Sunday 25 October 2015

Materi Zie - NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN SURAH AL-ISRA’ AYAT 23-25 DAN AKTUALISASINYA DALAM DUNIA MODERN



NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM
AL-QUR’AN SURAH AL-ISRA’ AYAT 23-25
DAN AKTUALISASINYA DALAM DUNIA MODERN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana
Dalam Ilmu Pendidikan Islam
oleh:
K H A N I F
NIM : 073111029
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Khanif
NIM : 073111029
Jurusan/ Program Studi : Tarbiyah/PAI
Menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/
karyasaya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 4 April 2012
Saya yang menyatakan
Khanif
NIM. 073111029
iii
iv
v
vi
ABSTRAK
Judul : Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Q.S Al-Isra’ Ayat 23-25dan
Aktualisasinya Dalam Dunia Modern
Penulis : Khanif
NIM : 073111029
Skripsi ini membahas nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S
Al-Isra’ Ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam dunia modern. Kajiannya dilatar
belakangi oleh minimnya pendidikan aqidah (Mengesakan Allah) dan berbuat
baik kepada kedua orang tua (birrul walidaini). Studi ini dimaksudkan untuk
menjawab permasalahan:(1) Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam
Q.S. Al-Isra’ ayat 23-25? (2) Bagaimanakah aktualisasi nilai-nilai pendidikan
agama berdasarkan Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 dalam dunia modern? Permasalahan
tersebut dibahas melalui kitab suci Al-Quran yang menjadi pedoman hidup orang
Islam. Selain itu, sumber data penulisan ini juga diambil dari buku-buku atau
bahan bacaan yang relevan dengan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi
ini. Sumber data penelitian ini penulis bedakan menjadi dua kelompok, yang
pertama adalah sumber primer yang berasal dari Al-Quran dan yang kedua adalah
sumber sekunder yang berasal dari data yang diperoleh dari sumber-sumber lain
yang masih berkaitan dengan masalah penelitian seperti: Tafsir klasik dan tafsir
kontemporer.
Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Nilai-nilai pendidikan yang
terkandung dalam Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 yaitu pertama, pendidikan akidah yakni
Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan-Nya dalam ibadah dan
dalam penyembahan serta melarang mereka menyekutukan Allah dengan apa pun
atau siapa pun. Oleh sebab itu, yang berhak mendapat penghormatan tertinggi
hanyalah yang menciptakan alam dan semua isinya yaitu Allah SWT.kedua,
Pendidikan birrul walidainiyakni sesudah Allah memerintahkan supaya jangan
menyembah selain Dia lalu Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar
mereka benar-benar memperhatikan urusan kebaktian kepada kedua ibu bapak dan
tidak menganggapnya sebagai urusan yang remeh, dengan menjelaskan bahwa
Tuhanlah yang lebih mengetahui apa yang tergetar dalam hati mereka.(2)
aktualisasinilai-nilai pendidikan berdasarkan Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 dalam dunia
modern yaitu pertama, pendidikan akidah di sekolahan hendaknya mengajarkan
kepada peserta didik bertauhid meng-Esakan Allah bahwa tidak ada tuhan yang
patut disembah selain Allah Tuhan Yang Maha Esa. Jumlah jam pelajaran yang
terbatas dengan materi yang diserat menyebabkan guru agama mengambil jalan
pintas yang paling mudah, yaitu melihat pendidikan agama tidak lebih sebagai
pelajaran daripada sebagai pendidikan.kedua, pendidikan birrul walidaindalam
dunia modern sekarang inijustru perlakuan terhadap orang tua yang sudah lanjut
usia sungguh terbalik. Di saat mereka membutuhkan perhatian lebih dari orangorang
terdekat terutama seorang anak, malahan mereka kebanyakan diasingkan
dari keluarga dengan alasan supaya mendapatkan perhatian yang lebih baik.
Akhirnya, mereka dititipkan di panti jompo atau yang lain.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena ijin dan ridha-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Nilai-Nilai Pendidikan Dalam
Q.S Al-Isra’ Ayat 23-25 Dan Aktualisasinya Dalam Dunia Modern”. Shalawat
dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir
zaman dan pembawa rahmat bagi makhluk seluruh alam. Dalam penulisan ini,
penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini terlepas dari
keterbatasan penulis sebagai manusia dengan segala kekurangan dan kekhilafan.
Tidak ada kata yang pantas penulis ungkapkan kepada pihak-pihak yang
membantu proses pembuatan skripsi ini, kecuali terima kasih yang sebesarbesarnya
kepada:
1. Dr. Suja’i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
selalu mengembangkan keilmuan di Fakultas Tarbiyah.
2. Nasirudin, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang selalu memberi arahan dan nasehat.
3. Dr. Musthofa, M.Ag. selaku pembimbing I danAlis Asikin, M.A. selaku
pembimbing II yang telah berkenan untuk meluangkan waktu, tenaga dan
pikirannya, untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Dosen jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah membekali penulis dengan
berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman
5. Ayahanda H. Subkhan dan ibunda Hj. Mutiah yang tidak henti-hentinya
memberikan dorongan baik moril maupun materiil dan tidak pernah bosan
mendoakan penulis dalam menempuh studi dan mewujudkan cita-cita.
6. Teman-teman penulis yaitu Adam Fatukaloba, Rois Ma’sum dan Mukhlisin
yang ikut memberikan motivasi selama menempuh studi, khususnya dalam
proses penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang
lebih dari yang mereka berikan.
viii
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,
baik dari segi materi, metodologi dan analisisnya. Oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis berharap, semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para
pembaca pada umumnya. Amin.
Semarang,4 April2012
Penulis
Khanif
073111029
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................. ii
PENGESAHAN .................................................................................................. iii
NOTA PEMBIMBING ....................................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................ vi
TRANSLITERASI ............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... x
BAB I: PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 3
D. Kajian Pustaka ................................................................................... 3
E. Metode Penelitian..................................................................... ......... 5
F. Sistematika Pembahasan............................................................. ....... 8
BAB II : DESKRIPSI Q.S AL-ISRA’ AYAT 23-25 ............................................. 9
A. Surat Al-Isra’ Ayat 23-25 .................................................................. 9
1. Redaksi Ayat dan Terjemahan ...................................................... 9
2. Munasabah ................................................................................... 9
3. Asbabun Nuzul ............................................................................ 11
B. Pendapat Mufasir Klasik Tentang Penafsiran Q.S Al-Isra’ Ayat .... 14
C. Pendapat Mufasir Kontemporer Tentang Penafsiran Q.S Al-Isra’
Ayat 23-25 ....................................................................................... 19
x
BAB III : NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM Q.S AL-ISRA’ AYAT
23-25 ..................................................................................................... 25
A. Pendidikan Tauhid ........................................................................... 25
B. Pendidikan Birrul Walidaini ............................................................ 31
BAB IV : AKTUALISASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN Q.S AL-ISRA’
AYAT 23-25 DALAM DUNIA MODERN ......................................... 42
A. Penguatan Akidah Peserta Didik ..................................................... 42
B. Penanaman Nilai Birrul Walidaini .................................................. 51
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 58
A. Kesimpulan ...................................................................................... 58
B. Saran ................................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP


NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM
AL-QUR’AN SURAH AL-ISRA’ AYAT 23-25
DAN AKTUALISASINYA DALAM DUNIA MODERN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana
Dalam Ilmu Pendidikan Islam
oleh:
K H A N I F
NIM : 073111029
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Khanif
NIM : 073111029
Jurusan/ Program Studi : Tarbiyah/PAI
Menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/
karyasaya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 4 April 2012
Saya yang menyatakan
Khanif
NIM. 073111029
iii
iv
v
vi
ABSTRAK
Judul : Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Q.S Al-Isra’ Ayat 23-25dan
Aktualisasinya Dalam Dunia Modern
Penulis : Khanif
NIM : 073111029
Skripsi ini membahas nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S
Al-Isra’ Ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam dunia modern. Kajiannya dilatar
belakangi oleh minimnya pendidikan aqidah (Mengesakan Allah) dan berbuat
baik kepada kedua orang tua (birrul walidaini). Studi ini dimaksudkan untuk
menjawab permasalahan:(1) Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam
Q.S. Al-Isra’ ayat 23-25? (2) Bagaimanakah aktualisasi nilai-nilai pendidikan
agama berdasarkan Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 dalam dunia modern? Permasalahan
tersebut dibahas melalui kitab suci Al-Quran yang menjadi pedoman hidup orang
Islam. Selain itu, sumber data penulisan ini juga diambil dari buku-buku atau
bahan bacaan yang relevan dengan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi
ini. Sumber data penelitian ini penulis bedakan menjadi dua kelompok, yang
pertama adalah sumber primer yang berasal dari Al-Quran dan yang kedua adalah
sumber sekunder yang berasal dari data yang diperoleh dari sumber-sumber lain
yang masih berkaitan dengan masalah penelitian seperti: Tafsir klasik dan tafsir
kontemporer.
Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Nilai-nilai pendidikan yang
terkandung dalam Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 yaitu pertama, pendidikan akidah yakni
Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan-Nya dalam ibadah dan
dalam penyembahan serta melarang mereka menyekutukan Allah dengan apa pun
atau siapa pun. Oleh sebab itu, yang berhak mendapat penghormatan tertinggi
hanyalah yang menciptakan alam dan semua isinya yaitu Allah SWT.kedua,
Pendidikan birrul walidainiyakni sesudah Allah memerintahkan supaya jangan
menyembah selain Dia lalu Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar
mereka benar-benar memperhatikan urusan kebaktian kepada kedua ibu bapak dan
tidak menganggapnya sebagai urusan yang remeh, dengan menjelaskan bahwa
Tuhanlah yang lebih mengetahui apa yang tergetar dalam hati mereka.(2)
aktualisasinilai-nilai pendidikan berdasarkan Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 dalam dunia
modern yaitu pertama, pendidikan akidah di sekolahan hendaknya mengajarkan
kepada peserta didik bertauhid meng-Esakan Allah bahwa tidak ada tuhan yang
patut disembah selain Allah Tuhan Yang Maha Esa. Jumlah jam pelajaran yang
terbatas dengan materi yang diserat menyebabkan guru agama mengambil jalan
pintas yang paling mudah, yaitu melihat pendidikan agama tidak lebih sebagai
pelajaran daripada sebagai pendidikan.kedua, pendidikan birrul walidaindalam
dunia modern sekarang inijustru perlakuan terhadap orang tua yang sudah lanjut
usia sungguh terbalik. Di saat mereka membutuhkan perhatian lebih dari orangorang
terdekat terutama seorang anak, malahan mereka kebanyakan diasingkan
dari keluarga dengan alasan supaya mendapatkan perhatian yang lebih baik.
Akhirnya, mereka dititipkan di panti jompo atau yang lain.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena ijin dan ridha-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Nilai-Nilai Pendidikan Dalam
Q.S Al-Isra’ Ayat 23-25 Dan Aktualisasinya Dalam Dunia Modern”. Shalawat
dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir
zaman dan pembawa rahmat bagi makhluk seluruh alam. Dalam penulisan ini,
penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini terlepas dari
keterbatasan penulis sebagai manusia dengan segala kekurangan dan kekhilafan.
Tidak ada kata yang pantas penulis ungkapkan kepada pihak-pihak yang
membantu proses pembuatan skripsi ini, kecuali terima kasih yang sebesarbesarnya
kepada:
1. Dr. Suja’i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
selalu mengembangkan keilmuan di Fakultas Tarbiyah.
2. Nasirudin, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang selalu memberi arahan dan nasehat.
3. Dr. Musthofa, M.Ag. selaku pembimbing I danAlis Asikin, M.A. selaku
pembimbing II yang telah berkenan untuk meluangkan waktu, tenaga dan
pikirannya, untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Dosen jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah membekali penulis dengan
berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman
5. Ayahanda H. Subkhan dan ibunda Hj. Mutiah yang tidak henti-hentinya
memberikan dorongan baik moril maupun materiil dan tidak pernah bosan
mendoakan penulis dalam menempuh studi dan mewujudkan cita-cita.
6. Teman-teman penulis yaitu Adam Fatukaloba, Rois Ma’sum dan Mukhlisin
yang ikut memberikan motivasi selama menempuh studi, khususnya dalam
proses penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang
lebih dari yang mereka berikan.
viii
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,
baik dari segi materi, metodologi dan analisisnya. Oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis berharap, semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para
pembaca pada umumnya. Amin.
Semarang,4 April2012
Penulis
Khanif
073111029
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................. ii
PENGESAHAN .................................................................................................. iii
NOTA PEMBIMBING ....................................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................ vi
TRANSLITERASI ............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... x
BAB I: PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 3
D. Kajian Pustaka ................................................................................... 3
E. Metode Penelitian..................................................................... ......... 5
F. Sistematika Pembahasan............................................................. ....... 8
BAB II : DESKRIPSI Q.S AL-ISRA’ AYAT 23-25 ............................................. 9
A. Surat Al-Isra’ Ayat 23-25 .................................................................. 9
1. Redaksi Ayat dan Terjemahan ...................................................... 9
2. Munasabah ................................................................................... 9
3. Asbabun Nuzul ............................................................................ 11
B. Pendapat Mufasir Klasik Tentang Penafsiran Q.S Al-Isra’ Ayat .... 14
C. Pendapat Mufasir Kontemporer Tentang Penafsiran Q.S Al-Isra’
Ayat 23-25 ....................................................................................... 19
x
BAB III : NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM Q.S AL-ISRA’ AYAT
23-25 ..................................................................................................... 25
A. Pendidikan Tauhid ........................................................................... 25
B. Pendidikan Birrul Walidaini ............................................................ 31
BAB IV : AKTUALISASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN Q.S AL-ISRA’
AYAT 23-25 DALAM DUNIA MODERN ......................................... 42
A. Penguatan Akidah Peserta Didik ..................................................... 42
B. Penanaman Nilai Birrul Walidaini .................................................. 51
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 58
A. Kesimpulan ...................................................................................... 58
B. Saran ................................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran merupakan kalam Allah yang mu’jiz, yang diturunkan kepada Nabi
dan Rasul terakhir (Muhammad SAW) melalui perantara malaikat Jibril ditulis dalam
lembaran-lembaran (mashahif) sampai kepada umat manusia secara mutawatir dan
membacanya termasuk ibadah, diawali dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan
surat al-Nas.1Al-Quran juga sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Di dalamnya
mencakup ajaran tentang I’tiqad (keyakinan), akhlak (etika), sejarah, serta amaliyah
(tindakan praktis).2
Al-Quran merupakan peraturan bagi umat sekaligus sebagai way of lifenya
yang kekal hingga akhir masa. Oleh karena itu, kewajiban umat Islam adalah
memberikan perhatian yang besar terhadap Al-Quran baik dengan cara membacanya,
menghafalkan atau mempelajarinya. Dalam Al-Quran tidak terdapat sedikitpun
kebatilan serta kebenarannya terpelihara dan dijamin keasliannya oleh Allah SWT
sampai hari kiamat.3Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hijr ayat 9 yang
artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan Sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya”.4 Al-Quran diturunkan bertujuan untuk menjadi
petunjuk (hudan) dan pedoman bagi manusia dalam menata perjalanan hidupnya
dunia sampai akhirat. Al-Quran sebagai petunjuk tidak akan bermanfaat sebagaimana
mestinya jika tidak dibaca, dipahami maknanya (kognitif), dihayati kandungannya
(afektif), dan kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (psikomotor).5Al-
1 Muhammad „Aly As Shabuny, Al-Tibyan Fi ‘Ulum Al-Quran, (Bairut: Alim Al Kutub,
1985), hlm. 8
2 Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 56
3 Raghib As Siraji, Cara Cerdas Hafal Al-Qur’an, (Solo: Aqwam, 2010), hlm. 16
4 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah Indonesia Inggris, (Solo: Qamari, 2008), hlm. 515
5 Mana Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj. Mudzakir, (Bogor: Pustaka
Literatur Antarnusa, 2007), hlm. 19
2
Quran bukanlah merupakan kitab undang-undang dan lebih lagi bukan buku sains
dan teknologi.
Menurut Fazlur Rahman bahwa tujuan pokok Al-Quran adalah ajaran moral.
jika melihat kebelakang, keadaan dimana pertama kali Al-Quran diturunkan, maka
akan ditemui keadaan masyarakat Makkah yang penuh dengan berbagai problem
sosial. Dari yang paling kronis berupa praktek-praktek polyteisme penyembahan
kepada berhala-berhala, eksploitasi terhadap orang miskin-miskin, penyalahgunaan
di dalam perdagangan, sampai pada tidak adanya tanggung jawab umum terhadap
masyarakat. Meresponi situasi masayarakat seperti itu, Al-Quran meletakkan ajaran
tauhid atau ketuhanan Yang Maha Esa, di mana setiap manusia harus
bertanggungjawab kepadanya, dan pemberantasan kejahatan sosial dan ekonomi dari
tingkat yang paling bawah sampe ke tingkat yang paling atas.6
Selain pelajaran mengenai aqidah, dalam ayat ini penulis juga
mengidentifikasi masalah lain yang menjadi pokok kandungannya, diantaranya yaitu
aspek akhlak yang menjelaskan tentang birrul walidain (berbuat baik pada kedua
orang tua). Dimana akhlak seorang anak terhadap kedua orangtua saat-saat mereka
sangat membutuhkan yakni di saat kedua orang tua dalam usia lanjut. Bagaimana
seorang anak berbuat baik kepeda kedua orang tua karena pada saat lanjut usia
perilaku mereka berubah seperti anak-anak dan banyak lupa. Ini termasuk bagian
dari perilaku birrul walidain seorang anak terhadap kedua orang tua.7
B. Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini, yang penulis jadikan sebagai rumusan masalah adalah:
1. Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S. Al-Isra ayat 23-25?
2. Bagaimanakah aktualisasi nilai-nilai pendidikan agama berdasarkan Q.S Al-Isra
ayat 23-25 dalam dunia modern?
6A. Qodri Azizy, Pendidikan Untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003),
hlm. 92
7 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007), hlm. 45
3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, tujuan dilakukan penelitian ini
adalah untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung pada surat Al-Isra ayat 23-25
dan aktualisasinya dalam dunia modern. Sedangkan manfaat yang dapat kita ambil
dari penelitian telaah Al-Quran ini adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan wawasan yang lebih komprehensif terhadap pemahaman nilai-nilai
yang terkandung dalam Q.S Al-Isra ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam dunia
modern.
2. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu membantu dalam usaha penghayatan
dan pengamalan terhadap isi kandungan dan nilai-nilai yang ada pada Al-Quran
baik yang tersirat atau pun yang tersurat, lebih khusus lagi pada Q.S Al-Isra ayat
23-25 dan aktualisasinya dalam dunia modern.
3. Penelitian ini dapat memberikan sedikit sumbangan bagi literatur ilmu pendidikan
dalam beberapa aspek, yaitu aspek aqidah, akhlak, dan muamalah.
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan kajian penting dalam sebuah penelitian yang akan
kita lakukan. Kajian pustaka disebut juga kajian literal. Kajian pustaka merupakan
sebuah uraian tentang literatur yang relevan dengan bidang atau topik tertentu.8
Penelitian pustaka ini pada dasarnya bukan penelitian yang benar-benar baru.
Sebelum ini banyak yang sudah mengkaji objek penelitian tentang nilai-nilai
pendidikan. Oleh karena itu, penulisan dan penekanan skripsi ini harus berbeda
dengan skripsi yang telah dibuat sebelumnya. Adapun telaah yang digunakan pada
penulisan skripsi ini ialah menggunakan prior research (penelitian terdahulu). Prior
research yaitu penelitian terdahulu yang telah membahas nilai-nilai pendidikan.
Namun prior research yang digunakan penulis dalam pembuatan skripsi ini,
adalah nilai-nilai pendidikan yang telah dikhususkan objek kajiannya, seperti nilainilai
pendidikan akidah dan akhlak, dan lain sebagainya. Diantara prior research
yang dimaksudkan diantaranya adalah sebagai berikut :
8 Punaji Setyosari, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm 72
4
1. Nilai-nilai pendidikan akhlak menurut Al Qur’an surat At Taghabun ayat 14.
Disusun oleh Faiq Jauharotul Huda. Di sini dinyatakan nilai-nilai pendidikan
akhlak yang dilakukan kepada anak dengan menggunakan metode pembiasaan
yang sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari harus mengikuti dan
menyesuaikan dengan perkembangan anak. Penerapan pendidikan antara periode
satu dengan periode yang lainnya harus berbeda, sebagai perbedaan tersebut
berpengaruh terhadap perbedaan usia dan bahkan peningkatan karakter dan
paradigma anak. Jadi pendidikan akhlak yang dilakukan kepada anak seharusnya
menggunakan metode pembiasaan yang sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari.9
2. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surah Al A’raf ayat 199. Disusun oleh Zaenal
Abidin.10 Di sini dinyatakan bahwa pola pendidikan Islami adalah pola
pendidikan Qurani yang diaplikasikan oleh Rasulullah Saw. dalam kehidupan
sehari-hari, diantaranya melalui metode-metode pendidikan yang dicontohkan
oleh beliau. Metode pendidikan Qurani adalah suatu cara atau tindakan-tindakan
dalam lingkup peristiwa pendidikan yang terkandung dalam Al-Quran dan Assunnah.
Jadi metode dalam pendidikan akhlak seharusnya menganut kepada
pendidkan yang diajarkan oelh Rasulullah yang terkandung dalam Al-Quran dan
As-sunnah 11
3. Nilai-nilai pendidikan social dalam Al-Quran surat Al Ma’un. Disusun oleh
Nikmatul Ulfa. Di sini dinyatakan bahwa pembiasaan dalam pendidikan memiliki
peranan yang sangat penting karena dengan membiasakan kepada anak terhadap
hal-hal yang baik akan memasukkan unsur-unsur positif dalam pribadi yang
sedang tumbuh dengan metode pembiasaan, pembelajaran diharapkan akan lebih
bermakna bagi siswa. Jadi Metode pembiasaaan tepat untuk diterapkan dalam
pengamalan pendidikan ahklak sebagai mata pelajaran yang dapat mendorong
9 Faiq Jauharotul Huda (3101332), Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Menurut Al-Qur’an Surat At-
Taghabun Ayat 14, (Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2008), td
10 Zaenal Abidin (3102044), Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Surah Al-A’raf Ayat 199,
(Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2007), td
11 Heri Jauhari Muchtar, Fiqih Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosda karya, 2005), hlm.
216
5
siswa menghayati sekaligus mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan
sehari-hari.12
4. Nilai-nilai pendidikan keimanan anak dalam al-Quran surat al Jin ayat 20.
Disusun oleh Sri Mulyati.13 Di sini dinyatakan bahwa dengan bertambahnya ilmu,
iman, sesorang akan lebih mantap, lebih kokoh, dan tindak tanduknya selalu
mengingat keagungan dan kebesaran Illahi. Ilmu yang dimaksud tersebut adalah
ilmu tentang alam (sunatullah) serta ilmu tentang agama Allah SWT (dinullah),
sebab keduanya merupakan kebenaran yang datangnya dari Allah.14
Dari beberapa kajian pustaka di atas, maka jelaslah bahwa tulisan skripsi
yang membahas tentang nilai-nilai pendidikan dalam Q.S Al-Isra ayat 23-25
belumlah ada yang membahasnya. Dari hal inilah, penulis akan mencoba
memaparkan dan menganalisis tentang nilai-nilai pendidikan yang ada pada Q.S
Al-Isra ayat 23-25 dan Aktualisasinya dalam dunia modern.
E. Metode Penelitian
1. Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mengemukakan fokus penelitian sebagai
berikut : nilai-nilai pendidikan pada Q.S Al-Isra yang meliputi tentang aspek
pendidikan aqidah dan aspek pendidikan birrul walidain (berbuat baik pada
kedua orang tua), Bagaimana akhlak seorang anak terhadap kedua orangtua di
saat mereka sangat membutuhkan yakni di saat kedua orang tua dalam usia
lanjut. Seharusnya seorang anak berbuat baik kepeda kedua orang tua karena
pada saat lanjut usia perilaku mereka berubah seperti anak-anak dan banyak lupa.
Ini bagian dari perilaku birrul walidain seorang anak terhadap kedua orang tua.
Penelitian ini secara tidak langsung juga merupakan studi sejarah
mengenai cerita isra mirajnya nabi Muhammad SAW, karena hal tersebut juga
12 Nikmatul Ulfa, Nilai-Nilai Pendidikan Social Dalam Al-Quran Surat Al-Ma’un, (Semarang :
Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2008), td
13 Sri Mulyati, Nilai-Nilai Pendidikan Keimanan Anak Dalam Al-Quran Surat Al-Jin Ayat 20,
(Semarang : Perpustakaan fakultas tarbiyah, 2010), td
14 Musa Sueb, Urgensi Keimanan Dalam Abad Globalisasi, (Jakarta: Padoman Ilmu Jaya,
1996), hlm. 63
6
terdapat pada Q.S Al-Isra ayat 23-25, dan yang menjadi fokus penelitian ini
adalah mengenai isi dari Q.S Al-Isra ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam dunia
modern.
2. Sumber Data
Data penelitian ini diperolehdari kitab suci Al-Quran yang menjadi
pedoman hidup orang Islam. Selain itu, sumber data penulisan ini juga diambil
dari buku-buku atau bahan bacaan yang relevan dengan pembahasan masalah
dalam penulisan skripsi ini. Sumber data penelitian ini penulis bedakan menjadi
dua kelompok, yang pertama adalah sumber primer, dan yang kedua adalah
sumber sekunder.
a) Sumber Primer
Sumber primer adalah data yang diperoleh dari sumber inti. Dalam
melakukan kajian mengenai suatu ayat, maka jelaslah kalau yang menjadi
sumber data primer adalah berasal dari Al-Quran.
b) Sumber Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain
yang masih berkaitan dengan masalah penelitian, dan memberi interpretasi
terhadap sumber primer. Sumber data sekunder dapat berupa kitab-kitab tafsir
maupun buku-buku bacaan yang masih relevan dengan pembahasan skripsi
ini.15 Kitab-kitab tafsir yang penulis jadikan sebagai referensi penulisan
skripsi adalah sebagai berikut :
1) Tafsir klasik :
a) Tafsir Al Maraghi, karya Ahmad Musthafa Al Maraghi
b) Tafsir Al Munir, karya Muhammad Nawawi Al Jawi
c) Tafsir Fi Dzilalil Quran, karya Sayyid Quthb
2) Tafsir kontemporer :
a) Tafsir Al Misbah, karya M.Quraish Shihab.
b) TafsirAl-Azhar, karya Abdul Malik Karim amrullah
c) Tafsir Al Bayan, karya Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
15 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2006), hlm. 231
7
3. Metode Pengumpulan Data
Tidak kalah penting dari metode-metode lain, adalah metode
dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, dan sebagainya.16
Menjadikan perpustakaan sebagai sumber data utama, yang dimaksud
adalah untuk menggali teori dan konsep yang telah ditentukan oleh para ahli
terdahulu, mengikuti perkembangan penelitian di bidang yang akan diteliti,
memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang dipilih, dan memanfaatkan
data sekunder, serta menghindari duplikasi penelitian. Kemudian ditelaah dan
dikritisi, serta mengadakan interpretasi secara cermat dan mendalam.
4. Metode Analisis Data
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, langkah berikutnya adalah
menganalisis dengan metode yang diinginkan. Metode yang digunakan dalam
menganalisis tulisan ini adalah metode tahlili.
Metode Tahlili adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
itu, serta menerangkan makna-makna yang mencakup di dalamnya sesuai dengan
keahlian dan kecenderungan mufasir yang mentafsirkan ayat tersebut.
Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna yang
terkandung dalam Al-Quran, ayat demi ayat, dan surat demi surat sesuai dengan
urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut mencakup berbagai aspek yang
terkandung dalam ayat yang ditafsirkan, seperti pengertian kosakata, konotasi
kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik
sebelum maupun sesudahnya. Dan tak ketinggalan pula pendapat yang telah
diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan
oleh Nabi, sahabat, para tabi’in, maupun ahli tafsir lainnya.17
16 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, hlm. 231
17 Nashrudin Baidan, Methodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005),
hlm. 31
8
F. Sistematika Pembahasan
Bab pertama dimulai dengan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua mendeskripsikan tentang Q.S Al-Isra ayat 23-25 menurut para
mufassir yakni menurut mufassir klasik dan mufassir kontemporer.
Bab ketiga pemaparan nilai-nilai pendidikan dalam Q.S Al-Isra ayat 23-25.
Bab keempat analisa dari aktualisasi pendidikan Q.S Al-Isra ayat 23-25 dalam
dunia modern.
Bab kelima kesimpulan secara keseluruhan serta memberi saran jika perlu.
9
BAB II
DESKRIPSI Q.S AL-ISRA’ AYAT 23-25
A. Surat Al-Isra’ Ayat 23-25
1. Redaksi Ayat dan Terjemahan
           
             
            
      ___________     
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "Ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia,
dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil", Tuhanmu
lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang
baik, Maka Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang
bertaubat”.1
2. Munasabah
Munasabah secara etimologi berarti kedekatan (al-muqarabah) dan
kemiripan atau keserupaan (al-musyakalah). Ia juga bisa berarti hubungan atau
persesuaian. Secara terminologi munasabah adalah ilmu Al-Quran yang
digunakan untuk mengetahui hubungan antar ayat atau surat dalam Al-Quran
secara keseluruhan dan latar belakang penempatan tertib ayat dan suratnya.
Menurut Quraisy Shihab munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat
pada hal-hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang
1 Idris Abdul Somad, Dkk., Al-Quran dan Tafsirnya, (Semarang: PT. Citra Effhar, 1993),
hlm. 550-551.
10
menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.2 Pendapat lain mengatakan
bahwa munasabah merupakan sebuah ilmu yang digunakan untuk mengetahui
alasan-alasan penertiban bagian-bagian dari Al-Quran. Bahkan pendapat lain
mengatakan munasabah merupakan usaha pemikiran manusia dalam menggali
rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal. Dengan
demikian, ilmu ini menjelaskan aspek-aspek hubungan antara beberapa ayat atau
surat Al-Quran baik sebelum maupun sesudahnya. Hubungan tersebut bisa berupa
hubungan am (umum) dan khas (khusus), antara yang abstrak dan yang kongkrit,
antara sebab dan akibat, antara yang rasional dan yang irasional, atau bahkan
antara dua hal yang kontradiktif.
Adapun yang menjadi ukuran (kriteria) dalam menerangkan macammacam
munasabah ini dikembalikan kepada derajat kesesuaian (tamatsul atau
tasyabuh) antara aspek-aspek yang dibandingkannya. Jika munasabah itu terjadi
pada masalah-masalah yang satu sebabnya dan ada kaitan antara awal dan
akhirnya, maka munasabah ini dapat dipahami dan diterima akal. Sebaliknya, jika
munasabah itu terjadi pada ayat-ayat yang berbeda sebabnya dan masalahnya
tidak ada keserasian antara satu dengan lainnya, maka hal itu tidak dikatakan
berhubungan (tanasub), karena sebagian ulama mengatakan:
Munasabah adalah suatu urusan (masalah) yang dapat dipahami, jika ia
dikemukakan terhadap akal, niscaya akal menerimanya”.3
Jadi dapat disimpulkan bahwa munasabah termasuk hasil ijtihad mufasir,
bukan tawqifi (petunjuk Nabi), buah penghayatannya terhadap kemukjizatan
(i’jaz) Al-Quran dan rahasia retorika (makna) yang dikandungnya.4 Adapun letak
persesuaian antara surat ini dengan surat an-Nahl dan sebabnya surat ini
diletakkan sesudahnya adalah sebagai berikut:
2 Nashruddin Baidam, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hlm. 184-185.
3 Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, (Bandung:
Pustaka Islamika, 2002), hlm. 161-162.
4 Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, hlm. 161-162.
11
1. Bahwa Allah SWT. pada surat An-Nahl menceritakan tentang perselisihan
umat Yahudi mengenai hari Sabtu, sedang pada surat ini Allah menunjukkan
Syari’at Ahlus-Sabti (Syariat Yahudi) yang telah allah syari’atkan dalam
Taurat. Menurut riwayat yang dikeluarkan dari Ibni Jarir dan Ibnu Abbas,
bahwa dia pernah mengatakan: Sesungguhnya isi Taurat seluruhnya terdapat
pada lima belas ayat dari surat Bani Israil.
2. Bahwa setelah Allah SWT. memerintahkan Nabi SAW. supaya bersabar dan
menahan agar jangan bersedih dan jangan bersempit dada terhadap tipu daya
orang-orang Yahudi pada surat yang lalu, maka pada surat ini Allah
menyebutkan tentang kemuliaan Nabi-Nya dan keluhuran di sisi Tuhannya.
3. Pada surat yang lalu, Allah menyebutkan beberapa nikmat yang banyak,
sehingga karenanya surat itu disebut surat An-Ni’am. Maka, di sini pun Allah
menyebut beberapa nikmat khusus maupun umum.
4. Pada surat yang lalu, Allah menyebutkan bahwa lebah mengeluarkan dari
dalam perutnya suatu minuman yang bermacam-macam dan mengandung
obat bagi manusia. Maka Allah berfirman dalam surat Al-Isra’ ayat 82 yaitu:
       
