah
SWT. Jelaslah bahwa dengan
bertambahnya ilmu, iman seseorang akan lebih
mantap, lebih kokoh, dan tindak
tanduknya selalu mengingat keagungan dan
kebesaran Ilahi. Ilmu yang
dimaksud tersebut adalah ilmu tentang alam
(sunatullah) serta ilmu
tentang agama Allah SWT(dinnullah), sebab keduanya
merupakan kebenaran yang
datangnya dari Allah.
b. Memperbanyak amal shaleh
(terutama shalat).
Dalam tarikh, para sahabat Nabi
SAW akan mempergunakan dengan
sebaik-baiknya pada setiap
kesempatan yang ada untuk selalu beramal shaleh.
Seperti apa yang dituturkan Abu
Bakar As-Shiddiq, “tatkala ditanya oleh
Rasulullah SAW “Siapakah diantara
kamu sekalian yang berpuasa pada hari
ini?” Abu Bakar menjawab, “saya”.
Beliau bertanya lagi, “lalu siapakah di
antara kamu yang menjenguk orang
sakit pada hari ini?” Abu Bakar menjawab
lagi, “Saya.” Lalu Rasulullah SAW
berkata, “Tidaklah amal-amal ini menyatu
dalam diri seseorang melainkan
dia akan masuk Surga”.11
Dalam tarikh di atas menunjukkan
kepada kita bahwa Abu Bakar As-
Siddiq ra, sangat antusias dalam
mempergunakan setiap kesempatan untuk
memperbanyak ibadah. Jadi, bukan
hanya dari amalan-amalan shalatnya,
meskipun shalat adalah perkara
fardhu. Dalam Al-Quran Surat Thaha ayat 14,
Allah berfirman:
“Dan dirikanlah shalat untuk
mengingat aku”.
11 Musa Sueb, Urgensi Keimanan
Dalam Abad Globalisasi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1996), hlm. 60-66.
31
Nabi muhammad SAW telah
mengatakan dengan tegas, bahwa shalat
itu baru akan membawa hasil jika
apa yang dibaca di dalam shalat
dimengertinya. “tidaklah dari
seseorang muslim yang berwudhu maka
dimengerti yang diucapkan,
melainkan setelah shalat selesai shalat itu adalah
seperti anak yang baru dilahirkan
oleh ibunya (tidak berdosa). Allah SWT tidak
melarang kita dalam meraih
kesenangan duniawi. Dan dalam pengejaran
tersebut kita harus menyesuaikan
dengan tuntunan norma ajaran agama yang
telah ditetapkan nya serta
didasari karena ketaatan kita kepada Allah SWT.
Jadi, kita dalam mencari rizqi di
dunia ini bukan semata-mata rakus duniawi
dalam segi harta benda dan yang
sejenisnya, yang memabukkan.
c. Menjauhi segala yang dilarang
Allah dan Rasulnya.
Allah SWT menyerukan kepada
manusia agar menjauhi apa-apa yang
dilarang oleh Allah karena
dikhawatirkan manusia akan berjalan di luar garis
yang telah ditentukannya.
Jangankan menyimpang, mendekati laranganlarangannya
pun maka dikhawatirkan manusia
akan terperosok di dalamnya.
Terperosoknya manusia kepada
hal-hal yang ingkar, tentu saja akan banyak
membawa kepada kehidupan kelak di
akhiratnya.12
Jadi dapat disimpulkan bahwa
pendidikan tauhid pada ayat ini adalah
Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya
untuk mengesakan dan menyembah
kepada-Nya, serta melarang
menyekutukan Allah dengan apapun oleh sebab itu
yang berhak disembah hanyalah
Allah yang telah menciptakan alam dan semua
isinya. Maka apabila ada manusia
yang memuja benda-benda alam ataupun
kekuatan ghaib berarti ia telah
sesat, karena kesemua benda-benda itu adalah
makhluk Allah yang tak berkuasa
memberi manfaat dan tak berdaya untuk
menolak kemudaratan serta tak
berhak disembah.
B. Pendidikan Birul
Walidaini
Menurut keluasan pengertiannya,
istilah Al-Birr meliputi aspek
kemanusiaan dan
pertanggungjawaban ibadah kepada Allah SWT. dalam jalur
12 Musa Sueb, Urgensi Keimanan
Dalam Abad Globalisasi, hlm. 60-66.
32
hubungan kemanusiaan dalam tata
hubungan hidup keluarga dan masyarakat
wajib dipahami bahwa kedua orang
tua yaitu ayah dan ibu menduduki posisi yang
paling utama. Walaupun demikian,
kewajiban beribadah kepada Allah dan taat
kepada Rasul tetap berada di atas
hubungan horisontal kemanusiaan. Berarti
bahwa, dalam tertib kewajiban
berbakti, mengabdi dan menghormati kedua orang
tua (ayah dan ibu) menjadi
giliran berikutnya setelah beribadah kepada Allah dan
taat kepada Rasul-Nya.
Motivasi atau dorongan dan
kehendak berbuat baik kepada orang tua
(birrul walidaini) telah
menjadi salah satu akhlak yang mulia (mahmudah).
Dorongan dan kehendak tersebut
harus tertanam sedemikian rupa, sebab pada
hakikatnya hanya bapak dan ibulah
yang paling besar dan banyak berjasa kepada
setiap anak-anaknya. Ayah adalah
penanggung jawab dan pelindung anak dalam
segala hal, baik segi ekonomi,
keamanan, kesehatan, dan juga pendidikannya.
Pada prinsipnya ayah menjadi
sumber kehidupan dan yang telah menghidupkan
masa depan anak. Sedangkan ibu
tidak kalah besar pengorbanannya dari pada
ayah. Ibulah yang hamil dengan
susah payah, kemudian melahirkannya dengan
penderitaan yang tiada tara. Lalu
membesarkannya dengan penuh rasa kasih
sayang. Dalam kedudukan sebagai
anggota keluarga, ibu adalah kawan setia ayah
yang berfungsi sebagai pendidik
anak/anak-anaknya. Pemelihara keluarga dengan
menciptakan ketentraman, keamanan
dan kedamaian rumah tangga.13
Sesudah Allah memerintahkan
supaya menyembah jangan menyembah
selain Dia lalu Allah
memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka benarbenar
memperhatikan urusan kebaktian
kepada kedua ibu bapak dan tidak
menganggapnya sebagai urusan yang
remeh, dengan menjelaskan bahwa
Tuhanlah yang lebih mengetahui
apa yang tergetar dalam hati mereka, apakah
mereka benar-benar mendambakan
kebaktiannya kepada kedua ibu bapak dengan
rasa kasih sayang dan penuh
kesadaran, ataukah kebaktian mereka hanyalah
pernyataan lahiriyah saja, sedang
di dalam hati mereka sebenarnya durhaka dan
membangkang. Itulah sebabnya
Allah menjanjikan bahwa apabila mereka benar-
13 A. Munir dan Sudarsono, Dasar-Dasar
Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm.
392.
33
benar orang-orang yang berbuat
baik, yaitu benar-benar mentaati tuntunan Allah,
berbakti kepada kedua ibu bapak
dalam arti yang sebenar-benarnya, maka Allah
akan memberikan ampunan kepada
mereka atas perbuatannya.14
Allah
SWT.
dalam ayat-Nya memerintahkan
untuk berbakti kepada kedua orang tua, berbuat
baik dan berterima kasih kepada
mereka dengan perbuatan dan ucapan. Sesuai
dengan firman Allah dalam surat
Al-Isra’ ayat 23-25 yaitu:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah
seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan "Ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka Perkataan yang mulia.
dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: "Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku
waktu kecil". Tuhanmu lebih mengetahui
apa yang ada dalam hatimu; jika
kamu orang-orang yang baik, Maka
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun
bagi orang-orang yang bertaubat”.
Kata “ihsan” dalam ayat
ini disebut tanpa alif lam ta’rif, sehingga
mengandung makna umum. Ini
menunjukkan bahwa Allah memerintahkan
berbuat baik kepada orang tua
dengan kebaikan berupa apa saja baik secara
perbuatan, perkataan, perlakuan
baik, dengan badan ataupun dengan harta benda.
Kemudian Allah menegaskan
pentingnya hal tersebut saat mereka berdua telah
berusia lanjut. Karena pada saat
itu mereka berdua sangat membutuhkan untuk
diperlakukan dengan baik, lemah
lembut, kasih sayang, hormat dan dimuliakan.
Allah melarang untuk berbuat
buruk kepada mereka. Membangkang,
mengucapkan “Ah” kepada mereka,
mengangkat suara dimuka mereka,
menghardik dan memaki,
menjelek-jelekan dan merendahkan mereka. Allah
14 Departemen Agama, Al-Quran dan
Tafsirnya, (Jakarta: Depag., 1990), hlm. 561.
34
SWT. Berfirman, maka sekali-kali
janganlah engkau mengatakan kepada
keduanya dengan perkataan
“Ah”atau, jangan menyakiti mereka walaupun dengan
cara yang paling ringan”.
Janganlah engkau menampakkan rasa bosanmu atau rasa
terbebani dalam dirimu di depan
mereka. Tetap bersabar dalam menghadapi
kemungkinan mereka berbuat salah
atau lupa di hadapanmu. Kemudian Allah
berfirman, “janganlah engkau
membentak mereka. Yakni jangan mengangkat
suara di muka mereka atau
berbicara dengan menunjukkan wajah kesal. Jangan
pula menatap mereka dengan
tatapan ketidaksenangan atau mengibaskan
tanganmu dan meninggalkan mereka
berdua.
Setelah melarang mengucapkan
kata-kata jelek dan berbuat buruk,
Allah memerintahkan untuk
mempergauli mereka dengan ucapan dan perbuatan
baik. Dia berfirman, “Dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
Atau ucapan yang lemah lembut dan
baik dengan hormat dan etika. Hal ini
disesuaikan dengan kondisi,
kesempatan, waktu dan tempat. Di dalam ayat ini
nampak adanya beberapa ketentuan
dan sopan santun yang harus diperhatikan
sang anak terhadap kedua ibu
bapaknya antara lain:
1. Anak tidak boleh mengucapkan
kata “Ah” kepada kedua orang tua ibu
bapaknya hanya karena sesuatu
sikap atau perbuatan mereka yang kurang
disenangi akan tetapi dalam
keadaan serupa itu hendaklah anak-anaknya
berlaku sabar, sebagaimana
perlakuan kedua orang tua ketika mereka merawat
dan mendidiknya di waktu anak itu
masih kecil. Inilah awal tingkatan dalam
memelihara kedua orang tua dengan
penuh tata krama.15
2. Anak tidak boleh menghardik
atau membentak kedua orang tua sebab dengan
bentakan itu kedua orang tua akan
terlukai perasaannya. Menghardik kedua
orang tua adalah mengeluarkan
kata-kata kasar pada saat anak menolak
pendapat kedua orang tua atau
menyalahkan pendapat mereka sebab pendapat
mereka tidak sesuai dengan
pendapat anaknya. Larangan menghardik dalam
ayat ini adalah sebagai penguat
dari larangan mengatakan “Ah” yang biasanya
15 Sayyid Quthb, Terjemah Fi Zhilalil-Quran,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 249.
35
diucapkan oleh seorang anak
terhadap kedua orang tua pada saat ia tidak
menyetujui pendapat kedua orang
tuanya.16
3. Hendaklah anak mengucapkan
kepada kedua orang tua dengan kata-kata yang
mulia. Kata-kata yang mulia ialah
kata-kata yang diucapkan dengan penuh
khidmat dan hormat, yang
menggambarkan tata adab yang sopan santun dan
penghargaan yang penuh terhadap
orang lain.17
Ini
merupakan sikap positif
yang sangat tinggi tingkatannya,
yakni hendaknya ucapan sang anak kepada
kedua orang tuanya menunjukkan
sikap hormat dan cinta.18
Kemudian Allah berfirman, “dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua”. Merendahkan diri di
depan mereka berdua dengan perbuatanmu sebagai
wujud kasih sayangmu dan
penghormatan atas jasa-jasa mereka. Layanilah
mereka seperti layaknya pembantu
melayani majikannya. Taati mereka dalam
kebaikan, penuhi panggilannya,
tunaikan kebutuhannya, tutupi kesalahannya,
lakukan hal-hal yang bisa
membahagiakan mereka dan jauhi hal-hal yang
menyakiti dan dibenci mereka.19 Al-Faqih Abu
Laits Samarqandy menegaskan:
“sekalipun (umpamanya) perintah
berbakti kepada kedua orang tua itu tidak
dimuat dalam Al-Quran dan
umpamanya tidak tekanannya, pasti akal sehat akan
mewajibkannya, oleh itulah bagi
yang berakal sehat harus mengerti kewajibannya
terhadap kedua orang tua. Apalagi
hal itu telah ditekankan oleh Allah dalam
Semua kitabnya (yakni) Taurat,
Injil, Zabur dan Al-Quran juga telah disampaikan
kepada Nabi bahwa: “Ridha Allah
tergantung ridha kedua orang tua”.20
Allah memerintahkan agar
merendahkan diri kepada kedua orang tua
dengan penuh kasih saying. Yang
dimaksud merendahkan diri dalam ayat ini ialah
mentaati apa yang mereka
perintahkan selama perintah itu tidak bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan
syara’. Taat anak kepada kedua orang tuanya
16 Departemen Agama Republik
Indonesia, hlm. 556.
17 Departemen Agama Republik
Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, hlm. 556.
18 Sayyid Quthb, hlm. 249.
19 Abdul Aziz Al-Fauzan, Fikih
Sosial Tuntunan dan Etika Hidup Bermasyarakat, (Jakarta:
Qisthi Press, 2007), hlm.
244-245.
20 Abu Lait Samarqandy, Terjemah
Tanbihul Ghafilin, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2000),
hlm. 119.
36
merupakan tanda kasih sayangnya
kepada kedua orang tuanya yang sangat
diharapkan terutama pada saat
kedua ibu bapak itu sangat memerlukan
pertolongannya. Ditegaskan bahwa
sikap rendah diri itu haruslah dilakukan
dengan penuh kasih sayang agar
tidak sampai terjadi sikap rendah diri yang
dibuat-buat hanya sekedar untuk
menutupi celaan orang lain atau untuk
menghindari rasa malu pada orang
lain, akan tetapi agar sikap merendahkan diri
itu betul-betul dilakukan karena
kesadaran yang timbul dari hati nurani.21 Dalam
hal ini Allah tidak membedakan
antara ibu dengan bapak. Memang pada dasarnya
ibu hendaknya didahulukan atas
ayah tetapi ini tidak selalu demikian. Thahir Ibnu
Asyur menulis bahwa Imam Syafi’i
pada dasarnya mempersamakan keduanya,
sehingga bila ada salah satu yang
hendak didahulukan maka seorang anak
hendaknya mencari faktor-faktor
penguat guna mendahulukan salah satunya.
Karena itu pula walaupun ada
hadits yang mengisyaratkan perbandingan hak ibu
dengan bapak sebagai tiga
dibanding satu, namun penerapannya pun harus setelah
memperhatikan faktor-faktor yang
dimaksud.
Doa kepada kedua orang tua yang
diperintahkan di sini menggunakan
alasan (___________ ) dipahami oleh sementara ulama dalam arti disebabkan
karena mereka
telah mendidikku di waktu kecil. Jika berkata sebagaimana, maka
rahmat yang dimintakan itu adalah
yang kualitas dan kuantitasnya sama dengan
apa yang seorang anak peroleh
dari keduanya. Adapun bila disebabkan karena,
maka limpahan rahmat yang
dimohonkan anak kepada keduanya itu diserahkan
kepada kemurahan Allah SWT. dan
ini dapat melimpah jauh lebih banyak dan
besar daripada apa yang mereka
limpahkan kepada seorang anak. Sangat wajar
dan terpuji jika seorang anak
memohonkan agar kedua orang tua memperoleh
lebih banyak dari yang kita
peroleh, serta membalas budi melebihi budi mereka.
Ayat ini juga menuntun agar
seorang anak mendoakan kedua orang tuanya. Hanya
saja ulama menegaskan bahwa doa
kepada kedua orang tua yang dianjurkan di
sini adalah bagi yang muslim,
baik masih hidup maupun telah meninggal.
21 Departemen Agama, hlm. 556-557.
37
Sedangkan bila kedua orang tua
tidak beragama Islam telah meninggal, maka
terlarang bagi anak untuk
mendoakannya, Al-Quran mengingatkan bahwa ada suri
tauladan yang baik bagi kaum
muslimin dari seluruh kehidupan Nabi Ibrahim.
Allah berfirman dalam surat
Al-Mumtahannah ayat 4 yaitu :
“kecuali Perkataan Ibrahim kepada
bapaknya: "Sesungguhnya aku akan
memohonkan ampunan bagi kamu dan
aku tiada dapat menolak sesuatupun
dari kamu (siksaan) Allah”. (QS.
Al-Mumtahannah: 4)22
Kemudian dilanjutkan dengan
firman Allah, “Tuhanmu lebih mengetahui
apa yang ada dalam hatimu, jika
kamu orang-orang yang baik, Maka
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun
bagi orang-orang yang bertaubat”. Allah
lebih tau apa yang ada di dalam
hati manusia dari pada manusia itu sendiri, baik
berupa penghormatan kepada kedua
orang tua, berbuat baik kepada mereka atau
meremehkan hak dan durhaka kepada
mereka. Allah akan memberi balasan
kepada seseorang atas kebaikan
atau keburukan yang mereka perbuat. Maka jika
seseorang telah memperbaiki
niatnya terhadap kedua orang tua dan taat kepada
Allah mengenai berbuat baik kepada
kedua orang tuanya yang telah Allah
perintahkan serta menunaikan
suatu kewajiban yang wajib seseorang tunaikan
terhadap mereka, maka
sesungguhnya Allah akan mengampuni seseorang atas
kekurangan yang dia lakukan.
Karena Dialah Yang Maha Pengampun terhadap
orang yang mau bertaubat dari
dosanya dan berhenti dari maksiat kepada Allah,
lalu kembali taat kepada-Nya
serta melakukan hal-hal yang dicintai dan disukai
Allah.23 Ayat tersebut
juga merupakan janji bagi orang yang berniat hendak
berbuat baik kepada orang tua dan
juga ancaman terhadap orang yang
meremehkan hak-hak orang tua
serta berusaha untuk durhaka terhadap mereka
berdua.24
22 M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm.
454-455.
23 Ahmad Mustafa Al-Maragi, hlm. 67.
24 Ahmad Musthafa Al-Maragi, Terjemah
Tafsir Al-Misbah, hlm. 67.
38
Allah memperingatkan agar seorang
anak benar-benar memperhatikan
urusan kebaktian kepada kedua
orang tua dan tidak menganggap sebagai urusan
yang remeh, dengan menjelaskan
Tuhanlah yang lebih mengetahui apa yang
tergerak dalam hati seorang anak,
apakah mereka benar-benar mendambakan
kebaktiannya kepada kedua orang
tua dengan rasa kasih sayang dan penuh
kesadaran, ataukah kebaktian
mereka hanyalah pernyataan lahiriyah saja,
sedangkan di dalam hati mereka
sebenarnya durhaka dan membangkang. Itulah
sebabnya Allah menjanjikan bahwa
apabila mereka benar-benar orang yang
berbuat baik yaitu benar-benar
mentaati tuntutan Allah, berbakti kepada kedua
orang tua dalam arti yang
sebenar-benarnya, maka Allah akan memberi ampunan
kepada mereka atas perbuatannya.25 Penegasan ini
dihadirkan di sini sebelum
pembicaraan lebih lanjut tentang
tugas kewajiban dan prinsip-prinsip moral yang
lain, agar dijadikan barometer
dalam setiap ucapan dan perbuatan. Juga untuk
membuka pintu tobat dan rahmat
bagi yang bersalah atau kurang dalam
melaksanakan tugas kewajibannya.
Karena selagi hati seseorang masih baik
(saleh) maka pintu ampunan tetap
terbuka. Dan orang-orang yang pandai bertobat
adalah mereka yang setiap kali
berbuat salah mereka segera kembali kepada
Tuhan dengan memohon ampunan-Nya.26
Jadi pada hakikatnya syukur
kepada orang tua merupakan bagian dari
perilaku baik seorang hamba
kepada Allah, pelaksanaan terhadap perintahnya dan
pemenuhan terhadap seruannya.