“Dan kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman”.
5. Pada surat yang lalu, Allah SWT menyuruh supaya menyantuni kepada
kerabat. Hal yang sama juga diperintahkan oleh Allah di samping
diperintahkan pula agar memberi sesuatu kepada orang miskin dan ibnu
sabil.5
3. Asbabun Nuzul
Menurut bahasa “Asbabun Nuzul” berarti sebab-sebab turunnya ayatayat
Al-Quran. Al-Quran di turunkan Allah SWT. kepada Muhammad SAW.
secara berangsur-angsur dalam masa kurang lebih 23 tahun. Al-Quran diturunkan
untuk memperbaiki akidah, akhlak, ibadah dan pergaulan manusia yang sudah
5 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, (Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 1993), hlm. 1-2.
12
menyimpang dari kebenaran. Sebab al-Nuzul atau asbabunnuzul (sebab-sebab
turunnya ayat) di sini dimaksudkan sebab-sebab yang secara khusus berkaitan
dengan turunnya ayat-ayat tertentu. Shubhi Al-Shahih memberi definisi
asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya ayat) yaitu:
“Sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang
mengandung sebab itu, tau memberi jawaban terhadap sebab itu atau
menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut”
Berdasarkan rumusan di atas bahwa sebab turun suatu ayat adakalanya
berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau
beberapa ayat turun untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa
tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu.6 Surat ini
mempunyai beberapa nama, antara lain yang paling populer adalah surat Al-Isra’
dan surat Bani Isra’il. Ia dinamai al-Isra’ karena awal ayat ini berbicara tentang
Al-Isra’ yang merupakan uraian yang tidak ditemukan secara tersurat selain pada
surat ini. Demikian juga dengan nama Bani Isra’il, karena hanya di sini diuraikan
tentang pembinaan dan penghancuran Bani Isra’il. Ia juga dinamakan dengan
surat subhana karena awal ayatnya dimulai dengan kata tersebut. Nama yang
populer bagi kumpulan ayat ini pada masa Nabi SAW. adalah surat Bani Isra’il.
Pakar hadits at-Tirmidzi meriwayatkan melalui Aisyah ra., istri Nabi bahwa Nabi
SAW. tidak akan tidur sebelum membaca surat Az-Zumar dan Bani Isra’il.
Surat ini menurut mayoritas ulama turun sebelum Nabi SAW. berhijrah
ke Madinah, dengan demikian ia merupakan salah satu surat makiyyah.7 Surat Al-
Isra’ di turunkan di kota Makkah, setelah turunnya surat Al-Qashas. Dalam urutan
yang ada di dalam Al-Quran, surat Al-Isra’ berada setelah surat Al-Nahl dan
memiliki 111 ayat.8 Ada yang mengecualikan dua ayat, yaitu ayat 73 dan 74, dan
6 Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Quran 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000),
hlm. 89-90.
7 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 401.
8 Amr Khalid, Spiritual Al-Quran, (Yogyakarta: Darul Hikmah, 2009), hlm. 339.
13
ada yang menambahkan juga ayat 60 dan ayat 80. Masih ada pendapat lain
menyangkut pengecualian-pengecualian beberapa ayat Makiyyah. Pengecualian
itu disebabkan karena ayat-ayat yang dimaksud dipahami sebagai ayat yang
membicarakan tentang keadaan yang diduga terjadi pada periode Madinah, namun
pemahaman tersebut tidak harus demikian. Karena itu penulis cenderung
mendukung pendapat ulama yang menjadikan seluruh ayat surat ini Makiyyah.
Memang peristiwa hijrah terjadi tidak lama setelah peristiwa Isra’ dan
Mi’raj Nabi SAW., yakni sekitar setahun lima bulan dan ini berarti turunnya surat
ini pada tahun XII kenabian, di mana jumlah kaum muslimin ketika saat itu relatif
banyak, walau harus diakui bahwa dibukanya surat ini dengan uraian tentang
peristiwa Isra’, belum tentu ia langsung turun sesudah peristiwa itu. Bisa saja ada
ayat-ayat yang turun sebelumnya dan ada juga yang turun sesudahnya.9 Imam Al-
Biqa’i berpendapat bahwa tema utama surat ini adalah ajakan menuju ke hadirat
Allah SWT., dan meninggalkan selain-Nya, karena hanya Allah pemilik rincian
segala sesuatudan Dia juga yang mengutamakan sesuatu atas lainnya. Itulah yang
dinamakan taqwa yang batas minimalnya adalah pengakuan Tauhid/Keesaan
Allah SWT. Yang juga menjadi pembuka surat yang lalu (An-Nahl) dan
puncaknya adalah ihsan yang merupakan penutup uraian surat An-Nahl. Ihsan
mengandung makna fana’, yakni peleburan diri kepada Allah SWT.
Semua nama-nama surat ini mengacu pada tema itu. Namun subhana
yang mengandung makna penyucian Allah SWT. Merupakan nama yang paling
jelas untuk tema itu, karena siapa yang Maha Suci dari segala kekurangan, maka
dia sangat wajar untuk diarahkan kepada-Nya semata-mata hanya untuk
pengabdian dan berpaling dari selain-Nya. Demikian juga nama Bani Israil. Siapa
yang mengetahui rincian keadaan mereka dan perjalanan mereka menuju negeri
suci yaitu Bait Al-Maqdis yang mengandung makna isra’, yaitu perjalanan
malam, akan menyadari bahwa hanya Allah yang harus dituju. Dengan demikian,
semua nama surat ini mengarah kepada tema utama yang disebut dengan aqidah.
9 M. Quraish Shihab, hlm. 401-402.
14
Thabathaba’i berpendapat bahwa surat ini memaparkan tentang Keesaan
Allah SWT. dari segala macam persekutuan. Surat ini lebih menekankan sisi
pensucian Allah dan sisi pujian kepada-Nya, karena itu berulang-ulang disebut di
sini kata subhana (Maha Suci). Ini terlihat pada ayat 1, 43, 93, 108, bahkan
penutup surat ini memuji-Nya dalam konteks bahwa Dia tidak memiliki anak,
tidak juga sekutu dengan kerajaan-Nya dan Dia tidak membutuhkan penolong.10
B. Pendapat Mufasir Klasik Tentang Penafsiran Surat Al-Isra’ Ayat 23-25
Menurut bahasa kata “tafsir” diambil dari kata “fassara-yufassirutafsiran
yang artinya adalah keterangan, penjelasan atau menerangkan dan
mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas. Tafsir Al-Quran adalah penjelasan atau
keterangan-keterangan tentang firman Allah SWT. yang berhubungan dengan
makna dan tujuan kandungan atau keterangan dan penjelasan tentang sesuatu kata
atau kalimat yang digunakan di dalamnya.11 Adapun pengertian tafsir secara
istilah seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Al-Jazairi adalah menjelaskan kata
yang sukar dipahami oleh para pendengar sehingga berusaha mengemukakan
sinonimnya atau makna yang mendekati dengan jalan mengemukakan salah satu
petunjuknya (dilalahnya). Imam Al-Kilabi mengartikan tafsir adalah menjelaskan
ayat-ayat Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan tujuan yang
dikehendaki oleh nash atau teks Al-Quran tersebut.
Dari pengertian tafsir di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah suatu
hasil usaha tanggapan, penalaran, atau pemahaman manusia dalam menyikapi
nilai-nilai samawi atau nilai-nilai Ilahiyyah yang terdapat di dalam Al-Quran.
Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan dalam penafsiran Al-Quran sangat mungkin
terjadi karena dipengaruhi oleh latar belakang, disiplin ilmu, metode dan corak
yang digunakan oleh para penafsirnya sendiri.12
10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, hlm. 402-
403.
11 Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 79.
12 Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, hlm. 79-80.
15
     
Maksud dari potongan ayat di atas adalah Tuhanmu memerintahkan agar
kamu jangan menyembah selain Dia, karena ibadah adalah puncak pengagungan
yang tidak patut dilakukan kecuali terhadap Tuhan yang dari padanyalah keluar
kenikmatan dan anugerah atas hamba-hamba-Nya, dan tidak ada yang dapat
memberi nikmat kecuali Dia.13
Dalam tafsir Imam Qurthubi dinyatakan bahwa kata Qodhoo itu artinya
memerintahkan (amara), mengharuskan (alzama), dan mewajibkan (awjaba).
Ibnu Abbas, Hasan, dan Qatadah berkata: “Qodhoo di sini bukanlah qodhoo yang
berarti memutuskan suatu perkara (qodho’uhukmin), melainkan qodhoo yang
berarti memerintahkan suatu perkara (qodho amri)”.14 Kata ”qodhoo” Maksudnya
memerintahkan, semua perintah mengandung konsekuensi hukum wajib15 (alaslufilamri
lil wujub)16. Menurut Imam Nawawi dalam kitab Murohu Lubaid
tafsir an-Nawawi perintah di sini adalah perintah yang mewajibkan.17 Menurut
Ibn Abbas, Hasan dan Qatadah, Allah telah memerintahkan kita untuk beribadah
kepada-Nya dan mentauhidkan (mengesakan) Dzatnya. Selanjutnya Allah telah
menjadikan perbuatan berbakti kepada kedua orangtua sebagai kewajiban yang
berkaitan dengan hal itu, sebagaimana Dia juga mengaitkan antara syukur
(berterima kasih) kepada orang tua dengan syukur kepada-Nya.18
 
13 Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, hlm. 58.
14 Muhammad Al-Fahham, Terjemah Sa’addah Al-Abna’ Fii Birr Al-Ummahat Wa Al-
Aba’, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), hlm. 133.
15 Nizam Muhammad Saleh Ya’kubi dan Muhammad Shadik, TerjemahQurratu Al-Ainaini
Fi Fadhail Birri Al-Wahdain Wa 55 Hikayah Fi Birri Al-Walidaini Li Thiflika, (Solo: Ziyad Visi
Media, 2009), hlm. 18.
16 Abdul Hamid Hakim, As-Sullam, (Jakarta: Saadiyyah Putra,. ), hlm. 11.
17 Muhammad An-Nawawi, Murohu Lubaid Tafsir An-Nawawi,(Semarang: Toha Putra,. ),
hlm. 476.
18 Muhammad Al-Fahham, hlm. 133-134.
16
Maksud dari potongan ayat di atas adalah agar kamu berbuat baik dan
kebajikan terhadap orang tua, supaya Allah telah menyertai kamu.19 Yang
dimaksud dengan kata “ihsan” atau berbuat baik dalam ayat tersebut adalah
berbakti kepada keduanya yang bertujuan untuk mengingat kebaikan orang tua
karena sesungguhnya dengan adanya orang tua seorang anak itu ada dan Allah
menguatkan hak-hak orang tua dengan memposisikan di bawah kedudukan
setelah beribadah kepada Allah yakni mengtauhidkan Allah.20 Allah mengurutkan
kedua amal tersebut dengan menggunakan lafazh tsumma yang memberikan
pengertian “tertib” atau “teratur”. Dalam tafsir Al-Munir karya Wahban Az-
Zuhaili dijelaskan bahwa Allah sering mengaitkan antara perintah untuk
beribadah kepadanya dengan perintah untuk berbakti dan berbuat baik kepada
kedua orang tua dengan cara memperlakukan mereka berdua dengan perlakuan
yang baik dan sempurna. Hal itu disebabkan karena kedudukan mereka berdua di
bawah kedudukan Allah. Yang merupakan sebab hakiki (yang sesungguhnya) dari
keberadaan manusia (di muka bumi). Adapun mereka berdua (keduanya) hanyalah
merupakan sebab zhahiri (yang nampak) dari keberadaan anak-anak, di mana
mereka berdua akan mendidik mereka dalam suasana yang penuh dengan cinta,
kelembutan, kasih sayang, dan sikap mengutamakan anak dari pada diri mereka
berdua.
Oleh karena itu, di antara sikap yang menunjukkan kesetiaan dan
muru’ah seorang anak adalah membalas kebaikan mereka berdua itu, baik dengan
cara memperlihatkan perilaku yang baik dan akhlak yang disenangi maupun
dengan memberikan bantuan berupa materi jika mereka berdua memang
membutuhkannya dan jika sang anak memang mampu melakukan hal tersebut.21
            
Maksud dari potongan ayat di atas adalah apabila kedua orang tua atau
salah seorang di antaranya berada di sisimu hingga mencapai keadaan lemah,
19 Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, hlm. 58.
20 Abdullaah bin Ibrahim Al-Ansari, Fathul Bayan Fi Maqosidil Quran, (Bidaulatil Qitrin:
Ihya’ Turosil Islam, 1248), hlm. 375.
21 Muhammad Al-Fahham, hlm. 135.
17
tidak berdaya dan tetap berada di sisi mereka berdua pada awal umurmu, maka
kamu wajib belas kasih dan sayang terhadap keduanya. Kamu harus
memperlakukan kepada keduanya sebagaimana orang yang bersyukur terhadap
orang yang telah memberi karunia kepadanya. Ibnu Jarir dan Ibnu Munzir telah
mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu AI-Haddaj yang katanya: Pernah saya
berkata kepada Sa’id bin Al-Musayyab, segala apa yang disebutkan oleh Allah
dalam Al-Quran mengenai birru i-walidain, saya telah tahu, kecuali firman-Nya:
  
Apa yang dimaksud perkataan yang mulia di sini?
Maka, berkatalah Ibnu AI-Musayyab: yaitu seperti perkataan seorang
budak yang berdosa di hadapan tuannya yang galak.22 Menurut imam Jalalain
dalam kitabnya tafsir jalalain yang dimaksud dengan perkataan yang mulia adalah
perkataan yang yang baik dan sopan (jamilan layyinan),23 begitu juga menurut
imam Nawawi perkataan yang mulia yakni perkataan yang lembut dan baik yang
bertujuan untuk menghormati.24 Setelah Allah melarang melontarkan ucapan
buruk dan perbuatan tercela, maka Allah SWT. menyuruh berkata-kata baik dan
berbuat baik kepada keduanya.25
     
Maksud potongan ayat di atas adalah rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan adalah hendaknya seorang anak selalu
menyenangkan hati kedua orang tuanya berapapun besarnya, baik itu dengan
perkataan, dengan sikap dan perangai yang baik, dan jangan sekali-kali
menyebabkan mereka itu murka atau benci atas putra-putrinya.26 Dalam Kitab
Tafsir Imam Qurthubi menjelaskan Allah SWT telah menyebutkan aspek
22 Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, hlm. 61-62.
23 Imam Jalalain, Tafsir Jalalain, (Surabaya, Darul Ilmi,. ), hlm. 230.
24 Muhammad An-Nawawi, hlm. 476.
25 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Terjemah Lubaib
Tafsir Min Ibni Katsir, (Kairo: Mus’assasah, 1994), hlm. 238.
26 Maimunah Hasan, Rumah Tangga Muslim, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2000), hlm.
86-87.
18
pendidikan (yang dilakukan oleh kedua orang tua) itu secara khusus dengan
maksud agar seorang hamba mau mengingat akan kasih sayang kedua orang tua
kepada anaknya serta rasa letih yang telah dirasakan oleh mereka berdua dalam
mendidik anaknya. Hal ini dapat menambah rasa sayang dan cinta dalam hati
seorang hamba kepada orang tuanya.27
      
Maksud dari potongan ayat di atas adalah ucapkanlah: "Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil” adalah janganlah kamu merasa cukup dengan kasih sayangmu
yang telah kamu berikan kepada mereka berdua, karena kasih sayangmu itu
tidaklah kekal. Akan tetapi, hendaklah kamu berdoa kepada Allah agar dia
mengasihi keduanya dengan kasihnya yang kekal, dan jadikanlah do’a itu sebagai
balasan atas kasih sayang dan pendidikan yang telah mereka berikan kepadamu
saat kamu masih kecil.
      ___________     
Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu lebih mengetahui apa yang
ada dalam hatimu, baik berupa perasaan berbakti dan menyakiti jika kamu orangorang
yang baik yakni orang-orang yang taat kepada Allah, maka sesungguhnya
Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat yakni orang-orang yang
kembali kepada Allah dengan berbuat taat kepada-Nya.28
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang terkandung
dalam Q.S. Al-Isra’ ayat 23-25 menurut mufasir klasik yaitu berisi tentang
pendidikan tauhid (mengesakan Allah) dan pendidikan akhlak birrul walidaini
yang mana keduanya saling keterkaitan. Di sini Allah menempatkan posisi
berbuat baik kepada orang tua langsung di bawah posisi pengesaan Allah dan
penghambaan kepada-Nya tanpa disela dengan apapun. Menurut Imam An-
Naisaburi dalam tafsirnya bahwa Allah sengaja menempatkan berbuat baik kepada
27 Muhammad Al-Fahham, Hlm. 135-136.
28 Bahrul Abu Bakar , Terjemah Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm. 1137.
19
orang tua langsung setelah ibadah kepada Allah karena keeratan korelasinya
dengan ibadah, diantaranya:
1. Keduanya adalah fasilitator kelahiran mereka di muka bumi sekaligus
fasilitator pendidikan mereka. Tidak ada persembahan yang lebih agung setelah
persembahan Allah daripada persembahan orang tua.
2. Pemberian mereka mirip seperti pemberian Allah karena keduanya tidak
meminta pujian maupun pahala dibalik pemberiannya.
3. Allah SWT tidak pernah jemu memberi kenikmatan pada hamba, mesti hamba-
Nya melakukan dosa besar sekalipun. Begitu juga orang tua, mereka tidak akan
memutuskan aliran kemurahan mereka pada anaknya meskipun ia tidak
berbakti kepadanya.
4. Sama seperti Allah yang hanya menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya,
orang tua pun hanya menginginkan kesempurnaan bagi anaknya. Seorang anak
tidak akan bisa sempurna kecuali berkat peran dan obsesi ayahnya. Buktinya,
orangtua tidak pernah iri pada anaknya meskipun ia diungguli dan anak lebih
baik dari pada diri mereka, bahkan justru mereka senang dan
mendambakannya. Sebaliknya seorang anak tidak menginginkan jika ada orang
lain yang lebih baik dari pada dirinya.
C. Pendapat Mufasir Kontemporer Tentang Penafsiran Surat Al-Isra’ Ayat
23-25
     
Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu telah menetapkan sesuatu
ketetapan yang harus dilaksanakan yaitu jangan engkau menyembah selain Dia.29
Agar tidak menyembah tuhan-tuhan yang lain selain Dia. Termasuk pada
pengertian menyembah tuhan selain Allah yakni mempercayai adanya kekuatan
lain yang dapat mempengaruhi jiwa dan raga, selain kekuatan yang datang dari
Allah. Semua benda yang ada yang kelihatan ataupun yang tidak adalah makhluk
29 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Bayaan, (Bandung: PT Al-Ma’arif,. ), hlm. 812.
20
Allah.30 Thahir Ibn Asyur menilai ayat ini dan ayat-ayat berikutnya merupakan
perincian tentang syari’at Islam yang ketika turunnya merupakan perincian
pertama yang disampaikan kepada kaum muslimin agar di Mekkah. Menurut
Sayyid Quthb ayat ini berkaitan dengan tauhid (mengesakan Allah), bahkan
dengan tauhid itu dikaitkan dengan segala ikatan dan hubungan, seperti ikatan
keluarga, kelompok, bahkan ikatan hidup.31 Menurut Abdullah bin Muhammad
bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh dalam Tafsir Ibn Katsiir Allah berfirman
seraya memerintahkan agar hamba-Nya hanya beribadah kepada-Nya saja, tiada
sekutu bagi-Nya.32
Begitu juga menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
dalam bukunya Tafsir Al-Azhar pada ayat 22 di atas tujuan hidup dalam dunia ini
telah dijelaskan yaitu mengakui hanya satu Tuhan itu yakni Allah SWT.
barangsiapa mempersekutukan-Nya dengan yang lain maka akan tercela dan
terhina. Pengakuan bahwa hanya satu Tuhan tiada bersyarikat dan bersekutu
dengan yang lain. Bahwasanya Tuhan Allah itu sendiri yang menentukan, yang
memerintah dan memutuskan bahwa Dialah yang mesti disembah, dipuji dan
dipuja. Dan tidak boleh dan dilarang keras menyembah selain Dia. Oleh sebab itu,
maka cara beribadah kepada Allah, Allah sendirilah yang menentukan. Maka
tidak pulalah sah ibadah kepada Allah yang hanya dikarang-karangkan sendiri.
Untuk menunjukkan peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa itulah, Dia
mengutus Rasul-rasul-Nya.33
 