Syukur kepada orang tua merupakan upaya untuk
menghadapkan diri kepada Allah
melalui sebuah ibadah agung yang bernama
“berbakti kepada orang tua”. Hal
itu bertujuan agar orang berbakti kepada kedua
orang tuanya dapat memperoleh
keberuntungan di sisi Tuhannya, Sang Dzat yang
telah menciptakannya, yaitu
keberuntungan berupa tempat kembali yang
diharapkan, akhir yang
diharapkan.27
Allah
SWT memerintahkan kepada manusia
agar berbuat baik kepada kedua
orang tua mereka dengan alasan sebagai berikut:
25 Departemen Agama, hlm. 561.
26 Sayyid Quthb, hlm. 249.
27 Muhammad Al-Fahham, Terjemah Sa’addah Al-Abna’ Fii Birr Al-Ummahat Wa Al-
Aba’, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006),
hlm. 136-137.
39
1. Kasih sayang kedua ibu bapak
yang telah dicurahkan kepada anak-anaknya dan
segala macam usaha yang telah
diberikan agar anak-anaknya menjadi anakanak
yang saleh, jauh dari jalan
sesat. Maka pantaslah apabila kasih sayang
yang tiada taranya itu dan
usahanya tak mengenal payah itu mendapatkan
balasan dari anak-anaknya dengan
berbuat baik kepada mereka dan
mensyukuri jasa baik mereka itu.
2. Anak-anak adalah bagian tulang
dari kedua ibu bapak.
3. Anak-anak sejak masih bayi
hingga dewasa, baik makanan ataupun pakaian
menjadi tanggung jawab kedua
orang tuanya, maka sepantaslah apabila
tanggung jawab itu mendapat
imbalan budi dari anak-anaknya.
Kedua orang tua biasanya
terdorong secara fitrah untuk mengasuh dan
memperhatikan anaknya. Mereka
berkorban apa saja, bahkan mengorbankan
dirinya demi sang anak. Ibarat
sebatang pohon ia menjadi rimbun dan menghijau
sesudah menyedot semua makanan
yang ada pada asal bibitnya sehingga biji itu
menjadi terkoyak. Juga laksana
anak ayam yang menetas sesudah ia menghisap
habis isi telur sehingga tinggal
kulitnya saja. Begitulah sang anak manusia. Ia
menguras kebugaran, kekuatan, dan
perhatian kedua orang tuanya sehingga
mereka berdua menjadi tua renta,
jika memang takdir menunda ajal keduanya.
Meski demikian, kedua orang tua
tetap merasakan bahagia atas segala
pengorbanannya. Sedangkan, sang
anak biasanya cepat sekali ia melupakan itu
semua, dan ia pun segera melihat
kedepan kepada istri dan anak cucunya. Dan
begitulah kehidupan ini terus
melaju.28
Pada prinsipnya kehidupan
keluarga menurut Islam ialah keluarga
menjadi ajang utama untuk
menerapkan perintah-perintah Al-Quran dan Al-
Hadist. Keharmonisan hidup
berkeluarga, hubungan orang tua dengan anak
menyangkut kewajiban, serta hak
dan kewajiban anak untuk berbakti atau berbuat
baik kepada kedua orang tua yang
telah diatur secara mutlak di dalamnya. Sikap
anak kepada kedua orang tua yang
selaras dengan tuntutan Al-Quran dan Al-
28 Sayyid Quthb, hlm. 248.
40
Hadist.29 berbakti kepada
kedua orang tua sebagai perbuatan yang paling baik,
pengorbanan yang paling mulia dan
paling dicintai Allah. Perilaku ini merupakan
faktor terbesar didapatkannya
pahala, kebaikan dan dihapuskannya dosa-dosa. Ia
juga merupakan jalan terdekat
untuk mencapai keridhaan Allah dan surga-Nya.
Bahkan Allah telah menjadikan
keridhaan-Nya terletak pada keridhaan orang tua,
kebencian-Nya terletak pada
kebencian orang tua, dan menjadikan kedua orang
tua sebagai pintu tengah surga,
bahkan menjadikan surga berada di bawah telapak
kaki keduanya.30
Allah menyandarkan perintah
menyembah kepada-Nya dengan perintah
berbuat baik kepada kedua orang
tua mengisyaratkan bahwa berbakti kepada
orang tua merupakan kewajiban
yang harus segera ditunaikan setelah memenuhi
hak Allah. Allah memerintahkan
kepada manusia agar memberi perhatian khusus
kepada kedua orang tua khususnya
orang tua yang telah lanjut usia. Sebab di usia
yang telah lanjut, orang tua
lebih membutuhkan pertolongan dan perhatian dari
anak-anaknya. Merawat orang tua
yang lanjut usia tidaklah mudah. Sebab sifat
mereka menyerupai anak kecil,
butuh disuapi, dimandikan, dibaringkan dan
sebagainya. Oleh karenanya,
dibutuhkan kesabaran dan perhatian yang ekstra
dalam melayaninya.31
Secara singkat dapat dikatakan
bahwa nikmat yang paling banyak
diterima oleh manusia ialah
nikmat Allah, sesudah itu nikmat yang diterima dari
kedua ibu bapak. Itulah sebabnya
maka Allah SWT meletakkan kewajiban
berbuat baik kepada ibu bapak
pada urutan kedua sesudah kewajiban manusia
beribadah hanya kepada Allah.32 Dengan gaya penuturan
yang sejuk dan lembut
serta gambaran masalah yang
inspiratif ini, Al-Quran menyingkap rasa kesadaran
manusia untuk berbakti dan rasa
kasih sayang yang ada dalam nurani seorang
anak terhadap orang tuanya.
Dikatakan demikian karena suatu kehidupan yang
29 A. Munir dan Sudarsono, hlm. 395.
30 Abdul Aziz Al-Fauzan, hlm. 239.
31 Achmad Yani Arifin, Berbakti
Kepada Orangtua, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008),
hlm. 62.
32 Departemen Agama Republik
Indonesia, hlm. 555-556.
41
berjalan seiring dengan
eksistensi makhluk hidup senantiasa mengarahkan
paradigma mereka ke depan, ke
arah anak cucu, kepada generasi baru, generasi
masa depan. Jarang sekali hidup
ini membalikkan pandangan manusia ke arah
belakang, kepada nenek moyang, ke
arah kehidupan masa silam, ke generasi yang
sudah berlalu. Oleh karena itu,
diperlukan dorongan kuat untuk menyingkap tabir
hati nurani seorang anak agar ia
mau menoleh ke belakang serta melihat para
bapak dan para ibu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa
pendidikan akhlak Birrul walidaini pada
ayat ini adalah perintah Allah
untuk berbuat baik kepada orang tua yaitu, pertama
untuk menjaga keridhaan dan
kenyamanan hati orang tua. Menjaga keridhaan
tidak mudah karena persoalan
ridha menyangkut urusan hati. Untuk dapat
menjaga keridhaan orang tua
seorang anak harus betul-betul peka dan empati atas
keadaan orang tua sebab tidak
jarang sesuatu yang seseorang anggap baik, justru
orang tua menganggap sebaliknya
dan ini perlu disadari karena pikiran anak
berbeda dengan pikiran orang tua.
Dan yang kedua yaitu memelihara pergaulan
dengan orang tua, misalnya
merendahkan diri dihadapan mereka, berkata lembut,
bersikap sopan, dan sebagainya.
Hal ini sangat penting dan harus ada perhatian
khusus karena setiap hari seorang
anak berinteraksi dengan kedua orang tua.
Terlebih disaat orang tua telah
memasuki usia lanjut tentunya mereka sangat
memerlukan perhatian lebih dari
seorang anak.
46
BAB IV
AKTUALISASI
NILAI PENDIDIKAN Q.S AL-ISRA’
AYAT 23-25
DALAM
DUNIA MODERN
A. Penguatan
Akidah Peserta Didik
Modernisasi merupakan suatu
proses dalam pembangunan, yang bermakna
suatu usaha untuk mengadakan
perubahan-perubahan dalam lingkungan/masyarakat
berbeda keadaan semula. Hasan
Basri mengemukakan perubahan dalam
(modernisasi, yaitu: perubahan
tersebut sifatnya progresif (maju) bukan sebaliknya
(retriregsif), perubahan yang
menyeluruh dalam berbagai segi kehidupan manusia.
Pergeseran kehidupan yang bukan
hanya dari segi material (duniawi) namun juga
mencakup juga segi spritualnya (ukhrowi)
yang lebih baik). Jadi modernisasi adalah
upaya manusia dalam mengusahakan
segala sesuatu dalam kehidupan agar menjadi
baru dan selaras dengan kemajuan
Iptek yang kesinambungan tanpa harus
mengesampingkan kehidupan ukhrawi.1
Pendidikan agama di sekolahan
umum, terlebih lagi di madrasah, bukan
sekedar mengajar anak untuk hafal
bacaan shalat atau semacamnya. Propenas (UU
No. 25 tahun 2000) menyebutkan
bahwa “pendidikan agama di sekolahan umu (TK,
SD, SLTP, dan SMU) bertujuan
untuk meningkatkan keimanan dan dan ketaqwaan
serta pembinaan akhlak mulia dan
budi pekerti luhur”. Untuk mencapai tujuan yang
disebut tadi, maka perlu ada
penambahan jam pelajaran untuk setiap minggunya.
Oleh karena itu, di dalam
propenas juga disebutkan (di dalam matriks) agar terjadi
“bertambahnya jumlah jam
pelajaran agama, minimal 3 jam pelajaran
perminggunya”. Hal ini harus
dipahami bahwa pelajaran agama di sekolahan
umumpun tidak sekedar bertujuan
untuk mampu menghafal bacaan shalat, namun
lebih besar dari itu, sampai pada
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dan
pembinaan akhlak . oleh karena
itu wajar kalau kemudian penulis pertegas arah
1 Musa Sueb, Urgensi Keimanan
Dalam Abad Globalisasi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1996), hlm. 46-47.
47
pendidikan agama di sekolahan
umum.2
Ada
dua sasaran, sekaligus merupakan arah
pendidikan agama yang perlu
mendapatkan perhatian, yaitu:
Pertama, pendidikan
agama di sekolahan umum hendaknya mampu
mengajarkan aqidah peserta didik
sebagai landasan keberagamaan. Dengan kata lain,
agama diajarkan di sekolah untuk
menjaga akidah peserta didik atau menjaga
keimanan dan ketaqwaannya. Oleh
karena itu, pendidik yang mengajar agama harus
beragama yang sama dengan agama
peserta didik. Pendekatan yang diberikan juga
tidak banyak menekankan pada
kajian kritis yang kritis. Kalau menggunakan
argumentasi rasional (dalil
aqli) sasarannya adalah untuk memperkuat akidah tadi.
Dalam waktu bersamaan, pengertian
menjaga akidah juga hendaknya meliputi
menjaga pemahaman akidah yang
diikuti oleh peserta didik. Dengan kata lain, jika
peserta didik mengikuti aliran
sunni (ahlusunnah wal jama’ah), tidak pada
tempatnya untuk mengangkat guru
agama yang mengikuti aliran syi’ah untuk
mengajar mereka, kecuali ada
kesepakatan dari pihak orang tua. Demikian pula
sebaliknya. Seandainya melakukan
kajian kritis, maka tetap dalam koridor akidahakidah
yang diikuti. Jadi, bukan hanya
seagama, namun juga sepaham dalam aliran
akidah, sehingga tidak akan
timbul masalah yang tidak diinginkan. Sudah barang
tentu, jika sudah semakin dewasa,
perbedaan aliran dalam paham aqidah tidak
menjadi masalah jika masih dalam
satu agama. Bahkan di tingkat pendidikan tinggi
akan diberikan kajian kritis yang
mencakup kajian yang mengkritisi paham-paham
dalam aqidah Islam.
Kedua, pendidikan
agama mengajarkan kepada peserta didik pengetahuan
tentang ajaran agama Islam. Untuk
sasaran ini, dalam beberapa hal memang
diperlukan kognitif atau hafalan.
Namun, dalam praktik dan evaluasinya harus
melibatkan praktik sehari-hari. Pelajaran
bacaan shalat, do’a-do’a, bahkan juga
bacaan ayat-ayat Al-Quran
memerlukan hafalan. Dari hafalan itupun seharusnya
dibarengi dengan praktik secara
rutin dan serius. Ambil contoh tentang shalat.
Disamping peserta didik diberi
pelajaran hafalan untuk menjalankan shalat, dalam
kenyataanya praktik mendirikan
shalat juga harus menjadi perhatian serius. Artinya,
2 A. Qodri Azizi, Pendidikan
Untuk Membangun Etika, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hlm.
73.
48
peserta didik tidak sekedar
diberi pelajaran pengetahuan tentang shalat dengan segala
bacaan yang harus dihafalkan,
namun juga sekaligus hendaknya dipraktekkan untuk
melakukan shalat, terlebih lagi
untuk menjalankan shalat jama’ah.
Sekolah/madrasah
hendaknya berusaha menyediakan
tempat untuk shalat atau mendirikan bangunan
musholla atau masjid permanen.
Akan lebih baik lagi jika bukan hanya
menggalakkan shalat wajib di
musholla atau di masjid saja, namun juga peserta didik
dianjurkan menjalankan ibadah
sunnah, seperti shalat dhuha, tadarrus Al-Quran dan
lainnya. Demikian untuk pelajaran
yang lainnya, seperti zakat, puasa, yang lainnya,
termasuk selain pelajaran ibadah.
Sesuai dengan tingkat berpikir peserta didik, ajaran
Islam juga agar dimaknai secara
kontekstual. Sebagai contoh ajaran zakat. Ajaran
Islam tentang zakat disampaikan
kepada peserta didik tidak dengan cara pemberian
beban, oleh karena zakat adalah
kewajiban. Namun, agar mampu memberi
penjelasan bahwa zakat justru
memberi inspirasi dan sekaligus landasan untuk etos
kerja dari belajar yang rajin
untuk sukses, sampai dengan kerja keras untuk menjadi
orang yang mampu mengeluarkan
zakat. Jadi, ketika peserta didik mendengar katakata
zakat , yang terlintas di dalam
pikirannya bukan beban kewajiban, namun jutru
semangat etos kerja untuk menjadi
orang yang mampu membayar zakat (kaya) dan
kebanggaan untuk mampu
melaksanakan kewajiban berupa membayar zakat.
Kemudian dapat disaksikan bahwa
pelajaran agama Islam tentang zakat mempunyai
keterkaitan dengan keberhasilan
belajar peserta didik dalam materi pelajaran secara
keseluruhan.3
Jumlah jam pelajaran yang
terbatas dengan materi yang diserat
menyebabkan guru agama mengambil
jalan pintas yang paling mudah, yaitu melihat
pendidikan agama lebih sebagai pelajaran
daripada sebagai pendidikan. Sehingga
pendekatan yang dipakainya adalah
pendekatan ilmu yang lebih menyentuh ranah
kognitif. Akibat yang mudah
diharapkan dari pendekatan semacam itu adalah bahwa
peserta didik hanya akan menumpuk
bahan agama sebagai pengetahuan secara
kuantitatif, dan tidak atau
kurang kualitatif dalam pembentukan pribadi. Dengan
demikian diperlukan pendekatan
yang lebih komprehensif yang menyentuh seluruh
aspek pribadi, yang sering
disebut sebagai pendekatan holistik atau integralistik.
3 A. Qodri Azizi, Pendidikan
Untuk Membangun Etika, hlm. 73-75.
49
Dalam hal ini menurut nilsen
bahwa ada 3 faktor yang ikut membentuk kualitas
keberagamaan peserta didik, yaitu:
a. Kualitas pemahaman tentang
Tuhan sebagai nilai tertinggi dalam sistem agama.
b. Kadar keagamaan sehari-hari
terutama bagaimana menghayati hubungan antara
nilai-nilai ideal agama dengan
kenyataan kehidupan yang melibatkannya.
c. Pandangan tentang dirinya,
siapa hakikat dirinya, evaluasi tentang diri dan
kemampuannya.
Menurut Paul Hirst bahwa ajaran
agama termasuk ranah kepercayaan dan
bukan pengetahuan yang dapat
diverifikasi secara umum. Karena itu materi agama
yang diajarkan di sekolah
hendaklah lebih bersifat deskriptif dan bukan penyajian
yang mengagung-agungkan.
Sedangkan menurut Dearden hendaklah dibedakan
antara pendidikan agama dengan
indoktrinasi. Pendidikan agama sebagai bagianbagian
integral dari pendidikan pada
umumnya, tak lepas dari prinsip pendidikan
modern yang menurut Moran
terdapat kecenderungan yang berprinsip bahwa fakta
sentral dari gerakan pendidikan
modern adalah adanya pengakuan terhadap anak
didik sebagai faktor penentu
dalam seluruh rancangan pendidikan. Pendidikan
bukanlah untuk mencetak peserta
didik sesuai dengan cetakan yang telah disiapkan
lebih dahulu, tetapi untuk
mengembangkan kekuatan-kekuatannya yang normal ke
dalam tatanan alamiahnya.4
Agama Islam adalah agama yang
mengajarkan kepada peserta didik
bertauhid meng-Esakan Allah bahwa
tidak ada tuhan yang patut disembah selain
Allah Tuhan Yang Maha Esa. Jiwa
bertauhid kepada Allah semata, ini ditegaskan
Luqman dengan suatu larangan
berbuat syirik (menyekutukan Allah) kepada
anaknya, sebagaimana firman
Allah:
“dan (ingatlah) ketika Luqman
berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar". (Luqman: 12)
4 Ahmad Ludjito, Guru Besar
Bicara: Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam,
(Semarang: Rasail Media Group,
2010), hlm. 23-24.
50
Demikianlah Luqman telah
menanamkan jiwa tauhid sebagai dasar agama
ke dalam diri anaknya sebelum ia
mengajar dan mengisi fikiran anaknya dengan ilmu
pengetahuan. Dipenuhinya jiwa
anaknya dengan semangat ke-Tuhanan Yang Maha
Esa supaya di dalam jiwa anaknya
terbit nur Ilahi, cahaya hidayah Allah yang akan
membimbing serta memimpin
hidupnya ke jalan yang lurus dan benar, jalan
keselamatan dan kesejahtraan
hidup di dunia dan akhirat. Juga agar jiwa anaknya
penuh dengan akhlak dan moral
ke-Tuhanan. Supaya semangat kesucian Allah
mengalir dalam hati nurani dan
pribadinya, ibarat sungai yang dapat memuaskan
dahaga dan menyuburkan tanah.
Demikian pula ilmu pengetahuan itu untuk berbakti
kepada Allah dan menurut
sepanjang keridhaan-Nya tidak disalah gunakan untuk
menghancurkan peradaban dan
kebudayaan, untuk merusak dan membinasakan
dunia seisinya. Dengan dasar
tauhid ini diharapkan jiwa anak mendapat kekuatan
untuk menundukkan hawa nafsu yang
menjadi biang keladi segala bentuk kejahatan
dan kehancuran, mendapatkan kebebasan
dan terlepas dari cengkraman syirik,
khurafat dan takhayul, terhindar
dari poengaruh kekuatan alam dan benda serta
kekuasaan yang banyak dianggap
orang mempunyai kesucian dan kesaktian, yang ke
semua itu untuk memelihara
nilai-nilai hidupnya sebagai makhluk yang termulia.5
keimanan adalah sesuatu yang
teraplikasikan dalam niat, ucapan, dan
perbuatan. Ia dapat menambah
ketaatan seseorang kepada tuhan dan mengurangi
kadar kemaksiatan terhadap-Nya,6 bukan hanya
terletak pada hubungan antara
manusia dengan Tuhannya saja
(berupa penegasan simbol dan praktik ritual), tetapi
juga meliputi masalah-masalah
yang berkaitan langsung dengan kemanusiaan, yaitu
mendidik peserta didik untuk
menjadi insan yang baik, sehingga secara otomatis
menjadi warga negara yang
bermanfaat. Kalau dibahas lebih detail, “bermanfaat”
artinya bahwa seseorang yang
selesai dididik dalam proses pendidikan seharusnya
tidak membawa mudarat (madharat)
bagi orang lain. Lebih jauh, seseorang (peserta
5 A Shamad Hamid, Benalu Benalu
Aqidah, (Jakarta: Qithi, 2005), hlm. 43-44.
6 Sa’id Abdul Azhim, Ukhuwah
Imaniyyah Persaudaraaan Iman, (Jakarta: Qisthi, 2005),
hlm. 163.