Maksud dari ayat di atas adalah supaya berbuat ihsan kepada ibu
bapak34 yakni berbuat baik kepada keduanya dengan sikap sebaik-baiknya. Allah
30 Menteri Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta, Menteri Agama
Republik Indonesia, 1990), hlm. 343.
31 M. Quraish Shihab, hlm. 62.
32 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh Hlm. 238.
33 Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka
Nasional PTE LTD, 1999), hlm. 4030.
34 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, hlm. 812.
21
memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada ibu bapak sesudah
memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya. Dengan maksud agar manusia
memahami betapa pentingnya berbuat baik terhadap ibu bapak dan mensyukuri
kebaikan mereka seperti betapa besarnya penderitaan yang telah mereka rasakan
pada saat melahirkan, betapa pula banyaknya kesulitan dalam mencari nafkah dan
dalam mengasuh serta mendidik putra-putra mereka dengan penuh kasih sayang.
Maka pantaslah apabila berbuat baik kepada kedua ibu bapak, dijadikan sebagai
kewajiban yang paling penting diantara kewajiban-kewajiban yang lain dan
diletakkan Allah dalam urutan kedua sesudah kewajiban manusia beribadah hanya
kepada Allah Yang Maha Kuasa.35
menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Tafsir Al-Bayaan bahwa
berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan tugas yang pertama sesudah
beriman.36 Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam lanjutan
ayat ini terang sekali bahwasanya berkhidmat kepada ibu bapak, menghormati
kedua orang tua yang telah menjadikan sebab bagi manusia dapat hidup di dunia
ini ialah kewajiban yang kedua sesudah beribadah kepada Allah.37 Menurut
Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil-Quran bahwa sebuah ikatan yang pertama
sesudah ikatan akidah adalah ikatan keluarga. Atas dasar inilah susunan ayat
mengaitkan berbakti kepada kedua orang tua dengan pengabdian kepada Allah,
sebagai deklarasi akan tingginya nilai berbakti kepada keduanya di sisi Allah.38
            
Maksud dari ayat di atas adalah jika usia keduanya atau salah seorang
di antara keduanya, ibu dan bapak itu sampai meninggal tua sehingga tak kuasa
lagi hidup sendiri sudah sangat bergantung kepada belas kasih puteranya
hendaknya sabar dan berlapang hati memelihara orang tua. Bertambah tua
terkadang bertambah dia seperti kanak-kanak seperti dia minta dibujuk, minta
35 menteri Agama Republik Indonesia, hlm. 554.
36 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, hlm. 817.
37 Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), hlm. 4031.
38 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Quran,(Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 248.
22
belas kasihan anak. Terkadang ada juga bawaan orang tua membosankan anak,
maka janganlah keluar dari mulut seorang anak walaupun itu satu kalimat yang
mengandung rasa bosan atau jengkel di saat memelihara orang tua.39
  
Maksud dari ayat di atas adalah hendaklah katakan kepada kedua orang
tua dengan perkataan yang mulia, yang pantas, kata-kata yang keluar dari mulut
orang yang beradab, sopan dan santun.40
     
Maksud dari ayat di atas adalah Allah memerintahkan agar
merendahkan diri kepada kedua orang tua dengan penuh kasih sayang. Yang
dimaksud dengan merendahkan diri dalam ayat ini adalah mentaati apa yang
mereka perintah selama perintah itu tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan
syara’. Taat anak kepada kedua orang tuanya merupakan tanda kasih
sayang kepada kedua orang tuanya yang sangat diharapkan terutama pada saat
keduanya sangat memerlukan pertolongannya. Menurut M. Quraish Shihab dalam
Tafsir AL-Misbah Pada ayat ini tidak membedakan antara ibu dan bapak.
Memang pada dasarnya ibu hendaknya didahulukan atas ayah, tetapi ini tidak
selalu demikian. Thahir Ibn Asyur menulis bahwa Imam Syafi’i pada dasarnya
mempersamakan keduanya sehingga bila ada salah satu yang hendak didahulukan,
sang anak hendaknya mencari faktor-faktor penguat guna mendahulukan salah
satunya. Karena itu pula, walaupun ada hadits yang mengisyaratkan perbandingan
hak ibu dengan bapak sebagai tiga dibanding satu, penerapannya pun harus
setelah memperhatikan faktor-faktor yang dimaksud.41
     
Maksud dari ayat di atas adalah Allah memerintahkan untuk
mendoakan kedua orang tua mereka, agar diberi limpahan kasih sayang Allah
39 Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar , hlm. 4031.
40 Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar, hlm. 4033.
41 M. Quraish Shihab, hlm. 67.
23
sebagai imbalan dari kasih sayang kedua orang tua itu dengan mendidik mereka
ketika masih kanak-kanak.42 Hanya saja ulama menegaskan bahwa doa kepada
orang tua yang dianjurkan di sini adalah bagi yang muslim, baik masih hidup
maupun telah meninggal. Sedangkan bila ayah atau ibu yang tidak beragama
Islam telah meninggal terlarang bagi anak untuk mendoakannya. Al-Quran
mengingatkan bahwa ada suri tauladan yang baik bagi kaum muslimin dari
seluruh kehidupan Nabi Ibrahim as.43
           
Maksud dari ayat di atas adalah Tuhanmu lebih mengetahui apa yang
ada dalam hatimu, jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia
Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, mengenai seseorang yang
terburu nafsu mengucapkan kata-kata yang tidak sopan terhadap ayah ibunya,
padahal bukan bermaksud menyakiti hati mereka, atau melakukan sesuatu
perbuatan yang keliru, padahal dalam hatinya bermaksud baik dengan perbuatan
itu, maka allah berfirman: “Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam
hatimu”.44
Syu’bah menceritakan dari Yahya bin Sa’id dari Said bin al-Musayyab,
ia mengatakan: “awwaabiin ialah orang-orang yang berbuat dosa lalu bertaubat,
berbuat dosa lalu bertaubat.” Demikian juga yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq,
Ma’mar, Atha’ bin Yasar, Said bin Jubair dan Mujahid mengatakan: “awwaabiin
ialah orang-orang yang kembali kepada kebaikan”. Ibnu Jarir berkata: “di antara
pendapat-pendapat tersebut yang paling tepat adalah pendapat yang menyatakan
bahwa awwaabiin ialah orang yang bertaubat dari dosa dan meninggalkan maksiat
menuju kepada ketaatan, bertolak dari apa yang dibenci Allah menuju kepada apa
yang dicintai dan diridhai-Nya.” Apa yang dikatakan Ibnu Jarir inilah yang benar
42 Menteri Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, hlm. 556-557.
43 M. Quraish Shihab, hlm. 68.
44 Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1990), hlm. 34.
24
karena kata awwaabiin (orang-orang yang kembali) diambil dari kata al-aub yang
berarti kembali.45
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang terkandung
dalam Q.S. Al-Isra’ ayat 23-25 menurut mufasir kontemporer yaitu berisi tentang
pendidikan tauhid (mengesakan Allah) dan pendidikan birrul walidaini yang
mana keduanya saling keterkaitan. Keyakinan akan keesaan Allah serta kewajiban
mengikhlaskan diri kepada-Nya adalah dasar yang padanya bertitik tolak segala
kegiatan. Setelah itu kewajiban pertama dan utama setelah kewajiban mengesakan
Allah dan beribadah kepada-Nya adalah berbakti kepada kedua orang tua. Allah
memerintahkan berbuat baik terhadap kedua orang tua dikarenakan sebab-sebab
sebagai berikut:
1. karena kedua orang tua itulah yang memberi belas kasih kepada anaknya, telah
bersusah payah dalam memberikan kebaikan kepadanya dan menghindarkan
dari bahaya. Oleh sebab itu, wajib lah hal itu diberi imbalan dengan berbuat
baik dan syukur kepada kedua orang tua.
2. Bahwa kedua orang tua telah memberikan kenikmatan kepada anak, ketika
anak itu sedang dalam keadaan lemah dan tidak berdaya sedikitpun. Oleh
karena itu, wajib hal itu di balas dengan rasa syukur ketika kedua orang tua itu
telah lanjut usia.
45 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, hlm. 241.
25
BAB III
NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM Q.S AL-ISRA’ AYAT 23-25
A. Pendidikan Tauhid
Secara bahasa tauhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhiidan,
yang berarti menjadikan sesuatu satu. Secara syara’ tauhid berarti mengesakan
Allah dalam penciptaan dan pengaturan, mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya
dan meninggalkan ibadah kepada yang lain, menetapkan Asmaul Husna dan Sifat
yang Mulia bagi-Nya, dan membersihkan-Nya dari sifat kurang dan tercela. 1 jadi
pengertian tauhid adalah meng-Esakan Allah dengan beribadah kepada-Nya,
yakni agama yang disampaikan oleh para rasul Allah yang berisi tentang tauhid
untuk hamba-Nya. Allah SWT dalam ayat-ayat-Nya memerintahkan untuk
menyembah-Nya, tidak menyekutukan-Nya dan selalu mengabdi kepada-Nya.
Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 23 yaitu:
     
Maksud dari potongan ayat di atas adalah dan Tuhanmu memerintahkan
agar kamu (manusia) jangan menyembah selain Dia, karena ibadah adalah puncak
pengagungan yang tidak patut dilakukan kecuali terhadap Tuhan (Allah). Dari
pada-Nyalah keluar kenikmatan dan anugerah atas hamba-hambanya dan tidak
ada yang dapat memberi kenikmatan kecuali Dia (Allah).2 Allah SWT melarang
manusia mengada-adakan tuhan yang lain selain Allah, seperti menyembah
patung dan arwah nenek moyang dengan maksud supaya dapat mendekatkan diri
kepadanya. Termasuk yang dilarang itu ialah meyakini adanya tuhan selain Allah
mengakui adanya kekuasaan yang lain selain Allah yang dapat mempengaruhi
dirinya, ataupun kekuatan ghaib yang lain. Larangan ini ditujukan kepada seluruh
manusia, agar mereka tidak tersesat dan tidak menyesal karena melakukan sesuatu
yang seharusnya dilakukan terhadap Penciptanya. Padahal mereka seharusnya
1 Sugeng Ristianto, Tauhid Kunci Surga Yang Diremahkan, (Semarang: Rasail, 2010), hlm. 1.
2 Ahmad Mustafa al-Marai, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993),
hlm. 59.
26
mensyukuri nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka, tidak mengadaadakan
tuhan yang lain, yang lain sebenarnya tidak berkuasa sedikitpun untuk
memberikan pertolongan kepada mereka, dan tidak berdaya pula untuk memberi
mudarat.3
Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan-Nya dalam
ibadah dan dalam penyembahan serta melarang mereka menyekutukan Allah
dengan apa pun atau siapa pun.4 Oleh sebab itu, yang berhak mendapat
penghormatan tertinggi hanyalah yang menciptakan alam dan semua isinya. Dialah
yang memberikan kehidupan dan kenikmatan pada seluruh makhluk-Nya.
Maka apabila ada manusia yang memuja-muja benda-benda alam ataupun
kekuatan ghaib yang lain, berarti ia telah sesat, karena kesemua benda-benda itu
adalah makhluk Allah yang tak berkuasa memberi manfaat dan tak berdaya untuk
menolak kemudaratan serta tak berhak disembah.5
Ini merupakan perintah untuk mengesakan Allah dalam penyembahan
sesudah larangan berlaku syirik. Perintah yang diungkapkan dengan gaya
keputusan, perintah yang bersifat niscaya seperti keniscayaan sebuah keputusan
pengabdian. Dalam ayat ini memberi frame pada perintah yang ada berupa
penekanan, disamping menekan khusus atas masalah ini, yang dapat dilihat
peniadaan, pengecualian dan penekanan masalah tauhid dalam kehidupan.6
Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap sesuatu sesuai dengan
keyakinan tadi. Oleh karena itu, iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan,
melainkan menyatu secara utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam
perbuatan.7
pengakuan atas keesaan Allah mengandung kesempurnaan dan
kepercayaan kepadanya dari dua segi, yakni segi rububiyyah dan segi uluhiyyah.
3 Departemen Agama, Tafsir Al-Quran, (Semarang: PT. Citra Effhar, 1993), hlm. 553.
4 Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar, (Jakarta: Qisthi Press, 2007), hlm. 488.
5 Departemen Agama, hlm. 545.
6 Sayyid Quthb, Terjemah Fi Zhilali-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 248.
7 Ahmad Taufiq dan Muhammad Rohmadi, Pendidikan Agama Islam Pendidikan Karakter
Berbasis Agama, (Surakarta: Yuma Pressindo, 2010), hlm. 12.
27
Rububiyyah ialah pengakuan terhadap keesaan Allah sebagai Dzat Yang Maha
Pencipta, Pemelihara dan memiliki semua sifat kesempurnaan. Sedangkan
uluhiyyah ialah komitmen manusia kepada Allah sebagai satu-satunya Dzat yang
dipuji dan disembah. Komitmen kepada Allah itu terwujud dalam sikap pasrah,
tunduk dan patuh sepenuh hati sehingga seluruh amal perbuatan bahkan hidup dan
mati seseorang semata-mata hanya untuk Allah SWT.8 Manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Allah SWT. dalam konteks ini menyadari sepenuhnya bahwa
dibalik kekuasaan yang ada pada manusia ini, ada kekuasaan lain Yang Maha
Besar yang menciptakan dan menguasai segala segi dari hidup dan kehidupan
manusia di dunia ini. Ia akan selalu berbuat kebajikan dalam kehidupan ini, baik
terhadap dirinya sendiri, terhadap masyarakat dan terhadap alam di sekitarnya
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.9
Zat Allah jelas tidak dapat kita tangkap dengan indera, akan tetapi Al-
Quran memberikan informasi tentang adanya Tuhan dengan sifat-Nya yang
sempurna. Dari ayat-ayat yang bertebaran di dalam Al-Quran disimpulkan bahwa
ada 99 nama Tuhan yang mulia (asma’ al-husna) yang menggambarkan sifat-Nya
Yang Sempurna. Memperhatikan sifat-sifat Tuhan itu semua dapat disimpulkan
bahwa sesungguhnya Tuhan memiliki berbagai sifat yang tidak ada bandingannya.
Sebagai Tuhan, Dia tidak bekerja sama dengan makhluk-Nya. Dia menciptakan
karena itu semua makhluk hanya tunduk dan patuh kepada-Nya. Orang atau
makhluk tidak berhak untuk dengan Dia, Yang Maha Pencipta. Dia berkuasa,
berilmu dan dapat bertindak apa saja jika Dia menghendaki.
Menyembah hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah ajaran inti
agama (Islam). Sikap tauhid adalah meyakini dan mempercayai bahwa Allah Esa
Zat-Nya, Sifat-Nya, Perbuatan-Nya, Wujud-Nya. Dia juga Esa Memberi Hukum,
Esa Menerima Ibadah, Esa dalam Memberi Perlindungan kepada makhluk-Nya.
Kepercayaan dan amal-amal ibadah akan menjadi rusak bila sikap tauhid (akidah)
8 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 87.
9 Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), hlm. 351-352.
28
labil dan lemah. Menurut M. Quraish Shihab dan ulama tafsir bahwa Keesaan
Allah itu mencakup:
a. Keesaan Zat
Keesaan Zat-Nya mengandung pengertian bahwa seseorang harus
percaya bahwa Allah tidak terdiri dari unsur atau bagian-bagian, karena jika zat
yang mana kuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih, maka itu berarti Dia
membutuhkan unsur atau bagian itu. Sedangkan semua unsur yang ada, Dia
tidak membutuhkannya. Ini yang dimaksudkan. Allah berfirman dalam surat
Faatthir ayat 15 yaitu:
         
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah
yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji”.
b. Keesaan Sifat
Adapun Keesaan sifat-Nya antara lain berarti bahwa Allah memiliki
sifat yang tidak sama dalam substansi (isi) dan kapasitasnya dengan sifat
makhluk, walaupun dari segi bahasa kata yang digunakan untuk menunjukkan
sifat tersebut sama. Sebagai contoh, kata rahim merupakan sifat bagi Allah,
tetapi juga digunakan untuk menunjukkan rahmat atas kasih sayang Allah
berbeda dengan rahmat makhluk-Nya. Allah berfirman dalam surat Al-A’raaf
ayat 180 yaitu:
         ___________  
  
“hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya, nanti
mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”.
c. Keesaan Perbuatan
Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada di
alam raya ini baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujudnya semuanya
adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa yang dikehendaki-Nya terjadi dan
29
apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, tidak ada daya (untuk
memperoleh manfaat), tidak pula kekuatan (untuk menolak moderat) kecuali
bersumber dari Allah SWT. Allah berfirman dalam surat Yaasiin ayat 83 yaitu:
        