51
didik) bukan hanya tidak
mendatangkan mudarat terhadap orang lain, tetapi lebih
dari itu dapat membawa manfaat.7
Pemahaman atau pemaknaan dan
komitmen yang rendah terhadap
ketaqwaan itulah yang menjadi
penyebab utama jarang menyentuh makna yang
sebenarnya dan praktik tentang
taqwa dalam realitas pendidikan. Faktor lain adalah
kebanyakan ahli kurikulum pendidikan,
termasuk pendidikan agama, dan para
pembuat kebijakan pendidikan
belum berfikir ke arah sana. Mestinya dengan adanya
perubahan UUD 1945, terutama
sekali yang berkaitan dengan pendidikan, maka
perhatian itu harus serius.
Penjabaran taqwa ke dalam proses pembelajaran telah
tercabut dari akar maknanya.
Kondisi ini diperkuat dengan model pendidikan yang
lebih mengutamakan dimensi
intelektual (kognitif) ketimbang pengembangan
karakter dan kepribadian manusia.
Maka seringkali dalam proses pembelajaran,
terutama dalam sistem
persekolahan, terlalu menekankan pada hafalan dan apa yang
harus masuk keotak, serta jarang
memberikan ruang kepada penanaman nilai
ketaqwaan sebagai tuntutan tujuan
pendidikan. Makna essensi taqwa itu sendiri
kurang mendapatkan penjelasan dan
uraian sampai pada perwujudan nilai dalam
sikap dan perilaku peserta didik.
Penulis tidak yakin bahwa di
tingkat madrasah pun terdapat penjabaran
yang lebih detail, lebih kongkrit
dan lebih realistis tentang makna taqwa yang
sebenarnya. Padahal Al-Quran
banyak sekali menyebut kata taqwa, dan hampir
selalu ungkapan takwa dibarengi
dengan penyebutan amal shalih. Ini berarti bahwa
praktik ketaqwaan harus mencakup
perilaku kesalehan individual dan sosial dalam
bentuk amal tadi. Ketika
ketaqwaan diwujudkan dalam kehidupan sosial yang baik
(shalih), barulah
ajaran Islam itu dapat disebut membumi atau dipraktekkan dalam
kehidupan keseharian.8 tujuan
pendidikan mengacu pada makna taqwa seperti ini
maka penjabarannya ke dalam
rumusan operasional merupakan keharusan. Tujuan
pendidikan seperti didefinisikan
oleh para ahli pendidikan memang bermacammacam,
namun yang terpenting dapat
penulis sebutkan sederhana, misalnya,
7 A. Qodri Azizi, hlm. 137-138.
8 A. Qodri Azizi, Pendidikan Untuk
Membangun Etika,
hlm. 135-136
52
mendidik peserta didik untuk
menjadi insan yang baik, sehingga secara otomatis
menjadi warga negara yang
bermanfaat.9
jika
ciri-ciri di dalam Al-Quran itu
diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari oleh peserta didik, maka ia akan bermanfaat
bagi dirinya sendiri dan bagi
orang lain, serta bagi bangsa dan negara.10
Faktor-faktor yang memperkuat
nilai-nilai ketauhidan terhadap peserta didik
diantaranya ialah berikut:
1. sikap selalu memperbaharui
syahadat sehingga orang yang bersangkutan terjaga
dari perbuatan-perbuatan yang
mengarah pada kesyirikan.
2. sikap tidak mudah terpengaruh
oleh situasi yang berubah dan menjanjikan hasil
secara cepat (budaya instan).
Sesuatu yang cepat berubah akan pula menjadi
using.
3. sikap asyik dalam beribadah
sehingga membentuk pribadi yang kokoh dan tidak
mudah tergoda oleh pesona
kehidupan duniawi.
4. sikap berhati-hati dalam
ibadah dan ada rasa kekhawatiran bahwa nilai ibadah
masih jauh dari sempurna.
5. sikap tawakkal yang tidak
menenggelamkan pertimbangan akal sehingga tidak
terpuruk ke dalam sikap
fatalitas. Contoh, sikap Umar Ibn Khattab ketika
menghindar untuk berkunjung ke
sebuah daerah yang terserang penyakit menular.
6. sikap menyadari kelemahan
dirinya sebagai manusia, terutama godaan hawa
nafsu, sehingga senantiasa
memohon perlindungan Allah.11
Maksud dari keterangan di atas
adalah membentuk kepribadian peserta didik
dan peran penting untuk
menciptakan generasi yang lebih baik itulah tujuan
pendidikan, yang jelas akan
mengarahkan guru untuk mendidik peserta didik agar
menjadi insan yang baik yang
berarti menjadi warga negara yang baik pula. Ketika
seorang muslim, sebagai wujud
pendidikan yang berhasil, menjadi warga negara
yang baik, ia tidak akan
merugikan dirinya sendiri, orang lain, masyarakat dan
negara. Sebaliknya ia memberi
manfaat kepada orang lain, masyarakat, negara dan
agamanya. Keberhasilan pendidikan
menciptakan kepribadian yang baik bagi peserta
9 A. Qodri Azizi, Pendidikan
Untuk Membangun Etika, hlm. 137
10 A. Qodri Azizi, Pendidikan
Untuk Membangun Etika, hlm. 138
11 Zaky Mubarok Latif, dkk., Akidah
Islam, (Yogyakarta: Uii Press, 2001), hlm 33-34
53
didik mempunyai implikasi bahwa
individu-individu peserta didik atau mantan
peserta didik setelah dewasa
tidak akan merugikan orang/warga negara lain,
masyarakat atau negara. Agar
dapat bermanfaat terhadap warga negara yang lain atau
negara secara keseluruhan
diperlukan kemampuan pengetahuan, ilmu, skill bagi tiaptiap
peserta didik. Kemampuan memberi
bekal kepada peserta didik untuk memiliki
kemampuan pengetahuan/ilmu atau
skill ini juga tergantung kepada keberhasilan
pendidikan. Inilah manfaat dari
pendidikan akidah.12
Modernisasi sebagai proses usaha
pembaharuan dalam masyarakat dengan
menggunakan hasil-hasil
modernisasi ke dalam berbagai aspek kehidupan manusia
tidaklah berlawanan dengan ajaran
Islam, sebaliknya malah justru diharapkan
relisasinya. Agama Islam tidak
melarang umatnya menggunakan hasil-hasil iptek,
selagi modernisasi tersebut
membawa manfaat serta memberi kemaslahatan bagi
perkembangan perekonomian umat,
sehingga dapat meningkatkan drajat hidup umat
manusia. Juga, dalam menggunakan
segala sesuatunya tidak menyimpang dari
ajaran-ajaran-Nya dan tidak
melampaui batas. Selain itu serta dalam era globalisasi
dengan pencarian kebutuhan hidup
jasmaniah, tentu saja juga harus berupaya
menyeimbangkan dengan ruhaniah.
Usaha untuk mendapatkan kesenangan dan
kenikmatan dunia ini merupakan
realisasi agar pemikiran peserta didik tenang dan
jernih, jasmani sehat dan bergairah
untuk beribadah kepada Allah SWT, serta dapat
membantu atau berbuat baik
terhadap semua manusia.13
Ketidakpahaman akan modernisasi
merupakan penyalahtafsiran tentang
kemajuan, agar umat manusia dapat
hidup lebih baik kepada hanya diperuntukkan
keduniaan. Hal ini merupakan
lebih berbahaya dari pada kebodohan. Terlenanya
manusia dengan
kemudahan-kemudahan yang diberikan dalam modernisasi
merupakan penyebab manusia
terkena ujub dunia14. Sudah tentu
dekade keimanan
akan semakin tajam menggerogoti
sanubari umat manusia.15
Agar
peserta didik bisa
12 A. Qodri Azizi, hlm. 138-139.
13 Musa Sueb, hlm. 58.
14 Ujub adalah keangkuhan,
kesombongan dan rasa bangga terhadap hal-hal yang bersifat
keduniaan.
15 Musa Sueb, hlm. 59.
54
berprestasi, maka ia haruslah
kedudukan yang sama, mempunyai kesempatan yang
sama, dan yang lebih penting lagi
mempunyai kemerdekaan untuk berprestasi itu
sendiri. Agar itu semua
terpelihara, maka haruslah tidak terjadi kezaliman atau
perampasan hak sebagian manusia
untuk kepentingan manusia yang lain,16 yang
selalu mengandung nilai-nilai
yang berimplikasi pada kehidupan sosial. Dan hampir
semua ajaran Islam mempunyai
makna untuk kehidupan dunia yang baik, jika
dipraktekkan.17
Dengan dasar tauhid tidak bisa
terlepas dengan bagaimana pelaksanaan
sebagai konsekwensi dari
pengakuan tersebut terhadap diri peserta didik. Peserta
didik bisa saja menyebut dirinya
bahwa ia adalah seorang Muslim, seorang Mu’min
yang percaya kepada Tuhan Yang
Maha Esa, namun apakah pengakuan tersebut
benar-benar telah sesuai antara
lidah dan hatinya, antara ucapan dan amal perbuatan
sebagai seorang Muslim dan Mu’min
yang sesungguhnya sebagaimana dikehendaki
oleh ajaran Islam itu sendiri.
Yang jelas bagi peserta didik yang mempercayai dengan
sepenuh hati bahwa tiada tuhan
yang wajib disembah kecuali Allah dan bahwa
Muhammad itu adalah hamba dan
utusan-Nya tentu ia akan membuktikan keyakinan
itu dengan perbuatan nyata berupa
amal ibadah sebagaimana diperintahkan oleh
Allah dan Rasul-Nya, serta
senantiasa menjaga serta memelihara hubungannya
dengan Allah dengan
sebaik-baiknya. Firman Allah:
“dan aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”.
(Adz-Dzariyat: 56)18
Ayat Al-Quran ini sudah jelas
bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah
agar mereka menyembah Allah
semata. Hanya Allahlah yang patut disembah, hanya
Dia yang patut diabdi,
keridhaanya menjadi tujuan dari semua tindakan. Inilah esensi
dari risalah seluruh Nabi
Muhammad yang hampir-hampir tidak dapat terungkapkan
oleh Nabi sendiri kecuali dalam
Firman Allah yang berarti “Marilah kubacakan apa
16 A. Qodri Azizy, hlm. 97.
17 A. Qodri Azizy, Pendidikan
Untuk Membangun Etika Sosial, hlm. 141.
18 A. Shamad Hamid, hlm. 48.
55
yang diharamkan bagimu oleh
Tuhanmu yaitu janganlah kamu menyekutukan
sesuatu dengan Dia”. Bahwa tauhid
adalah perintah Tuhan yang tertinggi dan
terpenting dibuktikan oleh
kenyataan adanya janji Tuhan untuk mengampuni semua
dosa kecuali pelanggaran terhadap
tauhid. Allah tidak akan mengampuni dosa syirik
terhadap-Nya tetapi Dia
mengampuni dosa-dosa selain dari itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa
mempersekutukan sesuatau dengan Allah maka
sungguh dia sudah berbuat dosa
yang besar. Jelas sekali tidak ada satupun perintah
dalam Islam yang bisa dilepaskan
dari tauhid. Seluruh agama itu sendiri kewajiban
untuk menyembah Tuhan, untuk
mematuhi perintah-perintah-Nya dan akan hancur
begitu tauhid dilanggar. Memang
melanggar tauhid berarti meragukan bahwa Allah
adalah Satu-satunya Tuhan. Dan
ini berarti meyakini adanya wujud-wujud lain selain
Allah sebagai Tuhan sebuah
keyakinan yang hanya mungkin muncul dari mereka
yang meragukan keterikatan
manusia dengan firman Tuhan.19
Jadi dapat disimpulkan dari
keterangan di atas bahwa aktualisasi nilai-nilai
pendidikan akidah dalam dunia
modern memiliki tujuan agar umat manusia dapat
hidup lebih baik dan lebih
sejahtera, baik dari segi lahiriyyah maupun segi
batiniyyahnya dalam menggeluti
tatanan kehidupan di dunia ini dengan tanpa
mengesampingkan kehidupan
ukhrawinya. Agar tujuan modernisasi yang
bernafaskan Islami itu tercapai
dan dapat mensejahterakan kehidupan umat manusia
dari dunia sampai akhirat, maka
seseorang harus selalu membina dan memupuk
secara kontinyu keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah SWT.20
B. Penanaman
Nilai Birrul Walidaini
Tidak diragukan lagi bahwa
mendidik anak merupakan sebuah tanggung
jawab yang sangat berat dan
pekerjaan yang sangat melelahkan. Tanggung jawab ini
dimulai dari masa kehamilan,
melewati masa menyusui, dan diakhiri dengan masa
pembentukan kepribadian dan
pemberian perhatian kepada anak. Itu semua
merupakan sebuah tugas yang
bersifat moril dan materiil. Berapa banyak ibu yang
19 Isma’il Raji Al-Faruqi, Terjemah
tauhid: Its Implications For Thought And Life,
(Bandung: Pustaka Jalan Ganesha,
1988), hlm. 17.
20 Musa Sueb, hlm. 59-66.
56
merasakan tubuhnya lemah, uratnya
letih, dan bebannya terasa semakin berat akibat
beratnya proses kehamilan. Allah
SWT berfirman dalam surat Al-Ahqaaf Ayat 15:
“Kami perintahkan kepada manusia
supaya berbuat baik kepada dua orang
ibu bapaknya, ibunya
mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah
(pula). mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh
bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan
umurnya sampai empat puluh tahun
ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku
untuk mensyukuri nikmat Engkau
yang telah Engkau berikan kepadaku dan
kepada ibu bapakku dan supaya aku
dapat berbuat amal yang saleh yang
Engkau ridhai; berilah kebaikan
kepadaku dengan (memberi kebaikan)
kepada anak cucuku. Sesungguhnya
aku bertaubat kepada Engkau dan
Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri". (Al-
Ahqaaf:15)
Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika Allah SWT menjadikan syukur
kepada orang tua dengan cara yang
telah disebutkan dalam Al-Quran sebagai salah
satu perwujudan rasa syukur
kepada Allah.21
Barang
siapa yang bersyukur kepada
kedua orang tua, maka
sesungguhnya dia telah bersyukur kepada Allah SWT. Allah
berfirman dalam Surat Luqman ayat
14:
“bersyukurlahkepadaku dan kepada
dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-
Kulah kembalimu”. ( Luqman: 14)
Ditegaskan bahwa sikap rendah
diri itu harus dilakukan dengan penuh kasih
sayang agar tidak sampai terjadi
sikap rendah diri yang dibuat-buat hanya untuk
sekedar menutupi celaan orang
lain atau untuk menghindari rasa malu pada orang
lain, akan tetapi agar sikap
merendahkan diri itu betul-betul dilakukan karena
21 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), hlm. 132.
57
kesadaran yang timbul dari hati
nurani. Dasar-dasar Islam ialah wawasan tajam
terhadap sistem kehidupan Islam
yang sesuai dengan kedua sumber pokok (Al-Quran
dan As-Sunnah) yang menjadi dasar
bagi perumusan tujuan dan pelaksanaan
pendidikan Islam. Pendidikan
Islam harus memperhatikan dua sudut dalam aspek
kehidupan manusia secara terpadu
tanpa adanya pemisah. Seperti aspek jasmaniah
dan ruhaniah, akliyah dan
qolbiyah, individu dan sosial, duniawiyah dan
ukhrawiyah. Pendidikan
Islam mengarahkan kepada pembentukan insan kamil, yakni
khalifah Allah yang pada
hakikatnya ialah menjadi manusia saleh (manusia yang
dapat menjadikan rahmat bagi
semesta alam).22
Penanaman nilai birrul
walidaini akan menjadi nyata bila seorang anak
berbuat baik kepada kedua orang
tuanya lima hal sebagai berikut:
1. Janganlah kamu jengkel
terhadap sesuatu yang kamu lihat dilakukan oleh salah
satu dari orang tua atau oleh
kedua-duanya yang menyakitkan hati orang lain,
tetapi bersabarlah menghadapi
semua itu dari mereka berdua, dan mintalah pahala
Allah atas hal itu, sebagaimana
kedua orang tua itu pernah bersikap sabar
terhadapmu ketika kamu kecil.
2. Janganlah kamu menyusahkan
keduanya dengan suatu perkataan yang membuat
mereka berdua merasa tercela. Hal
ini merupakan larangan menampakkan
perselisihan terhadap mereka
berdua dengan perkataan yang disampaikan dengan
nada menolak atau mendustakan
mereka berdua, di samping ada larangan untuk
menampakkan kejemuan, baik
sedikit maupun banyak.
3. Ucapkanlah dengan ucapan yang
baik kepada kedua orang tua dan perkataan yang
manis, dibarengi dengan rasa
hormat dan mengagungkan, sesuai dengan
kesopanan yang baik, dan sesuai
dengan tuntutan kepribadian yang luhur. Seperti
ucapan: Wahai Ayahanda, wahai
Ibunda. Dan janganlah kamu memanggil
orangtua dengan nama mereka,
jangan pula kamu meninggikan suaramu di
hadapan orangtua, apalagi kamu
memelototkan matamu terhadap mereka berdua.23
22 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Pendidikan, hlm. 132.
23 Abdullah bin Muhammad bin
Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Terjemah Lubaib Tafsir
Min Ibni Katsir,
(Kairo:
Mus’assasah, 1994), hlm. 238.
58
4. Bersikaplah kepada kedua orang
tua dengan sikap tawadhu’ dan merendahkan
diri, dan taatlah kamu kepada
mereka berdua dalam segala yang diperintahkan
terhadapmu, selama tidak berupa
kemaksiatan kepada Allah. Yakni, sikap yang
ditimbulkan oleh belas kasih dan
sayang dari mereka berdua, karena mereka
benar-benar memerlukan orang yang
bersifat butuh pada mereka berdua. Dan
sikap seperti itulah, puncak
ketundukan dan kehinaan yang bisa dilakukan.
5. Hendaklah kamu
berdoa kepada Allah agar dia merahmati kedua orang tua dengan
rahmatnya yang abadi, sebagai
imbalan kasih sayang mereka berdua terhadap
dirimu ketika kamu kecil, dan
belas kasih mereka yang baik terhadap dirimu.24
Maksud dari keterangan di atas
adalah Janganlah seorang anak memandang
kedua orang tua kecuali dengan
belas kasih, jangan meninggikan suara melebihi
tingginya suara orang tua, jangan
mendahului kehendaknya.25
Anak
harus
menundukkan pandangan dan
membungkukkan diri dihadapan ibu bapaknya, maka
secara otomatis ia tidak boleh
berkacak pinggang di depan orang tuanya, apalagi
bersikap menantang. Karena adanya
keharusan sikap menunduk di hadapan ibu
bapak ini, maka hal yang harus
diperhatikan ialah anak tidak boleh bersujud seperti
ia sujud dalam shalat di hadapan
ibu bapaknya karena ingin melakukan perintah ini.
Sebab sujud hanyalah boleh
dilakukan manusia terhadap Allah semata-mata26, yang
bertujuan untuk bertawadhu’
kepada kedua orang tua.27
Kalau diaktualisasikan dalam
dunia modern ini, justru perlakuan terhadap
orang tua yang sudah lanjut usia
sungguh terbalik. Di saat mereka membutuhkan
perhatian lebih dari orang-orang
terdekat terutama seorang anak, malahan mereka
kebanyakan diasingkan dari
keluarga dengan alasan supaya mendapatkan perhatian
yang lebih baik. Akhirnya, mereka
dititipkan di panti jompo atau yang lain. Memang
24 Mustafa al-Maragi Ahmad, Tafsir
Al-Maragi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), hlm.
62-63.
25 Muhammad Husain At-Thobatobai, Al-Mizan
Fi Tafsir Al-Quran, (Libanan: Yayasan
A’lami, 1991), hlm. 96.
26 Muhammad Thalib, 40 Tanggung
Jawab Anak Terhadap Orang Tua, (Yogyakarta:
Ma’alimul Usrah, 2005), hlm. 27.
27 Abdurrahman An-Nahlawi,
Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah Dan Masyarakat, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hlm.
476.
59
memasukkan orang tua ke panti
jompo bukanlah tindakan tercela. Tetapi alangkah
lebih baik jika seorang anak
sendiri yang merawatnya. Bukankah dulu seorang anak
dirawat orang tuanya sendiri.