“Maka Maha suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu
dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.
d. Keesaan dalam beribadah kepada-Nya
Kalau ketiga Keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus diketahui
dan diyakini, maka Keesaan keempat ini merupakan perwujudan dari ketiga
makna Keesaan terdahulu. Ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat,
salah satu ragamnya yang makin jelas adalah amalan yang ditetapkan cara atau
kadarnya langsung oleh Allah atau melalui Rasul-Nya, dikenal dengan istilah
ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum
mencakup segala macam aktivitas yang dilakukan karena Allah. Allah
berfirman dalam surat Al-An’aam ayat 162 yaitu:
        
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.10
Adapun cara-cara untuk memelihara ketauhidan adalah:
a. Dengan selalu menambah ilmu pengetahuan (terutama ilmu-ilmu agama).
Kunci dari semua kehidupan dan iptek tentu ada di dalam kandungan
Al-Quran. Oleh karena itu, hendaklah kita dapat menyimak dan mengkaji apa
yang ada dalam kandungannya, agar kita tidak menjadi manusia yang lemah
imannya dan sombong. Firman Allah dalam Q.S Al-Mujadalah ayat 11:
            
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orangorang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.
10 Mumi Jamal, Dkk,. Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2005), hlm.
754-758.
30
Banyak gambaran dari Al-Quran dan As-Sunnah yang
mengungkapkan tentang keagungan Allah. Jika seseorang Muslim mau
memperhatikan ayat-ayat Allah, tentu hatinya akan bergetar dan jiwanya akan
tunduk dan patuh kepada Dzat Yang Maha Agung, anggota-anggota
jasmaniahnya akan tunduk dan patuh kepada Dzat Yang Maha Tinggi dan
Maha Berkuasa, serta kekhusu’annya akan semakin bertambah kepada Allah
SWT. Jelaslah bahwa dengan bertambahnya ilmu, iman seseorang akan lebih
mantap, lebih kokoh, dan tindak tanduknya selalu mengingat keagungan dan
kebesaran Ilahi. Ilmu yang dimaksud tersebut adalah ilmu tentang alam
(sunatullah) serta ilmu tentang agama Allah SWT(dinnullah), sebab keduanya
merupakan kebenaran yang datangnya dari Allah.
b. Memperbanyak amal shaleh (terutama shalat).
Dalam tarikh, para sahabat Nabi SAW akan mempergunakan dengan
sebaik-baiknya pada setiap kesempatan yang ada untuk selalu beramal shaleh.
Seperti apa yang dituturkan Abu Bakar As-Shiddiq, “tatkala ditanya oleh
Rasulullah SAW “Siapakah diantara kamu sekalian yang berpuasa pada hari
ini?” Abu Bakar menjawab, “saya”. Beliau bertanya lagi, “lalu siapakah di
antara kamu yang menjenguk orang sakit pada hari ini?” Abu Bakar menjawab
lagi, “Saya.” Lalu Rasulullah SAW berkata, “Tidaklah amal-amal ini menyatu
dalam diri seseorang melainkan dia akan masuk Surga”.11
Dalam tarikh di atas menunjukkan kepada kita bahwa Abu Bakar As-
Siddiq ra, sangat antusias dalam mempergunakan setiap kesempatan untuk
memperbanyak ibadah. Jadi, bukan hanya dari amalan-amalan shalatnya,
meskipun shalat adalah perkara fardhu. Dalam Al-Quran Surat Thaha ayat 14,
Allah berfirman:
 
“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku”.
11 Musa Sueb, Urgensi Keimanan Dalam Abad Globalisasi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1996), hlm. 60-66.
31
Nabi muhammad SAW telah mengatakan dengan tegas, bahwa shalat
itu baru akan membawa hasil jika apa yang dibaca di dalam shalat
dimengertinya. “tidaklah dari seseorang muslim yang berwudhu maka
dimengerti yang diucapkan, melainkan setelah shalat selesai shalat itu adalah
seperti anak yang baru dilahirkan oleh ibunya (tidak berdosa). Allah SWT tidak
melarang kita dalam meraih kesenangan duniawi. Dan dalam pengejaran
tersebut kita harus menyesuaikan dengan tuntunan norma ajaran agama yang
telah ditetapkan nya serta didasari karena ketaatan kita kepada Allah SWT.
Jadi, kita dalam mencari rizqi di dunia ini bukan semata-mata rakus duniawi
dalam segi harta benda dan yang sejenisnya, yang memabukkan.
c. Menjauhi segala yang dilarang Allah dan Rasulnya.
Allah SWT menyerukan kepada manusia agar menjauhi apa-apa yang
dilarang oleh Allah karena dikhawatirkan manusia akan berjalan di luar garis
yang telah ditentukannya. Jangankan menyimpang, mendekati laranganlarangannya
pun maka dikhawatirkan manusia akan terperosok di dalamnya.
Terperosoknya manusia kepada hal-hal yang ingkar, tentu saja akan banyak
membawa kepada kehidupan kelak di akhiratnya.12
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan tauhid pada ayat ini adalah
Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengesakan dan menyembah
kepada-Nya, serta melarang menyekutukan Allah dengan apapun oleh sebab itu
yang berhak disembah hanyalah Allah yang telah menciptakan alam dan semua
isinya. Maka apabila ada manusia yang memuja benda-benda alam ataupun
kekuatan ghaib berarti ia telah sesat, karena kesemua benda-benda itu adalah
makhluk Allah yang tak berkuasa memberi manfaat dan tak berdaya untuk
menolak kemudaratan serta tak berhak disembah.
B. Pendidikan Birul Walidaini
Menurut keluasan pengertiannya, istilah Al-Birr meliputi aspek
kemanusiaan dan pertanggungjawaban ibadah kepada Allah SWT. dalam jalur
12 Musa Sueb, Urgensi Keimanan Dalam Abad Globalisasi, hlm. 60-66.
32
hubungan kemanusiaan dalam tata hubungan hidup keluarga dan masyarakat
wajib dipahami bahwa kedua orang tua yaitu ayah dan ibu menduduki posisi yang
paling utama. Walaupun demikian, kewajiban beribadah kepada Allah dan taat
kepada Rasul tetap berada di atas hubungan horisontal kemanusiaan. Berarti
bahwa, dalam tertib kewajiban berbakti, mengabdi dan menghormati kedua orang
tua (ayah dan ibu) menjadi giliran berikutnya setelah beribadah kepada Allah dan
taat kepada Rasul-Nya.
Motivasi atau dorongan dan kehendak berbuat baik kepada orang tua
(birrul walidaini) telah menjadi salah satu akhlak yang mulia (mahmudah).
Dorongan dan kehendak tersebut harus tertanam sedemikian rupa, sebab pada
hakikatnya hanya bapak dan ibulah yang paling besar dan banyak berjasa kepada
setiap anak-anaknya. Ayah adalah penanggung jawab dan pelindung anak dalam
segala hal, baik segi ekonomi, keamanan, kesehatan, dan juga pendidikannya.
Pada prinsipnya ayah menjadi sumber kehidupan dan yang telah menghidupkan
masa depan anak. Sedangkan ibu tidak kalah besar pengorbanannya dari pada
ayah. Ibulah yang hamil dengan susah payah, kemudian melahirkannya dengan
penderitaan yang tiada tara. Lalu membesarkannya dengan penuh rasa kasih
sayang. Dalam kedudukan sebagai anggota keluarga, ibu adalah kawan setia ayah
yang berfungsi sebagai pendidik anak/anak-anaknya. Pemelihara keluarga dengan
menciptakan ketentraman, keamanan dan kedamaian rumah tangga.13
Sesudah Allah memerintahkan supaya menyembah jangan menyembah
selain Dia lalu Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka benarbenar
memperhatikan urusan kebaktian kepada kedua ibu bapak dan tidak
menganggapnya sebagai urusan yang remeh, dengan menjelaskan bahwa
Tuhanlah yang lebih mengetahui apa yang tergetar dalam hati mereka, apakah
mereka benar-benar mendambakan kebaktiannya kepada kedua ibu bapak dengan
rasa kasih sayang dan penuh kesadaran, ataukah kebaktian mereka hanyalah
pernyataan lahiriyah saja, sedang di dalam hati mereka sebenarnya durhaka dan
membangkang. Itulah sebabnya Allah menjanjikan bahwa apabila mereka benar-
13 A. Munir dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm.
392.
33
benar orang-orang yang berbuat baik, yaitu benar-benar mentaati tuntunan Allah,
berbakti kepada kedua ibu bapak dalam arti yang sebenar-benarnya, maka Allah
akan memberikan ampunan kepada mereka atas perbuatannya.14 Allah SWT.
dalam ayat-Nya memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua, berbuat
baik dan berterima kasih kepada mereka dengan perbuatan dan ucapan. Sesuai
dengan firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 23-25 yaitu:
             
              
               
      
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "Ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". Tuhanmu lebih mengetahui
apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, Maka
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat”.
Kata “ihsan” dalam ayat ini disebut tanpa alif lam ta’rif, sehingga
mengandung makna umum. Ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan
berbuat baik kepada orang tua dengan kebaikan berupa apa saja baik secara
perbuatan, perkataan, perlakuan baik, dengan badan ataupun dengan harta benda.
Kemudian Allah menegaskan pentingnya hal tersebut saat mereka berdua telah
berusia lanjut. Karena pada saat itu mereka berdua sangat membutuhkan untuk
diperlakukan dengan baik, lemah lembut, kasih sayang, hormat dan dimuliakan.
Allah melarang untuk berbuat buruk kepada mereka. Membangkang,
mengucapkan “Ah” kepada mereka, mengangkat suara dimuka mereka,
menghardik dan memaki, menjelek-jelekan dan merendahkan mereka. Allah
14 Departemen Agama, Al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta: Depag., 1990), hlm. 561.
34
SWT. Berfirman, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada
keduanya dengan perkataan “Ah”atau, jangan menyakiti mereka walaupun dengan
cara yang paling ringan”. Janganlah engkau menampakkan rasa bosanmu atau rasa
terbebani dalam dirimu di depan mereka. Tetap bersabar dalam menghadapi
kemungkinan mereka berbuat salah atau lupa di hadapanmu. Kemudian Allah
berfirman, “janganlah engkau membentak mereka. Yakni jangan mengangkat
suara di muka mereka atau berbicara dengan menunjukkan wajah kesal. Jangan
pula menatap mereka dengan tatapan ketidaksenangan atau mengibaskan
tanganmu dan meninggalkan mereka berdua.
Setelah melarang mengucapkan kata-kata jelek dan berbuat buruk,
Allah memerintahkan untuk mempergauli mereka dengan ucapan dan perbuatan
baik. Dia berfirman, “Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
Atau ucapan yang lemah lembut dan baik dengan hormat dan etika. Hal ini
disesuaikan dengan kondisi, kesempatan, waktu dan tempat. Di dalam ayat ini
nampak adanya beberapa ketentuan dan sopan santun yang harus diperhatikan
sang anak terhadap kedua ibu bapaknya antara lain:
1. Anak tidak boleh mengucapkan kata “Ah” kepada kedua orang tua ibu
bapaknya hanya karena sesuatu sikap atau perbuatan mereka yang kurang
disenangi akan tetapi dalam keadaan serupa itu hendaklah anak-anaknya
berlaku sabar, sebagaimana perlakuan kedua orang tua ketika mereka merawat
dan mendidiknya di waktu anak itu masih kecil. Inilah awal tingkatan dalam
memelihara kedua orang tua dengan penuh tata krama.15
2. Anak tidak boleh menghardik atau membentak kedua orang tua sebab dengan
bentakan itu kedua orang tua akan terlukai perasaannya. Menghardik kedua
orang tua adalah mengeluarkan kata-kata kasar pada saat anak menolak
pendapat kedua orang tua atau menyalahkan pendapat mereka sebab pendapat
mereka tidak sesuai dengan pendapat anaknya. Larangan menghardik dalam
ayat ini adalah sebagai penguat dari larangan mengatakan “Ah” yang biasanya
15 Sayyid Quthb, Terjemah Fi Zhilalil-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 249.
35
diucapkan oleh seorang anak terhadap kedua orang tua pada saat ia tidak
menyetujui pendapat kedua orang tuanya.16
3. Hendaklah anak mengucapkan kepada kedua orang tua dengan kata-kata yang
mulia. Kata-kata yang mulia ialah kata-kata yang diucapkan dengan penuh
khidmat dan hormat, yang menggambarkan tata adab yang sopan santun dan
penghargaan yang penuh terhadap orang lain.17 Ini merupakan sikap positif
yang sangat tinggi tingkatannya, yakni hendaknya ucapan sang anak kepada
kedua orang tuanya menunjukkan sikap hormat dan cinta.18
Kemudian Allah berfirman, “dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua”. Merendahkan diri di depan mereka berdua dengan perbuatanmu sebagai
wujud kasih sayangmu dan penghormatan atas jasa-jasa mereka. Layanilah
mereka seperti layaknya pembantu melayani majikannya. Taati mereka dalam
kebaikan, penuhi panggilannya, tunaikan kebutuhannya, tutupi kesalahannya,
lakukan hal-hal yang bisa membahagiakan mereka dan jauhi hal-hal yang
menyakiti dan dibenci mereka.19 Al-Faqih Abu Laits Samarqandy menegaskan:
“sekalipun (umpamanya) perintah berbakti kepada kedua orang tua itu tidak
dimuat dalam Al-Quran dan umpamanya tidak tekanannya, pasti akal sehat akan
mewajibkannya, oleh itulah bagi yang berakal sehat harus mengerti kewajibannya
terhadap kedua orang tua. Apalagi hal itu telah ditekankan oleh Allah dalam
Semua kitabnya (yakni) Taurat, Injil, Zabur dan Al-Quran juga telah disampaikan
kepada Nabi bahwa: “Ridha Allah tergantung ridha kedua orang tua”.20
Allah memerintahkan agar merendahkan diri kepada kedua orang tua
dengan penuh kasih saying. Yang dimaksud merendahkan diri dalam ayat ini ialah
mentaati apa yang mereka perintahkan selama perintah itu tidak bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan syara’. Taat anak kepada kedua orang tuanya
16 Departemen Agama Republik Indonesia, hlm. 556.
17 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, hlm. 556.
18 Sayyid Quthb, hlm. 249.
19 Abdul Aziz Al-Fauzan, Fikih Sosial Tuntunan dan Etika Hidup Bermasyarakat, (Jakarta:
Qisthi Press, 2007), hlm. 244-245.
20 Abu Lait Samarqandy, Terjemah Tanbihul Ghafilin, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2000),
hlm. 119.
36
merupakan tanda kasih sayangnya kepada kedua orang tuanya yang sangat
diharapkan terutama pada saat kedua ibu bapak itu sangat memerlukan
pertolongannya. Ditegaskan bahwa sikap rendah diri itu haruslah dilakukan
dengan penuh kasih sayang agar tidak sampai terjadi sikap rendah diri yang
dibuat-buat hanya sekedar untuk menutupi celaan orang lain atau untuk
menghindari rasa malu pada orang lain, akan tetapi agar sikap merendahkan diri
itu betul-betul dilakukan karena kesadaran yang timbul dari hati nurani.21 Dalam
hal ini Allah tidak membedakan antara ibu dengan bapak. Memang pada dasarnya
ibu hendaknya didahulukan atas ayah tetapi ini tidak selalu demikian. Thahir Ibnu
Asyur menulis bahwa Imam Syafi’i pada dasarnya mempersamakan keduanya,
sehingga bila ada salah satu yang hendak didahulukan maka seorang anak
hendaknya mencari faktor-faktor penguat guna mendahulukan salah satunya.
Karena itu pula walaupun ada hadits yang mengisyaratkan perbandingan hak ibu
dengan bapak sebagai tiga dibanding satu, namun penerapannya pun harus setelah
memperhatikan faktor-faktor yang dimaksud.
Doa kepada kedua orang tua yang diperintahkan di sini menggunakan
alasan (___________ ) dipahami oleh sementara ulama dalam arti disebabkan
karena mereka telah mendidikku di waktu kecil. Jika berkata sebagaimana, maka
rahmat yang dimintakan itu adalah yang kualitas dan kuantitasnya sama dengan
apa yang seorang anak peroleh dari keduanya. Adapun bila disebabkan karena,
maka limpahan rahmat yang dimohonkan anak kepada keduanya itu diserahkan
kepada kemurahan Allah SWT. dan ini dapat melimpah jauh lebih banyak dan
besar daripada apa yang mereka limpahkan kepada seorang anak. Sangat wajar
dan terpuji jika seorang anak memohonkan agar kedua orang tua memperoleh
lebih banyak dari yang kita peroleh, serta membalas budi melebihi budi mereka.
Ayat ini juga menuntun agar seorang anak mendoakan kedua orang tuanya. Hanya
saja ulama menegaskan bahwa doa kepada kedua orang tua yang dianjurkan di
sini adalah bagi yang muslim, baik masih hidup maupun telah meninggal.
21 Departemen Agama, hlm. 556-557.
37
Sedangkan bila kedua orang tua tidak beragama Islam telah meninggal, maka
terlarang bagi anak untuk mendoakannya, Al-Quran mengingatkan bahwa ada suri
tauladan yang baik bagi kaum muslimin dari seluruh kehidupan Nabi Ibrahim.
Allah berfirman dalam surat Al-Mumtahannah ayat 4 yaitu :
           