Dulu orang tua sangat takut berpisah dengan anak
tetapi mengapa sekarang pada usia
lanjut dipisah dengan dititipkan di panti jompo
dan lain sebagainya.28 Dalam suatu
kesempatan, Rasulullah pernah berkata bahwa
orang yang diberi kesempatan oleh
Allah untuk merawat kedua orangtuanya yang
lanjut usia merupakan keuntungan
yang sangat besar. Namun sebaliknya, bagi
mereka yang hanya bisa
menyaksikan orang tuanya sampai lanjut, tapi tidak berbuat
kebaikan terhadapnya, maka akan
sangat merugi di akhirat kelak.29 Rasulullah SAW
bersabda:
“Sesungguhnya nista, sungguh
nista, sungguh nista!ditanyakan kepada
Rasulullah, “siapakah wahai
Rasul?” Beliau bersabda, “orang yang bisa
menerima kedua orangtuanya atau
salah satunya yang sudah berusia lanjut,
tetapi ia tidak bisa masuk
surga”. (H.R. Muslim)30
Memasukkan orang tua ke panti
jompo jauh lebih lengkap dan terjamin
tetapi alangkah lebih baiknya
jika kita sendiri yang merawat mereka. Bukankah dulu
seorang anak dirawat sendiri oleh
mereka, benar bahwa fasilitas di panti jompo jauh
lebih lengkap dan terjamin.
Tetapi rasa tenang tinggal di rumah sendiri dengan
ditemani anak-anak dan cucu-cucu
tidak akan diperoleh di panti jompo.31 Inti ajaran
Islam yang dibawa Rasulullah saw
tidak lain adalah membentuk manusia yang
berakhlak dan memiliki moralitas
yang baik. Rasulullah sendiri
menyatakan:”sesungguhnya aku diutus tidak lain dalam rangka
menyempurnakan
akhlakul karimah”. Oleh karena
itu Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
akhlak, ia merupakan ruh dari
semua perbuatan, aktivitas, kreasidan karya manusia.
Kualitas perilaku seseorang
diukur dari faktor moral/akhlak ini, sebagai cermin dari
28 Achmad Yani Arifin, Berbakti
Kepada Orang Tua, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008),
hlm. 62.
29 Achmad Yani Arifin, Berbakti
Kepada Orang Tua, hlm. 45-48.
30 Imam Muslim, Shahih Muslim,
(Sankapurah Pinang: Sulaiman marai, .), hlm. 420.
31 Achmad Yani Arifin, Berbakti
Kepada Orang Tua, hlm. 62.
60
kebaikan hatinya. Rasulullah saw
dalam sebuah hadits mengatakan:”ketahuilah
bahwa didalam jasad manusia itu
ada segumpal daging, bila ia baik akan baiklah
manusia itu dan apabila ia rusak,
rusak pulalah manusia itu. Ketahuilah, itu adalah
hati”.32
Akhlak menempati posisi yang
sangat penting dalam Islam. Pentingnya
kedudukan akhlak dapat dilihat
dari berbagai sunnah qauliyyah (sunnah dalam
bentuk perkara) Rasulullah.
Sebagaimana diriwayatkan oleh imam Akhmad yaitu:
“sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak, dan diriwayatkan oleh
imam Tarmizi yaitu: “mukmin yang
paling sempurna imannya adalah orang yang
paling baik akhlaknya”. dan
akhlak Nabi Muhammad, yang diutus menyempurnakan
akhlak manusia itu disebut akhlak
Islam atau akhlak Islami, karena bersumber dari
wahyu Allah yang kini terdapat
dalam Al-Quran yang menjadi sumber utama agama
dan ajaran Islam.33
Pendidikan akhlak merupakan
bagian besar dari isi pendidikan Islam. Posisi
ini terlihat dari kandungan
Al-Quran sebagai referensi paling penting tentang akhlak
bagi kaum muslimin, individu,
keluarga, masyarakat dan umat. Akhlak merupakan
buah Islam yang bermanfaat bagi
manusia dan kemanusiaan serta membuat hidup
dan kehidupan menjadi baik.
Akhlak merupakan alat kontrol psikis dan sosial bagi
individu dan masyarakat. Tanpa
akhlak masyarakat manusia tidak akan berbeda dari
kumpulan hewan.34 Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh
manusia sekarang ini, tidak
sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan
perilakunya, baik ia sebagai
manusia yang beragama, maupun sebagai mahkluk
individu dan sosial. Dampak
negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan
manusia atas kemajuan yang
dialami ditandai dengan adanya kecenderungan
menganggap bahwa satu-satunya
yang dapat membahagiakan hidupnya adalah nilai
materiil, sehingga manusia
terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-
32 Zulkarnain, Transformasi
Nilai-Nilai Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hlm. 8.
33 Mohammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010), hlm. 348-349.
34 Hery Noer Aly dan Munzier, Watak
Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani,
2003), hlm. 89.
61
nilai spiritual yang sebenarnya
berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan
akhlak manusia.35
Jadi dapat disimpulkan penanaman
nilai birrul walidaini adalah berbuat
baik kepada orang tua yakni
berbakti kepada orang tua. Allah memerintahkan kepada
manusia untuk berbakti kepada
orang tua lebih-lebih saat mereka sudah usia lanjut.
Perintah untuk tetap berbakti
kepada orang tua yang sudah lanjut usia
mengindikasikan bahwa ketaatan
kepada orang tua harus dilakukan secara
menyeluruh. Menyeluruh artinya
dalam seluruh hidup seorang anak. Selagi seorang
anak masih hidup di dunia maka
seorang anak wajib berbakti kepada mereka.
Menyeluruh juga bisa diartikan
berbakti kepada orang tua secara total baik dengan
hati, lisan, maupun anggota
tubuh. Dengan hati seorang anak dapat mendoakan orang
tua. Dengan lisan seorang anak
dapat bertutur kata dengan baik kepada mereka.
Dengan anggota tubuh seorang anak
dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan
mereka di saat mereka sudah tidak
mampu lagi memenuhi kebutuhannya sendiri.
35 Mahjuddin, Kuliah
Akhlak-Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hlm. 39.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa
nilai-nilai pendidikan dalam Q.S
Al-Isra’ ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam
dunia modern yaitu:
1. Nilai-nilai pendidikan yang
terkandung dalam Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 yaitu
pertama, pendidikan
akidah yakni Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk
mengesakan-Nya dalam ibadah dan
dalam penyembahan serta melarang
mereka menyekutukan Allah dengan
apa pun atau siapa pun.Oleh sebab itu,
yang berhak mendapat penghormatan
tertinggi hanyalah yang menciptakan
alam dan semua isinya. Dia-lah
yang memberikan kehidupan dan kenikmatan
pada seluruh makhluk-Nya. Maka
apabila ada manusia yang memuja-muja
benda-benda alam ataupun kekuatan
ghaib yang lain, berarti ia telah sesat,
karena kesemua benda-benda itu adalah
makhluk Allah yang tak berkuasa
memberi manfaat dan tak berdaya
untuk menolak kemudaratan serta tak berhak
disembah.kedua, Pendidikan
birrul walidaini (berbuat baik kepada kedua orang
tua) yakni sesudah Allah
memerintahkan supaya jangan menyembah selain Dia
lalu Allah memerintahkan kepada
kaum Muslimin agar mereka benar-benar
memperhatikan urusan kebaktian
kepada kedua ibu bapak dan tidak
menganggapnya sebagai urusan yang
remeh, dengan menjelaskan bahwa
Tuhanlah yang lebih mengetahui
apa yang tergetar dalam hati mereka, apakah
mereka benar-benar mendambakan
kebaktiannya kepada kedua ibu bapak
dengan rasa kasih sayang dan
penuh kesadaran, ataukah kebaktian mereka
hanyalah pernyataan lahiriyah
saja, sedang di dalam hati mereka sebenarnya
durhaka dan membangkang. Itulah
sebabnya Allah menjanjikan bahwa apabila
mereka benar-benar orang-orang
yang berbuat baik, yaitu benar-benar mentaati
tuntunan Allah, berbakti kepada
kedua ibu bapak dalam arti yang sebenarbenarnya,
maka Allah akan memberikan
ampunan kepada mereka atas
perbuatannya.
63
2. aktualisasinilai-nilai
pendidikan berdasarkan Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 dalam
dunia modern yaitupertama,
pendidikan akidah di sekolahan hendaknya
mengajarkan kepada peserta didik
bertauhid meng-Esakan Allah bahwa tidak
ada tuhan yang patut disembah
selain Allah Tuhan Yang Maha Esa. Jumlah
jam pelajaran yang terbatas
dengan materi yang diserat menyebabkan guru
agama mengambil jalan pintas yang
paling mudah, yaitu melihat pendidikan
agama tidak lebih sebagai pelajaran
daripada sebagai pendidikan. Sehingga
pendekatan yang dipakainya adalah
pendekatan ilmu yang lebih menyentuh
ranah kognitif. Akibat yang mudah
diharapkan dari pendekatan semacam itu
adalah bahwa peserta didik hanya
akan menumpuk bahan agama sebagai
pengetahuan secara kuantitatif,
dan tidak atau kurang kualitatif dalam
pembentukan pribadi. Dengan
demikian diperlukan pendekatan yang lebih
komprehensif yang menyentuh
seluruh aspek pribadi, yang sering disebut
sebagai pendekatan holistik atau
integralistik.kedua, pendidikan birrul
walidaini (berbuat baik
kepada kedua orang tua) dalam dunia modern sekarang
inijustru perlakuan terhadap
orang tua yang sudah lanjut usia sungguh terbalik.
Di saat mereka membutuhkan
perhatian lebih dari orang-orang terdekat
terutama seorang anak, malahan
mereka kebanyakan diasingkan dari keluarga
dengan alasan supaya mendapatkan
perhatian yang lebih baik. Akhirnya,
mereka dititipkan di panti jompo
atau yang lain.Memang memasukkan orang
tua ke panti jompo bukanlah
tindakan tercela. Tetapi alangkah lebih baik jika
seorang anak sendiri yang
merawatnya. Bukankah dulu seorang anak dirawat
orang tuanya sendiri. Dulu orang
tua sangat takut berpisah dengan anak tetapi
mengapa sekarang pada usia lanjut
dipisah dengan dititipkan di panti jompo
dan lain sebagainya.
B. Saran–saran
Dari keterangan di atas penulis
mempunyai saran-saran yaitupertama,
pendidikan akidah di sekolahan
hendaknya mampu mengajarkan aqidah peserta
didik sebagai landasan
keberagamaan. Dengan kata lain, akidah diajarkan di
sekolah untuk menjaga akidah
peserta didik atau menjaga keimanan dan
64
ketaqwaannya. Oleh karena itu,
pendidik yang mengajar agama harus beragama
yang sama dengan agama peserta
didik. Pendekatan yang diberikan juga tidak
banyak menekankan pada kajian
kritis yang kritis. Kalau menggunakan
argumentasi rasional (dalil
aqli) sasarannya adalah untuk memperkuat akidah tadi.