“kecuali Perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan
memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun
dari kamu (siksaan) Allah”. (QS. Al-Mumtahannah: 4)22
Kemudian dilanjutkan dengan firman Allah, “Tuhanmu lebih mengetahui
apa yang ada dalam hatimu, jika kamu orang-orang yang baik, Maka
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat”. Allah
lebih tau apa yang ada di dalam hati manusia dari pada manusia itu sendiri, baik
berupa penghormatan kepada kedua orang tua, berbuat baik kepada mereka atau
meremehkan hak dan durhaka kepada mereka. Allah akan memberi balasan
kepada seseorang atas kebaikan atau keburukan yang mereka perbuat. Maka jika
seseorang telah memperbaiki niatnya terhadap kedua orang tua dan taat kepada
Allah mengenai berbuat baik kepada kedua orang tuanya yang telah Allah
perintahkan serta menunaikan suatu kewajiban yang wajib seseorang tunaikan
terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni seseorang atas
kekurangan yang dia lakukan. Karena Dialah Yang Maha Pengampun terhadap
orang yang mau bertaubat dari dosanya dan berhenti dari maksiat kepada Allah,
lalu kembali taat kepada-Nya serta melakukan hal-hal yang dicintai dan disukai
Allah.23 Ayat tersebut juga merupakan janji bagi orang yang berniat hendak
berbuat baik kepada orang tua dan juga ancaman terhadap orang yang
meremehkan hak-hak orang tua serta berusaha untuk durhaka terhadap mereka
berdua.24
22 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 454-455.
23 Ahmad Mustafa Al-Maragi, hlm. 67.
24 Ahmad Musthafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Misbah, hlm. 67.
38
Allah memperingatkan agar seorang anak benar-benar memperhatikan
urusan kebaktian kepada kedua orang tua dan tidak menganggap sebagai urusan
yang remeh, dengan menjelaskan Tuhanlah yang lebih mengetahui apa yang
tergerak dalam hati seorang anak, apakah mereka benar-benar mendambakan
kebaktiannya kepada kedua orang tua dengan rasa kasih sayang dan penuh
kesadaran, ataukah kebaktian mereka hanyalah pernyataan lahiriyah saja,
sedangkan di dalam hati mereka sebenarnya durhaka dan membangkang. Itulah
sebabnya Allah menjanjikan bahwa apabila mereka benar-benar orang yang
berbuat baik yaitu benar-benar mentaati tuntutan Allah, berbakti kepada kedua
orang tua dalam arti yang sebenar-benarnya, maka Allah akan memberi ampunan
kepada mereka atas perbuatannya.25 Penegasan ini dihadirkan di sini sebelum
pembicaraan lebih lanjut tentang tugas kewajiban dan prinsip-prinsip moral yang
lain, agar dijadikan barometer dalam setiap ucapan dan perbuatan. Juga untuk
membuka pintu tobat dan rahmat bagi yang bersalah atau kurang dalam
melaksanakan tugas kewajibannya. Karena selagi hati seseorang masih baik
(saleh) maka pintu ampunan tetap terbuka. Dan orang-orang yang pandai bertobat
adalah mereka yang setiap kali berbuat salah mereka segera kembali kepada
Tuhan dengan memohon ampunan-Nya.26
Jadi pada hakikatnya syukur kepada orang tua merupakan bagian dari
perilaku baik seorang hamba kepada Allah, pelaksanaan terhadap perintahnya dan
pemenuhan terhadap seruannya. Syukur kepada orang tua merupakan upaya untuk
menghadapkan diri kepada Allah melalui sebuah ibadah agung yang bernama
“berbakti kepada orang tua”. Hal itu bertujuan agar orang berbakti kepada kedua
orang tuanya dapat memperoleh keberuntungan di sisi Tuhannya, Sang Dzat yang
telah menciptakannya, yaitu keberuntungan berupa tempat kembali yang
diharapkan, akhir yang diharapkan.27 Allah SWT memerintahkan kepada manusia
agar berbuat baik kepada kedua orang tua mereka dengan alasan sebagai berikut:
25 Departemen Agama, hlm. 561.
26 Sayyid Quthb, hlm. 249.
27 Muhammad Al-Fahham, Terjemah Sa’addah Al-Abna’ Fii Birr Al-Ummahat Wa Al-
Aba’, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), hlm. 136-137.
39
1. Kasih sayang kedua ibu bapak yang telah dicurahkan kepada anak-anaknya dan
segala macam usaha yang telah diberikan agar anak-anaknya menjadi anakanak
yang saleh, jauh dari jalan sesat. Maka pantaslah apabila kasih sayang
yang tiada taranya itu dan usahanya tak mengenal payah itu mendapatkan
balasan dari anak-anaknya dengan berbuat baik kepada mereka dan
mensyukuri jasa baik mereka itu.
2. Anak-anak adalah bagian tulang dari kedua ibu bapak.
3. Anak-anak sejak masih bayi hingga dewasa, baik makanan ataupun pakaian
menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, maka sepantaslah apabila
tanggung jawab itu mendapat imbalan budi dari anak-anaknya.
Kedua orang tua biasanya terdorong secara fitrah untuk mengasuh dan
memperhatikan anaknya. Mereka berkorban apa saja, bahkan mengorbankan
dirinya demi sang anak. Ibarat sebatang pohon ia menjadi rimbun dan menghijau
sesudah menyedot semua makanan yang ada pada asal bibitnya sehingga biji itu
menjadi terkoyak. Juga laksana anak ayam yang menetas sesudah ia menghisap
habis isi telur sehingga tinggal kulitnya saja. Begitulah sang anak manusia. Ia
menguras kebugaran, kekuatan, dan perhatian kedua orang tuanya sehingga
mereka berdua menjadi tua renta, jika memang takdir menunda ajal keduanya.
Meski demikian, kedua orang tua tetap merasakan bahagia atas segala
pengorbanannya. Sedangkan, sang anak biasanya cepat sekali ia melupakan itu
semua, dan ia pun segera melihat kedepan kepada istri dan anak cucunya. Dan
begitulah kehidupan ini terus melaju.28
Pada prinsipnya kehidupan keluarga menurut Islam ialah keluarga
menjadi ajang utama untuk menerapkan perintah-perintah Al-Quran dan Al-
Hadist. Keharmonisan hidup berkeluarga, hubungan orang tua dengan anak
menyangkut kewajiban, serta hak dan kewajiban anak untuk berbakti atau berbuat
baik kepada kedua orang tua yang telah diatur secara mutlak di dalamnya. Sikap
anak kepada kedua orang tua yang selaras dengan tuntutan Al-Quran dan Al-
28 Sayyid Quthb, hlm. 248.
40
Hadist.29 berbakti kepada kedua orang tua sebagai perbuatan yang paling baik,
pengorbanan yang paling mulia dan paling dicintai Allah. Perilaku ini merupakan
faktor terbesar didapatkannya pahala, kebaikan dan dihapuskannya dosa-dosa. Ia
juga merupakan jalan terdekat untuk mencapai keridhaan Allah dan surga-Nya.
Bahkan Allah telah menjadikan keridhaan-Nya terletak pada keridhaan orang tua,
kebencian-Nya terletak pada kebencian orang tua, dan menjadikan kedua orang
tua sebagai pintu tengah surga, bahkan menjadikan surga berada di bawah telapak
kaki keduanya.30
Allah menyandarkan perintah menyembah kepada-Nya dengan perintah
berbuat baik kepada kedua orang tua mengisyaratkan bahwa berbakti kepada
orang tua merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan setelah memenuhi
hak Allah. Allah memerintahkan kepada manusia agar memberi perhatian khusus
kepada kedua orang tua khususnya orang tua yang telah lanjut usia. Sebab di usia
yang telah lanjut, orang tua lebih membutuhkan pertolongan dan perhatian dari
anak-anaknya. Merawat orang tua yang lanjut usia tidaklah mudah. Sebab sifat
mereka menyerupai anak kecil, butuh disuapi, dimandikan, dibaringkan dan
sebagainya. Oleh karenanya, dibutuhkan kesabaran dan perhatian yang ekstra
dalam melayaninya.31
Secara singkat dapat dikatakan bahwa nikmat yang paling banyak
diterima oleh manusia ialah nikmat Allah, sesudah itu nikmat yang diterima dari
kedua ibu bapak. Itulah sebabnya maka Allah SWT meletakkan kewajiban
berbuat baik kepada ibu bapak pada urutan kedua sesudah kewajiban manusia
beribadah hanya kepada Allah.32 Dengan gaya penuturan yang sejuk dan lembut
serta gambaran masalah yang inspiratif ini, Al-Quran menyingkap rasa kesadaran
manusia untuk berbakti dan rasa kasih sayang yang ada dalam nurani seorang
anak terhadap orang tuanya. Dikatakan demikian karena suatu kehidupan yang
29 A. Munir dan Sudarsono, hlm. 395.
30 Abdul Aziz Al-Fauzan, hlm. 239.
31 Achmad Yani Arifin, Berbakti Kepada Orangtua, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008),
hlm. 62.
32 Departemen Agama Republik Indonesia, hlm. 555-556.
41
berjalan seiring dengan eksistensi makhluk hidup senantiasa mengarahkan
paradigma mereka ke depan, ke arah anak cucu, kepada generasi baru, generasi
masa depan. Jarang sekali hidup ini membalikkan pandangan manusia ke arah
belakang, kepada nenek moyang, ke arah kehidupan masa silam, ke generasi yang
sudah berlalu. Oleh karena itu, diperlukan dorongan kuat untuk menyingkap tabir
hati nurani seorang anak agar ia mau menoleh ke belakang serta melihat para
bapak dan para ibu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak Birrul walidaini pada
ayat ini adalah perintah Allah untuk berbuat baik kepada orang tua yaitu, pertama
untuk menjaga keridhaan dan kenyamanan hati orang tua. Menjaga keridhaan
tidak mudah karena persoalan ridha menyangkut urusan hati. Untuk dapat
menjaga keridhaan orang tua seorang anak harus betul-betul peka dan empati atas
keadaan orang tua sebab tidak jarang sesuatu yang seseorang anggap baik, justru
orang tua menganggap sebaliknya dan ini perlu disadari karena pikiran anak
berbeda dengan pikiran orang tua. Dan yang kedua yaitu memelihara pergaulan
dengan orang tua, misalnya merendahkan diri dihadapan mereka, berkata lembut,
bersikap sopan, dan sebagainya. Hal ini sangat penting dan harus ada perhatian
khusus karena setiap hari seorang anak berinteraksi dengan kedua orang tua.
Terlebih disaat orang tua telah memasuki usia lanjut tentunya mereka sangat
memerlukan perhatian lebih dari seorang anak.
46
BAB IV
AKTUALISASI NILAI PENDIDIKAN Q.S AL-ISRA’ AYAT 23-25 DALAM
DUNIA MODERN
A. Penguatan Akidah Peserta Didik
Modernisasi merupakan suatu proses dalam pembangunan, yang bermakna
suatu usaha untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam lingkungan/masyarakat
berbeda keadaan semula. Hasan Basri mengemukakan perubahan dalam
(modernisasi, yaitu: perubahan tersebut sifatnya progresif (maju) bukan sebaliknya
(retriregsif), perubahan yang menyeluruh dalam berbagai segi kehidupan manusia.
Pergeseran kehidupan yang bukan hanya dari segi material (duniawi) namun juga
mencakup juga segi spritualnya (ukhrowi) yang lebih baik). Jadi modernisasi adalah
upaya manusia dalam mengusahakan segala sesuatu dalam kehidupan agar menjadi
baru dan selaras dengan kemajuan Iptek yang kesinambungan tanpa harus
mengesampingkan kehidupan ukhrawi.1
Pendidikan agama di sekolahan umum, terlebih lagi di madrasah, bukan
sekedar mengajar anak untuk hafal bacaan shalat atau semacamnya. Propenas (UU
No. 25 tahun 2000) menyebutkan bahwa “pendidikan agama di sekolahan umu (TK,
SD, SLTP, dan SMU) bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan dan ketaqwaan
serta pembinaan akhlak mulia dan budi pekerti luhur”. Untuk mencapai tujuan yang
disebut tadi, maka perlu ada penambahan jam pelajaran untuk setiap minggunya.
Oleh karena itu, di dalam propenas juga disebutkan (di dalam matriks) agar terjadi
“bertambahnya jumlah jam pelajaran agama, minimal 3 jam pelajaran
perminggunya”. Hal ini harus dipahami bahwa pelajaran agama di sekolahan
umumpun tidak sekedar bertujuan untuk mampu menghafal bacaan shalat, namun
lebih besar dari itu, sampai pada meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dan
pembinaan akhlak . oleh karena itu wajar kalau kemudian penulis pertegas arah
1 Musa Sueb, Urgensi Keimanan Dalam Abad Globalisasi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1996), hlm. 46-47.
47
pendidikan agama di sekolahan umum.2 Ada dua sasaran, sekaligus merupakan arah
pendidikan agama yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu:
Pertama, pendidikan agama di sekolahan umum hendaknya mampu
mengajarkan aqidah peserta didik sebagai landasan keberagamaan. Dengan kata lain,
agama diajarkan di sekolah untuk menjaga akidah peserta didik atau menjaga
keimanan dan ketaqwaannya. Oleh karena itu, pendidik yang mengajar agama harus
beragama yang sama dengan agama peserta didik. Pendekatan yang diberikan juga
tidak banyak menekankan pada kajian kritis yang kritis. Kalau menggunakan
argumentasi rasional (dalil aqli) sasarannya adalah untuk memperkuat akidah tadi.
Dalam waktu bersamaan, pengertian menjaga akidah juga hendaknya meliputi
menjaga pemahaman akidah yang diikuti oleh peserta didik. Dengan kata lain, jika
peserta didik mengikuti aliran sunni (ahlusunnah wal jama’ah), tidak pada
tempatnya untuk mengangkat guru agama yang mengikuti aliran syi’ah untuk
mengajar mereka, kecuali ada kesepakatan dari pihak orang tua. Demikian pula
sebaliknya. Seandainya melakukan kajian kritis, maka tetap dalam koridor akidahakidah
yang diikuti. Jadi, bukan hanya seagama, namun juga sepaham dalam aliran
akidah, sehingga tidak akan timbul masalah yang tidak diinginkan. Sudah barang
tentu, jika sudah semakin dewasa, perbedaan aliran dalam paham aqidah tidak
menjadi masalah jika masih dalam satu agama. Bahkan di tingkat pendidikan tinggi
akan diberikan kajian kritis yang mencakup kajian yang mengkritisi paham-paham
dalam aqidah Islam.
Kedua, pendidikan agama mengajarkan kepada peserta didik pengetahuan
tentang ajaran agama Islam. Untuk sasaran ini, dalam beberapa hal memang
diperlukan kognitif atau hafalan. Namun, dalam praktik dan evaluasinya harus
melibatkan praktik sehari-hari. Pelajaran bacaan shalat, do’a-do’a, bahkan juga
bacaan ayat-ayat Al-Quran memerlukan hafalan. Dari hafalan itupun seharusnya
dibarengi dengan praktik secara rutin dan serius. Ambil contoh tentang shalat.
Disamping peserta didik diberi pelajaran hafalan untuk menjalankan shalat, dalam
kenyataanya praktik mendirikan shalat juga harus menjadi perhatian serius. Artinya,
2 A. Qodri Azizi, Pendidikan Untuk Membangun Etika, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hlm.
73.
48
peserta didik tidak sekedar diberi pelajaran pengetahuan tentang shalat dengan segala
bacaan yang harus dihafalkan, namun juga sekaligus hendaknya dipraktekkan untuk
melakukan shalat, terlebih lagi untuk menjalankan shalat jama’ah. Sekolah/madrasah
hendaknya berusaha menyediakan tempat untuk shalat atau mendirikan bangunan
musholla atau masjid permanen. Akan lebih baik lagi jika bukan hanya
menggalakkan shalat wajib di musholla atau di masjid saja, namun juga peserta didik
dianjurkan menjalankan ibadah sunnah, seperti shalat dhuha, tadarrus Al-Quran dan
lainnya. Demikian untuk pelajaran yang lainnya, seperti zakat, puasa, yang lainnya,
termasuk selain pelajaran ibadah. Sesuai dengan tingkat berpikir peserta didik, ajaran
Islam juga agar dimaknai secara kontekstual. Sebagai contoh ajaran zakat. Ajaran
Islam tentang zakat disampaikan kepada peserta didik tidak dengan cara pemberian
beban, oleh karena zakat adalah kewajiban. Namun, agar mampu memberi
penjelasan bahwa zakat justru memberi inspirasi dan sekaligus landasan untuk etos
kerja dari belajar yang rajin untuk sukses, sampai dengan kerja keras untuk menjadi
orang yang mampu mengeluarkan zakat. Jadi, ketika peserta didik mendengar katakata
zakat , yang terlintas di dalam pikirannya bukan beban kewajiban, namun jutru
semangat etos kerja untuk menjadi orang yang mampu membayar zakat (kaya) dan
kebanggaan untuk mampu melaksanakan kewajiban berupa membayar zakat.
Kemudian dapat disaksikan bahwa pelajaran agama Islam tentang zakat mempunyai
keterkaitan dengan keberhasilan belajar peserta didik dalam materi pelajaran secara
keseluruhan.3
Jumlah jam pelajaran yang terbatas dengan materi yang diserat
menyebabkan guru agama mengambil jalan pintas yang paling mudah, yaitu melihat
pendidikan agama lebih sebagai pelajaran daripada sebagai pendidikan. Sehingga
pendekatan yang dipakainya adalah pendekatan ilmu yang lebih menyentuh ranah
kognitif. Akibat yang mudah diharapkan dari pendekatan semacam itu adalah bahwa
peserta didik hanya akan menumpuk bahan agama sebagai pengetahuan secara
kuantitatif, dan tidak atau kurang kualitatif dalam pembentukan pribadi. Dengan
demikian diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif yang menyentuh seluruh
aspek pribadi, yang sering disebut sebagai pendekatan holistik atau integralistik.
3 A. Qodri Azizi, Pendidikan Untuk Membangun Etika, hlm. 73-75.
49
Dalam hal ini menurut nilsen bahwa ada 3 faktor yang ikut membentuk kualitas
keberagamaan peserta didik, yaitu:
a. Kualitas pemahaman tentang Tuhan sebagai nilai tertinggi dalam sistem agama.
b. Kadar keagamaan sehari-hari terutama bagaimana menghayati hubungan antara
nilai-nilai ideal agama dengan kenyataan kehidupan yang melibatkannya.
c. Pandangan tentang dirinya, siapa hakikat dirinya, evaluasi tentang diri dan
kemampuannya.
Menurut Paul Hirst bahwa ajaran agama termasuk ranah kepercayaan dan
bukan pengetahuan yang dapat diverifikasi secara umum. Karena itu materi agama
yang diajarkan di sekolah hendaklah lebih bersifat deskriptif dan bukan penyajian
yang mengagung-agungkan. Sedangkan menurut Dearden hendaklah dibedakan
antara pendidikan agama dengan indoktrinasi. Pendidikan agama sebagai bagianbagian
integral dari pendidikan pada umumnya, tak lepas dari prinsip pendidikan
modern yang menurut Moran terdapat kecenderungan yang berprinsip bahwa fakta
sentral dari gerakan pendidikan modern adalah adanya pengakuan terhadap anak
didik sebagai faktor penentu dalam seluruh rancangan pendidikan. Pendidikan
bukanlah untuk mencetak peserta didik sesuai dengan cetakan yang telah disiapkan
lebih dahulu, tetapi untuk mengembangkan kekuatan-kekuatannya yang normal ke
dalam tatanan alamiahnya.4
Agama Islam adalah agama yang mengajarkan kepada peserta didik
bertauhid meng-Esakan Allah bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain
Allah Tuhan Yang Maha Esa. Jiwa bertauhid kepada Allah semata, ini ditegaskan
Luqman dengan suatu larangan berbuat syirik (menyekutukan Allah) kepada
anaknya, sebagaimana firman Allah:
             
“dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar". (Luqman: 12)
4 Ahmad Ludjito, Guru Besar Bicara: Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam,
(Semarang: Rasail Media Group, 2010), hlm. 23-24.
50
Demikianlah Luqman telah menanamkan jiwa tauhid sebagai dasar agama
ke dalam diri anaknya sebelum ia mengajar dan mengisi fikiran anaknya dengan ilmu
pengetahuan. Dipenuhinya jiwa anaknya dengan semangat ke-Tuhanan Yang Maha
Esa supaya di dalam jiwa anaknya terbit nur Ilahi, cahaya hidayah Allah yang akan
membimbing serta memimpin hidupnya ke jalan yang lurus dan benar, jalan
keselamatan dan kesejahtraan hidup di dunia dan akhirat. Juga agar jiwa anaknya
penuh dengan akhlak dan moral ke-Tuhanan. Supaya semangat kesucian Allah
mengalir dalam hati nurani dan pribadinya, ibarat sungai yang dapat memuaskan
dahaga dan menyuburkan tanah. Demikian pula ilmu pengetahuan itu untuk berbakti
kepada Allah dan menurut sepanjang keridhaan-Nya tidak disalah gunakan untuk
menghancurkan peradaban dan kebudayaan, untuk merusak dan membinasakan
dunia seisinya. Dengan dasar tauhid ini diharapkan jiwa anak mendapat kekuatan
untuk menundukkan hawa nafsu yang menjadi biang keladi segala bentuk kejahatan
dan kehancuran, mendapatkan kebebasan dan terlepas dari cengkraman syirik,
khurafat dan takhayul, terhindar dari poengaruh kekuatan alam dan benda serta
kekuasaan yang banyak dianggap orang mempunyai kesucian dan kesaktian, yang ke
semua itu untuk memelihara nilai-nilai hidupnya sebagai makhluk yang termulia.5
keimanan adalah sesuatu yang teraplikasikan dalam niat, ucapan, dan
perbuatan. Ia dapat menambah ketaatan seseorang kepada tuhan dan mengurangi
kadar kemaksiatan terhadap-Nya,6 bukan hanya terletak pada hubungan antara
manusia dengan Tuhannya saja (berupa penegasan simbol dan praktik ritual), tetapi
juga meliputi masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kemanusiaan, yaitu
mendidik peserta didik untuk menjadi insan yang baik, sehingga secara otomatis
menjadi warga negara yang bermanfaat. Kalau dibahas lebih detail, “bermanfaat”
artinya bahwa seseorang yang selesai dididik dalam proses pendidikan seharusnya
tidak membawa mudarat (madharat) bagi orang lain. Lebih jauh, seseorang (peserta
5 A Shamad Hamid, Benalu Benalu Aqidah, (Jakarta: Qithi, 2005), hlm. 43-44.
6 Sa’id Abdul Azhim, Ukhuwah Imaniyyah Persaudaraaan Iman, (Jakarta: Qisthi, 2005),
hlm. 163.
51
didik) bukan hanya tidak mendatangkan mudarat terhadap orang lain, tetapi lebih
dari itu dapat membawa manfaat.7
Pemahaman atau pemaknaan dan komitmen yang rendah terhadap
ketaqwaan itulah yang menjadi penyebab utama jarang menyentuh makna yang
sebenarnya dan praktik tentang taqwa dalam realitas pendidikan. Faktor lain adalah
kebanyakan ahli kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan agama, dan para
pembuat kebijakan pendidikan belum berfikir ke arah sana. Mestinya dengan adanya
perubahan UUD 1945, terutama sekali yang berkaitan dengan pendidikan, maka
perhatian itu harus serius. Penjabaran taqwa ke dalam proses pembelajaran telah
tercabut dari akar maknanya. Kondisi ini diperkuat dengan model pendidikan yang
lebih mengutamakan dimensi intelektual (kognitif) ketimbang pengembangan
karakter dan kepribadian manusia. Maka seringkali dalam proses pembelajaran,
terutama dalam sistem persekolahan, terlalu menekankan pada hafalan dan apa yang
harus masuk keotak, serta jarang memberikan ruang kepada penanaman nilai
ketaqwaan sebagai tuntutan tujuan pendidikan. Makna essensi taqwa itu sendiri
kurang mendapatkan penjelasan dan uraian sampai pada perwujudan nilai dalam
sikap dan perilaku peserta didik.
Penulis tidak yakin bahwa di tingkat madrasah pun terdapat penjabaran
yang lebih detail, lebih kongkrit dan lebih realistis tentang makna taqwa yang
sebenarnya. Padahal Al-Quran banyak sekali menyebut kata taqwa, dan hampir
selalu ungkapan takwa dibarengi dengan penyebutan amal shalih. Ini berarti bahwa
praktik ketaqwaan harus mencakup perilaku kesalehan individual dan sosial dalam
bentuk amal tadi. Ketika ketaqwaan diwujudkan dalam kehidupan sosial yang baik
(shalih), barulah ajaran Islam itu dapat disebut membumi atau dipraktekkan dalam
kehidupan keseharian.8 tujuan pendidikan mengacu pada makna taqwa seperti ini
maka penjabarannya ke dalam rumusan operasional merupakan keharusan. Tujuan
pendidikan seperti didefinisikan oleh para ahli pendidikan memang bermacammacam,
namun yang terpenting dapat penulis sebutkan sederhana, misalnya,
7 A. Qodri Azizi, hlm. 137-138.
8 A. Qodri Azizi, Pendidikan Untuk Membangun Etika, hlm. 135-136
52
mendidik peserta didik untuk menjadi insan yang baik, sehingga secara otomatis
menjadi warga negara yang bermanfaat.9 jika ciri-ciri di dalam Al-Quran itu
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik, maka ia akan bermanfaat
bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain, serta bagi bangsa dan negara.10
Faktor-faktor yang memperkuat nilai-nilai ketauhidan terhadap peserta didik
diantaranya ialah berikut:
1. sikap selalu memperbaharui syahadat sehingga orang yang bersangkutan terjaga
dari perbuatan-perbuatan yang mengarah pada kesyirikan.
2. sikap tidak mudah terpengaruh oleh situasi yang berubah dan menjanjikan hasil
secara cepat (budaya instan). Sesuatu yang cepat berubah akan pula menjadi
using.
3. sikap asyik dalam beribadah sehingga membentuk pribadi yang kokoh dan tidak
mudah tergoda oleh pesona kehidupan duniawi.
4. sikap berhati-hati dalam ibadah dan ada rasa kekhawatiran bahwa nilai ibadah
masih jauh dari sempurna.
5. sikap tawakkal yang tidak menenggelamkan pertimbangan akal sehingga tidak
terpuruk ke dalam sikap fatalitas. Contoh, sikap Umar Ibn Khattab ketika
menghindar untuk berkunjung ke sebuah daerah yang terserang penyakit menular.
6. sikap menyadari kelemahan dirinya sebagai manusia, terutama godaan hawa
nafsu, sehingga senantiasa memohon perlindungan Allah.11
Maksud dari keterangan di atas adalah membentuk kepribadian peserta didik
dan peran penting untuk menciptakan generasi yang lebih baik itulah tujuan
pendidikan, yang jelas akan mengarahkan guru untuk mendidik peserta didik agar
menjadi insan yang baik yang berarti menjadi warga negara yang baik pula. Ketika
seorang muslim, sebagai wujud pendidikan yang berhasil, menjadi warga negara
yang baik, ia tidak akan merugikan dirinya sendiri, orang lain, masyarakat dan
negara. Sebaliknya ia memberi manfaat kepada orang lain, masyarakat, negara dan
agamanya. Keberhasilan pendidikan menciptakan kepribadian yang baik bagi peserta
9 A. Qodri Azizi, Pendidikan Untuk Membangun Etika, hlm. 137
10 A. Qodri Azizi, Pendidikan Untuk Membangun Etika, hlm. 138
11 Zaky Mubarok Latif, dkk., Akidah Islam, (Yogyakarta: Uii Press, 2001), hlm 33-34
53
didik mempunyai implikasi bahwa individu-individu peserta didik atau mantan
peserta didik setelah dewasa tidak akan merugikan orang/warga negara lain,
masyarakat atau negara. Agar dapat bermanfaat terhadap warga negara yang lain atau
negara secara keseluruhan diperlukan kemampuan pengetahuan, ilmu, skill bagi tiaptiap
peserta didik. Kemampuan memberi bekal kepada peserta didik untuk memiliki
kemampuan pengetahuan/ilmu atau skill ini juga tergantung kepada keberhasilan
pendidikan. Inilah manfaat dari pendidikan akidah.12
Modernisasi sebagai proses usaha pembaharuan dalam masyarakat dengan
menggunakan hasil-hasil modernisasi ke dalam berbagai aspek kehidupan manusia
tidaklah berlawanan dengan ajaran Islam, sebaliknya malah justru diharapkan
relisasinya. Agama Islam tidak melarang umatnya menggunakan hasil-hasil iptek,
selagi modernisasi tersebut membawa manfaat serta memberi kemaslahatan bagi
perkembangan perekonomian umat, sehingga dapat meningkatkan drajat hidup umat
manusia. Juga, dalam menggunakan segala sesuatunya tidak menyimpang dari
ajaran-ajaran-Nya dan tidak melampaui batas. Selain itu serta dalam era globalisasi
dengan pencarian kebutuhan hidup jasmaniah, tentu saja juga harus berupaya
menyeimbangkan dengan ruhaniah. Usaha untuk mendapatkan kesenangan dan
kenikmatan dunia ini merupakan realisasi agar pemikiran peserta didik tenang dan
jernih, jasmani sehat dan bergairah untuk beribadah kepada Allah SWT, serta dapat
membantu atau berbuat baik terhadap semua manusia.13
Ketidakpahaman akan modernisasi merupakan penyalahtafsiran tentang
kemajuan, agar umat manusia dapat hidup lebih baik kepada hanya diperuntukkan
keduniaan. Hal ini merupakan lebih berbahaya dari pada kebodohan. Terlenanya
manusia dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan dalam modernisasi
merupakan penyebab manusia terkena ujub dunia14. Sudah tentu dekade keimanan
akan semakin tajam menggerogoti sanubari umat manusia.15 Agar peserta didik bisa
12 A. Qodri Azizi, hlm. 138-139.
13 Musa Sueb, hlm. 58.
14 Ujub adalah keangkuhan, kesombongan dan rasa bangga terhadap hal-hal yang bersifat
keduniaan.
15 Musa Sueb, hlm. 59.
54
berprestasi, maka ia haruslah kedudukan yang sama, mempunyai kesempatan yang
sama, dan yang lebih penting lagi mempunyai kemerdekaan untuk berprestasi itu
sendiri. Agar itu semua terpelihara, maka haruslah tidak terjadi kezaliman atau
perampasan hak sebagian manusia untuk kepentingan manusia yang lain,16 yang
selalu mengandung nilai-nilai yang berimplikasi pada kehidupan sosial. Dan hampir
semua ajaran Islam mempunyai makna untuk kehidupan dunia yang baik, jika
dipraktekkan.17
Dengan dasar tauhid tidak bisa terlepas dengan bagaimana pelaksanaan
sebagai konsekwensi dari pengakuan tersebut terhadap diri peserta didik. Peserta
didik bisa saja menyebut dirinya bahwa ia adalah seorang Muslim, seorang Mu’min
yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun apakah pengakuan tersebut
benar-benar telah sesuai antara lidah dan hatinya, antara ucapan dan amal perbuatan
sebagai seorang Muslim dan Mu’min yang sesungguhnya sebagaimana dikehendaki
oleh ajaran Islam itu sendiri. Yang jelas bagi peserta didik yang mempercayai dengan
sepenuh hati bahwa tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah dan bahwa
Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya tentu ia akan membuktikan keyakinan
itu dengan perbuatan nyata berupa amal ibadah sebagaimana diperintahkan oleh
Allah dan Rasul-Nya, serta senantiasa menjaga serta memelihara hubungannya
dengan Allah dengan sebaik-baiknya. Firman Allah:
      
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”. (Adz-Dzariyat: 56)18
Ayat Al-Quran ini sudah jelas bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah
agar mereka menyembah Allah semata. Hanya Allahlah yang patut disembah, hanya
Dia yang patut diabdi, keridhaanya menjadi tujuan dari semua tindakan. Inilah esensi
dari risalah seluruh Nabi Muhammad yang hampir-hampir tidak dapat terungkapkan
oleh Nabi sendiri kecuali dalam Firman Allah yang berarti “Marilah kubacakan apa
16 A. Qodri Azizy, hlm. 97.
17 A. Qodri Azizy, Pendidikan Untuk Membangun Etika Sosial, hlm. 141.
18 A. Shamad Hamid, hlm. 48.
55
yang diharamkan bagimu oleh Tuhanmu yaitu janganlah kamu menyekutukan
sesuatu dengan Dia”. Bahwa tauhid adalah perintah Tuhan yang tertinggi dan
terpenting dibuktikan oleh kenyataan adanya janji Tuhan untuk mengampuni semua
dosa kecuali pelanggaran terhadap tauhid. Allah tidak akan mengampuni dosa syirik
terhadap-Nya tetapi Dia mengampuni dosa-dosa selain dari itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan sesuatau dengan Allah maka
sungguh dia sudah berbuat dosa yang besar. Jelas sekali tidak ada satupun perintah
dalam Islam yang bisa dilepaskan dari tauhid. Seluruh agama itu sendiri kewajiban
untuk menyembah Tuhan, untuk mematuhi perintah-perintah-Nya dan akan hancur
begitu tauhid dilanggar. Memang melanggar tauhid berarti meragukan bahwa Allah
adalah Satu-satunya Tuhan. Dan ini berarti meyakini adanya wujud-wujud lain selain
Allah sebagai Tuhan sebuah keyakinan yang hanya mungkin muncul dari mereka
yang meragukan keterikatan manusia dengan firman Tuhan.19
Jadi dapat disimpulkan dari keterangan di atas bahwa aktualisasi nilai-nilai
pendidikan akidah dalam dunia modern memiliki tujuan agar umat manusia dapat
hidup lebih baik dan lebih sejahtera, baik dari segi lahiriyyah maupun segi
batiniyyahnya dalam menggeluti tatanan kehidupan di dunia ini dengan tanpa
mengesampingkan kehidupan ukhrawinya. Agar tujuan modernisasi yang
bernafaskan Islami itu tercapai dan dapat mensejahterakan kehidupan umat manusia
dari dunia sampai akhirat, maka seseorang harus selalu membina dan memupuk
secara kontinyu keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.20
B. Penanaman Nilai Birrul Walidaini
Tidak diragukan lagi bahwa mendidik anak merupakan sebuah tanggung
jawab yang sangat berat dan pekerjaan yang sangat melelahkan. Tanggung jawab ini
dimulai dari masa kehamilan, melewati masa menyusui, dan diakhiri dengan masa
pembentukan kepribadian dan pemberian perhatian kepada anak. Itu semua
merupakan sebuah tugas yang bersifat moril dan materiil. Berapa banyak ibu yang
19 Isma’il Raji Al-Faruqi, Terjemah tauhid: Its Implications For Thought And Life,
(Bandung: Pustaka Jalan Ganesha, 1988), hlm. 17.
20 Musa Sueb, hlm. 59-66.
56
merasakan tubuhnya lemah, uratnya letih, dan bebannya terasa semakin berat akibat
beratnya proses kehamilan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ahqaaf Ayat 15:
          
              
              