Dalam waktu bersamaan, pengertian
menjaga akidah juga hendaknya meliputi
menjaga pemahaman akidah yang
diikuti oleh peserta didik.Jumlah jam pelajaran
yang terbatas dengan materi yang
diserat menyebabkan guru agama mengambil
jalan pintas yang paling mudah,
yaitu melihat pendidikan agama lebih sebagai
pelajaran daripada sebagai
pendidikan. Sehingga pendekatan yang dipakainya
adalah pendekatan ilmu yang lebih
menyentuh ranah kognitif. Akibat yang mudah
diharapkan dari pendekatan
semacam itu adalah bahwa peserta didik hanya akan
menumpuk bahan agama sebagai
pengetahuan secara kuantitatif, dan tidak atau
kurang kualitatif dalam
pembentukan pribadi. Dengan demikian diperlukan
pendekatan yang lebih
komprehensif yang menyentuh seluruh aspek pribadi
dengan adanya penambahan jam
pelajaran setiap minggunya.kedua, pendidikan
birrul walidaini(berbuat baik
kepada kedua orang tua) seharusnya seorang anak
memandang kedua orang tua kecuali
dengan belas kasih, jangan meninggikan
suara melebihi tingginya suara
orang tua, jangan mendahului kehendaknya.Anak
harus menundukkan pandangan dan
membungkukkan diri dihadapan ibu
bapaknya, maka secara otomatis ia
tidak boleh berkacak pinggang di depan orang
tuanya, apalagi bersikap
menantang.Pada masa sekarang, memasukkan orang tua
ke panti jompo jauh lebih lengkap
dan terjamin tetapi alangkah lebih baiknya jika
seorang anak sendiri yang merawat
mereka. Bukankah dulu seorang anak dirawat
sendiri oleh mereka, benar bahwa
fasilitas di panti jompo jauh lebih lengkap dan
terjamin. Tetapi rasa tenang
tinggal di rumah sendiri dengan ditemani anak-anak
dan cucu-cucu tidak akan
diperoleh di panti jompo.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Zaenal (3102044), Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surah Al A’raf ayat
199, Semarang :
Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2007.
Abdul Azhim Sa’id, Ukhuwah
Imaniyyah Persaudaraaan Iman, Jakarta: Qisthi,
2005.
Abu Bakar Bahrul, Terjemah
Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru, 1990.
Abu Lait Samarqandy Abu, Terjemah
Tanbihul Ghafilin, Surabaya, Mutiara Ilmu,
2000.
Achmadi, Ideologi Pendidikan
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Agil Husin Al-MunawarSaid, Al-Quran
Membangun Kesalehan Hakiki, Jakarta:
Ciputat Press, 2002.
Ahmad Ludjito, Guru Besar
Bicara: Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam,
Semarang: Rasail Media Group,
2010.
Aly As Shabuny Muhammad, Al-Tibyan Fi ‘Ulum Al-Quran, Bairut: Alim
Al-
Kutub, 1985.
Al-Qattan Mana’ Khalil, Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj.
Mudzakir, Bogor: Pustaka
Literatur Antarnusa, 2007.
Al-Maragi Ahmad Mustafa, Terjemah
Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 1993.
Al-Ansari Abdullaah bin Ibrahim, Fathul
Bayan Fi Maqosidil Quran, Bidaulatil
Qitrin: Ihya’ Turosil Islam,
1248.
Al-Fahham Muhammad, Terjemah Sa’addah Al-Abna’ Fii Birr Al-Ummahat Wa Al-
Aba’, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006.
Alu Syaikh Abdullah bin Muhammad
bin Abdurrahman bin Ishaq, Terjemah Lubaib
Tafsir Min Ibni Katsir,
Kairo:
Mus’assasah, 1994.
Al-Fauzan Abdul Aziz, Fikih
Sosial Tuntunan dan Etka Hidup Bermasyarakat,
Jakarta: Qisthi Press, 2007.
Al-Fahham Muhammad, Terjemah Sa’addah Al-Abna’ Fii Birr Al-Ummahat Wa Al-
Aba’, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006.
Al-Qarni Aidh, Tafsir Muyassar,
Jakarta: Qisthi Press, 2007.
An-Nawawi Muhammad, Murohu
Lubaid Tafsir An-Nawawi, Semarang: Toha
Putra,.
An-Nahlawi Abdurrahman,
Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah Dan Masyarakat,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Arikunto Suharsimi, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2006.
As Siraji Raghib, Cara Cerdas
Hafal Al-Qur’an, Solo: Aqwam,
2010.
Azizy A. Qodri, Pendidikan
untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu,
2003.
Baidam Nashruddin Baidam, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Bahreisy Salim dan Bahreisy Said,
Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1990.
Baidan Nashrudin, Methodologi
Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar,
2005.
bin Muhammad bin Abdurrahman bin
Ishaq Alu Syaikh Abdullah, Terjemah Lubaib
Tafsir Min Ibni
Katsir, Kairo:
Mus’assasah, 1994.
Departemen Agama RI, Al-Quran
dan Terjemah Indonesia Inggris, Solo: Qamari,
2008.
Departemen Agama, Al-Quran dan
Tafsirnya, Semarang: PT. Citra Effhar, 1993.
Departemen Agama, Al-Quran dan
Tafsirnya, Jakarta: Depag., 1990.
Departemen Agama, Tafsir
Al-Quran, Semarang: PT. Citra Effhar, 1993.
Huda Faiq Jauharotul (3101332),
Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Menurut Al-Qur’an
surat At
Taghabun ayat 14,
Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah,
2008.
Hasbi Ash-Shiddieqy T.M., Al-Bayaan,
Bandung: PT Al-Ma’arif,. .
Hakim Abdul Hamid, As-Sullam,
Jakarta: Saadiyyah Putra,. .
Hery Noer Aly dan Munzier, Watak
Pendidikan Islam, JAkarta: Friska Agung Insani,
2003.
Husain At-Thobatobai Muhammad, Al-Mizan
Fi Tafsir Al-Quran, Libanan: Yayasan
A’lami, 1991.
Ibn Rusn Abidin, Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009.
Jauhari Muchtar Heru, Fiqih
Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda karya, 2005.
Jalalain Imam, Tafsir Jalalain,
Surabaya, Darul Ilmi,. .
Junaedi Mahfud, Ilmu
Pendidikan Islam Filsafat dan Pengembangan, Semarang:
Rasail Media Group, 2010.
Khalid Amr, Spiritual Al-Quran,
Yogyakarta: Darul Hikmah, 2009.
Malik Karim Amrullah Abdul, Tafsir
Al-Azhar, Singapura: Pustaka Nasional PTE
LTD, 1999.
Mahjuddin, Kuliah
Akhlak-Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulia, 1991.
Menteri Agama Republik Indonesia,
Al-Quran dan Tafsirnya, Jakarta: Menteri
Agama Republik Indonesia, 1990.
Mohammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010.
Mulyati Sri, Nilai-nilai
pendidikan keimanan anak dalam al-Quran surat al Jin ayat
20, Semarang :
Perpustakaan fakultas tarbiyah, 2010.
Munir A. dan Sudarsono, Dasar-Dasar
Agama Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Mustafa al-Maragi Ahmad, Tafsir
Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1993.
Mubarok Latif Zaky, dkk., Akidah
Islam, Yogyakarta: Uii Press, 2001.
Mustafa al-Maragi Ahmad, Tafsir
Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1993.
Muslim Imam, Shahih Muslim,
Sankapurah Pinang: Sulaiman marai, .
Naim Ngainun , Pengantar Studi
Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.
Nikmatul Ulfa, Nilai-nilai pendidikan social dalam Al Qur’an surat Al
Ma’un,
Semarang : Perpustakaan Fakultas
Tarbiyah, 2008.
Quraish Shihab M., Tafsir
Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Quraish Shihab. M , Membumikan
Al-Quran, Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007.
Quthb Sayyid, Fi Zhilalil-Quran,
Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Raji Al-Faruqi Isma’il, Terjemah
tauhid: Its Implications For Thought And Life,
Bandung: Pustaka Jalan Ganesha,
1988.
Ristianto Sugeng, Tauhid Kunci
Surga Yang Diremahkan, Semarang: Rasail, 2010.
Setyosar Punaji, Metode
penelitian pendidikan, Jakarta : Kencana, 2010.
Shamad Hamid A, Benalu Benalu
Aqidah, Jakarta: Qisthi, 2005.
Sueb Musa, Urgensi Keimanan
Dalam Abad Globalisasi, Jakarta: Padoman Ilmu
Jaya, 1996.
Supiana dan Karman M., Ulumul
Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, Bandung:
Pustaka Islamika, 2002.
Syadali Ahmad dan Rofi’i Ahmad, Ulumul
Quran 1, Bandung: CV Pustaka Setia,
2000.
Taufiq Ahmad dan Rohmadi
Muhammad, Pendidikan Agama Islam Pendidikan
Karakter
Berbasis Agama,
Surakarta: Yuma Pressindo, 2010.
Thalib Muhammad, 40 Tanggung
Jawab Anak Terhadap Orang Tua,Yogyakarta:
Ma’alimul Usrah, 2005.
Tim Departemen Agama Fisif-ut , Pendidikan
Agama Islam, Jakarta: Universitas
Terbuka, 2005.
Ya’kubi Nizam Muhammad Saleh dan
Shadik Muhammad, TerjemahQurratu Al-
Ainaini Fi
Fadhail Birri Al-Wahdain Wa 55 Hikayah Fi Birri Al-Walidaini
Li Thiflika, Solo: Ziyad
Visi Media, 2009.
Yani Arifin Achmad, Berbakti
Kepada Orangtua, Yogyakarta: Insan Madani, 2008.
Yusuf Ali Anwar, Studi Agama
Islam,Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Zulkarnain, Transformasi
Nilai-Nilai Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.
DAFTAR RIWAYAT
HIDUP PENULIS
Nama Lengkap : Khanif
TTL : Demak, 21 Februari 1987
Nomor Induk Mahasiswa : 073111029
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Alamat Asal : Lengkong Rt:
003/IIV Sayung Demak
Pendidikan
Formal :
1. SDN Sayung IV, lulus tahun
2001
2. MTs NS Sayung, lulus tahun
2004
3. MAK Futuhiyyah Mranggen ,
lulus tahun tahun 2007
4. IAIN Walisongo Semarang Fak.
Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama
Islam angkatan 2007, lulus tahun
2012
Yang menyatakan,
Khanif
No comments:
Post a Comment