    
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang
ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan
umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku
untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan
kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang
Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan)
kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan
Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (Al-
Ahqaaf:15)
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Allah SWT menjadikan syukur
kepada orang tua dengan cara yang telah disebutkan dalam Al-Quran sebagai salah
satu perwujudan rasa syukur kepada Allah.21 Barang siapa yang bersyukur kepada
kedua orang tua, maka sesungguhnya dia telah bersyukur kepada Allah SWT. Allah
berfirman dalam Surat Luqman ayat 14:
      
“bersyukurlahkepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-
Kulah kembalimu”. ( Luqman: 14)
Ditegaskan bahwa sikap rendah diri itu harus dilakukan dengan penuh kasih
sayang agar tidak sampai terjadi sikap rendah diri yang dibuat-buat hanya untuk
sekedar menutupi celaan orang lain atau untuk menghindari rasa malu pada orang
lain, akan tetapi agar sikap merendahkan diri itu betul-betul dilakukan karena
21 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), hlm. 132.
57
kesadaran yang timbul dari hati nurani. Dasar-dasar Islam ialah wawasan tajam
terhadap sistem kehidupan Islam yang sesuai dengan kedua sumber pokok (Al-Quran
dan As-Sunnah) yang menjadi dasar bagi perumusan tujuan dan pelaksanaan
pendidikan Islam. Pendidikan Islam harus memperhatikan dua sudut dalam aspek
kehidupan manusia secara terpadu tanpa adanya pemisah. Seperti aspek jasmaniah
dan ruhaniah, akliyah dan qolbiyah, individu dan sosial, duniawiyah dan
ukhrawiyah. Pendidikan Islam mengarahkan kepada pembentukan insan kamil, yakni
khalifah Allah yang pada hakikatnya ialah menjadi manusia saleh (manusia yang
dapat menjadikan rahmat bagi semesta alam).22
Penanaman nilai birrul walidaini akan menjadi nyata bila seorang anak
berbuat baik kepada kedua orang tuanya lima hal sebagai berikut:
1. Janganlah kamu jengkel terhadap sesuatu yang kamu lihat dilakukan oleh salah
satu dari orang tua atau oleh kedua-duanya yang menyakitkan hati orang lain,
tetapi bersabarlah menghadapi semua itu dari mereka berdua, dan mintalah pahala
Allah atas hal itu, sebagaimana kedua orang tua itu pernah bersikap sabar
terhadapmu ketika kamu kecil.
2. Janganlah kamu menyusahkan keduanya dengan suatu perkataan yang membuat
mereka berdua merasa tercela. Hal ini merupakan larangan menampakkan
perselisihan terhadap mereka berdua dengan perkataan yang disampaikan dengan
nada menolak atau mendustakan mereka berdua, di samping ada larangan untuk
menampakkan kejemuan, baik sedikit maupun banyak.
3. Ucapkanlah dengan ucapan yang baik kepada kedua orang tua dan perkataan yang
manis, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, sesuai dengan
kesopanan yang baik, dan sesuai dengan tuntutan kepribadian yang luhur. Seperti
ucapan: Wahai Ayahanda, wahai Ibunda. Dan janganlah kamu memanggil
orangtua dengan nama mereka, jangan pula kamu meninggikan suaramu di
hadapan orangtua, apalagi kamu memelototkan matamu terhadap mereka berdua.23
22 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, hlm. 132.
23 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Terjemah Lubaib Tafsir
Min Ibni Katsir, (Kairo: Mus’assasah, 1994), hlm. 238.
58
4. Bersikaplah kepada kedua orang tua dengan sikap tawadhu’ dan merendahkan
diri, dan taatlah kamu kepada mereka berdua dalam segala yang diperintahkan
terhadapmu, selama tidak berupa kemaksiatan kepada Allah. Yakni, sikap yang
ditimbulkan oleh belas kasih dan sayang dari mereka berdua, karena mereka
benar-benar memerlukan orang yang bersifat butuh pada mereka berdua. Dan
sikap seperti itulah, puncak ketundukan dan kehinaan yang bisa dilakukan.
5. Hendaklah kamu berdoa kepada Allah agar dia merahmati kedua orang tua dengan
rahmatnya yang abadi, sebagai imbalan kasih sayang mereka berdua terhadap
dirimu ketika kamu kecil, dan belas kasih mereka yang baik terhadap dirimu.24
Maksud dari keterangan di atas adalah Janganlah seorang anak memandang
kedua orang tua kecuali dengan belas kasih, jangan meninggikan suara melebihi
tingginya suara orang tua, jangan mendahului kehendaknya.25 Anak harus
menundukkan pandangan dan membungkukkan diri dihadapan ibu bapaknya, maka
secara otomatis ia tidak boleh berkacak pinggang di depan orang tuanya, apalagi
bersikap menantang. Karena adanya keharusan sikap menunduk di hadapan ibu
bapak ini, maka hal yang harus diperhatikan ialah anak tidak boleh bersujud seperti
ia sujud dalam shalat di hadapan ibu bapaknya karena ingin melakukan perintah ini.
Sebab sujud hanyalah boleh dilakukan manusia terhadap Allah semata-mata26, yang
bertujuan untuk bertawadhu’ kepada kedua orang tua.27
Kalau diaktualisasikan dalam dunia modern ini, justru perlakuan terhadap
orang tua yang sudah lanjut usia sungguh terbalik. Di saat mereka membutuhkan
perhatian lebih dari orang-orang terdekat terutama seorang anak, malahan mereka
kebanyakan diasingkan dari keluarga dengan alasan supaya mendapatkan perhatian
yang lebih baik. Akhirnya, mereka dititipkan di panti jompo atau yang lain. Memang
24 Mustafa al-Maragi Ahmad, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), hlm.
62-63.
25 Muhammad Husain At-Thobatobai, Al-Mizan Fi Tafsir Al-Quran, (Libanan: Yayasan
A’lami, 1991), hlm. 96.
26 Muhammad Thalib, 40 Tanggung Jawab Anak Terhadap Orang Tua, (Yogyakarta:
Ma’alimul Usrah, 2005), hlm. 27.
27 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah Dan Masyarakat, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hlm. 476.
59
memasukkan orang tua ke panti jompo bukanlah tindakan tercela. Tetapi alangkah
lebih baik jika seorang anak sendiri yang merawatnya. Bukankah dulu seorang anak
dirawat orang tuanya sendiri. Dulu orang tua sangat takut berpisah dengan anak
tetapi mengapa sekarang pada usia lanjut dipisah dengan dititipkan di panti jompo
dan lain sebagainya.28 Dalam suatu kesempatan, Rasulullah pernah berkata bahwa
orang yang diberi kesempatan oleh Allah untuk merawat kedua orangtuanya yang
lanjut usia merupakan keuntungan yang sangat besar. Namun sebaliknya, bagi
mereka yang hanya bisa menyaksikan orang tuanya sampai lanjut, tapi tidak berbuat
kebaikan terhadapnya, maka akan sangat merugi di akhirat kelak.29 Rasulullah SAW
bersabda:
“Sesungguhnya nista, sungguh nista, sungguh nista!ditanyakan kepada
Rasulullah, “siapakah wahai Rasul?” Beliau bersabda, “orang yang bisa
menerima kedua orangtuanya atau salah satunya yang sudah berusia lanjut,
tetapi ia tidak bisa masuk surga”. (H.R. Muslim)30
Memasukkan orang tua ke panti jompo jauh lebih lengkap dan terjamin
tetapi alangkah lebih baiknya jika kita sendiri yang merawat mereka. Bukankah dulu
seorang anak dirawat sendiri oleh mereka, benar bahwa fasilitas di panti jompo jauh
lebih lengkap dan terjamin. Tetapi rasa tenang tinggal di rumah sendiri dengan
ditemani anak-anak dan cucu-cucu tidak akan diperoleh di panti jompo.31 Inti ajaran
Islam yang dibawa Rasulullah saw tidak lain adalah membentuk manusia yang
berakhlak dan memiliki moralitas yang baik. Rasulullah sendiri
menyatakan:”sesungguhnya aku diutus tidak lain dalam rangka menyempurnakan
akhlakul karimah”. Oleh karena itu Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
akhlak, ia merupakan ruh dari semua perbuatan, aktivitas, kreasidan karya manusia.
Kualitas perilaku seseorang diukur dari faktor moral/akhlak ini, sebagai cermin dari
28 Achmad Yani Arifin, Berbakti Kepada Orang Tua, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008),
hlm. 62.
29 Achmad Yani Arifin, Berbakti Kepada Orang Tua, hlm. 45-48.
30 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Sankapurah Pinang: Sulaiman marai, .), hlm. 420.
31 Achmad Yani Arifin, Berbakti Kepada Orang Tua, hlm. 62.
60
kebaikan hatinya. Rasulullah saw dalam sebuah hadits mengatakan:”ketahuilah
bahwa didalam jasad manusia itu ada segumpal daging, bila ia baik akan baiklah
manusia itu dan apabila ia rusak, rusak pulalah manusia itu. Ketahuilah, itu adalah
hati”.32
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Pentingnya
kedudukan akhlak dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyyah (sunnah dalam
bentuk perkara) Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan oleh imam Akhmad yaitu:
“sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak, dan diriwayatkan oleh
imam Tarmizi yaitu: “mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang
paling baik akhlaknya”. dan akhlak Nabi Muhammad, yang diutus menyempurnakan
akhlak manusia itu disebut akhlak Islam atau akhlak Islami, karena bersumber dari
wahyu Allah yang kini terdapat dalam Al-Quran yang menjadi sumber utama agama
dan ajaran Islam.33
Pendidikan akhlak merupakan bagian besar dari isi pendidikan Islam. Posisi
ini terlihat dari kandungan Al-Quran sebagai referensi paling penting tentang akhlak
bagi kaum muslimin, individu, keluarga, masyarakat dan umat. Akhlak merupakan
buah Islam yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan serta membuat hidup
dan kehidupan menjadi baik. Akhlak merupakan alat kontrol psikis dan sosial bagi
individu dan masyarakat. Tanpa akhlak masyarakat manusia tidak akan berbeda dari
kumpulan hewan.34 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh
manusia sekarang ini, tidak sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan
perilakunya, baik ia sebagai manusia yang beragama, maupun sebagai mahkluk
individu dan sosial. Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan
manusia atas kemajuan yang dialami ditandai dengan adanya kecenderungan
menganggap bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidupnya adalah nilai
materiil, sehingga manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-
32 Zulkarnain, Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hlm. 8.
33 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010), hlm. 348-349.
34 Hery Noer Aly dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani,
2003), hlm. 89.
61
nilai spiritual yang sebenarnya berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan
akhlak manusia.35
Jadi dapat disimpulkan penanaman nilai birrul walidaini adalah berbuat
baik kepada orang tua yakni berbakti kepada orang tua. Allah memerintahkan kepada
manusia untuk berbakti kepada orang tua lebih-lebih saat mereka sudah usia lanjut.
Perintah untuk tetap berbakti kepada orang tua yang sudah lanjut usia
mengindikasikan bahwa ketaatan kepada orang tua harus dilakukan secara
menyeluruh. Menyeluruh artinya dalam seluruh hidup seorang anak. Selagi seorang
anak masih hidup di dunia maka seorang anak wajib berbakti kepada mereka.
Menyeluruh juga bisa diartikan berbakti kepada orang tua secara total baik dengan
hati, lisan, maupun anggota tubuh. Dengan hati seorang anak dapat mendoakan orang
tua. Dengan lisan seorang anak dapat bertutur kata dengan baik kepada mereka.
Dengan anggota tubuh seorang anak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan
mereka di saat mereka sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhannya sendiri.
35 Mahjuddin, Kuliah Akhlak-Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hlm. 39.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
nilai-nilai pendidikan dalam Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 dan aktualisasinya dalam
dunia modern yaitu:
1. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 yaitu
pertama, pendidikan akidah yakni Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk
mengesakan-Nya dalam ibadah dan dalam penyembahan serta melarang
mereka menyekutukan Allah dengan apa pun atau siapa pun.Oleh sebab itu,
yang berhak mendapat penghormatan tertinggi hanyalah yang menciptakan
alam dan semua isinya. Dia-lah yang memberikan kehidupan dan kenikmatan
pada seluruh makhluk-Nya. Maka apabila ada manusia yang memuja-muja
benda-benda alam ataupun kekuatan ghaib yang lain, berarti ia telah sesat,
karena kesemua benda-benda itu adalah makhluk Allah yang tak berkuasa
memberi manfaat dan tak berdaya untuk menolak kemudaratan serta tak berhak
disembah.kedua, Pendidikan birrul walidaini (berbuat baik kepada kedua orang
tua) yakni sesudah Allah memerintahkan supaya jangan menyembah selain Dia
lalu Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka benar-benar
memperhatikan urusan kebaktian kepada kedua ibu bapak dan tidak
menganggapnya sebagai urusan yang remeh, dengan menjelaskan bahwa
Tuhanlah yang lebih mengetahui apa yang tergetar dalam hati mereka, apakah
mereka benar-benar mendambakan kebaktiannya kepada kedua ibu bapak
dengan rasa kasih sayang dan penuh kesadaran, ataukah kebaktian mereka
hanyalah pernyataan lahiriyah saja, sedang di dalam hati mereka sebenarnya
durhaka dan membangkang. Itulah sebabnya Allah menjanjikan bahwa apabila
mereka benar-benar orang-orang yang berbuat baik, yaitu benar-benar mentaati
tuntunan Allah, berbakti kepada kedua ibu bapak dalam arti yang sebenarbenarnya,
maka Allah akan memberikan ampunan kepada mereka atas
perbuatannya.
63
2. aktualisasinilai-nilai pendidikan berdasarkan Q.S Al-Isra’ ayat 23-25 dalam
dunia modern yaitupertama, pendidikan akidah di sekolahan hendaknya
mengajarkan kepada peserta didik bertauhid meng-Esakan Allah bahwa tidak
ada tuhan yang patut disembah selain Allah Tuhan Yang Maha Esa. Jumlah
jam pelajaran yang terbatas dengan materi yang diserat menyebabkan guru
agama mengambil jalan pintas yang paling mudah, yaitu melihat pendidikan
agama tidak lebih sebagai pelajaran daripada sebagai pendidikan. Sehingga
pendekatan yang dipakainya adalah pendekatan ilmu yang lebih menyentuh
ranah kognitif. Akibat yang mudah diharapkan dari pendekatan semacam itu
adalah bahwa peserta didik hanya akan menumpuk bahan agama sebagai
pengetahuan secara kuantitatif, dan tidak atau kurang kualitatif dalam
pembentukan pribadi. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang lebih
komprehensif yang menyentuh seluruh aspek pribadi, yang sering disebut
sebagai pendekatan holistik atau integralistik.kedua, pendidikan birrul
walidaini (berbuat baik kepada kedua orang tua) dalam dunia modern sekarang
inijustru perlakuan terhadap orang tua yang sudah lanjut usia sungguh terbalik.
Di saat mereka membutuhkan perhatian lebih dari orang-orang terdekat
terutama seorang anak, malahan mereka kebanyakan diasingkan dari keluarga
dengan alasan supaya mendapatkan perhatian yang lebih baik. Akhirnya,
mereka dititipkan di panti jompo atau yang lain.Memang memasukkan orang
tua ke panti jompo bukanlah tindakan tercela. Tetapi alangkah lebih baik jika
seorang anak sendiri yang merawatnya. Bukankah dulu seorang anak dirawat
orang tuanya sendiri. Dulu orang tua sangat takut berpisah dengan anak tetapi
mengapa sekarang pada usia lanjut dipisah dengan dititipkan di panti jompo
dan lain sebagainya.
B. Saransaran
Dari keterangan di atas penulis mempunyai saran-saran yaitupertama,
pendidikan akidah di sekolahan hendaknya mampu mengajarkan aqidah peserta
didik sebagai landasan keberagamaan. Dengan kata lain, akidah diajarkan di
sekolah untuk menjaga akidah peserta didik atau menjaga keimanan dan
64
ketaqwaannya. Oleh karena itu, pendidik yang mengajar agama harus beragama
yang sama dengan agama peserta didik. Pendekatan yang diberikan juga tidak
banyak menekankan pada kajian kritis yang kritis. Kalau menggunakan
argumentasi rasional (dalil aqli) sasarannya adalah untuk memperkuat akidah tadi.
Dalam waktu bersamaan, pengertian menjaga akidah juga hendaknya meliputi
menjaga pemahaman akidah yang diikuti oleh peserta didik.Jumlah jam pelajaran
yang terbatas dengan materi yang diserat menyebabkan guru agama mengambil
jalan pintas yang paling mudah, yaitu melihat pendidikan agama lebih sebagai
pelajaran daripada sebagai pendidikan. Sehingga pendekatan yang dipakainya
adalah pendekatan ilmu yang lebih menyentuh ranah kognitif. Akibat yang mudah
diharapkan dari pendekatan semacam itu adalah bahwa peserta didik hanya akan
menumpuk bahan agama sebagai pengetahuan secara kuantitatif, dan tidak atau
kurang kualitatif dalam pembentukan pribadi. Dengan demikian diperlukan
pendekatan yang lebih komprehensif yang menyentuh seluruh aspek pribadi
dengan adanya penambahan jam pelajaran setiap minggunya.kedua, pendidikan
birrul walidaini(berbuat baik kepada kedua orang tua) seharusnya seorang anak
memandang kedua orang tua kecuali dengan belas kasih, jangan meninggikan
suara melebihi tingginya suara orang tua, jangan mendahului kehendaknya.Anak
harus menundukkan pandangan dan membungkukkan diri dihadapan ibu
bapaknya, maka secara otomatis ia tidak boleh berkacak pinggang di depan orang
tuanya, apalagi bersikap menantang.Pada masa sekarang, memasukkan orang tua
ke panti jompo jauh lebih lengkap dan terjamin tetapi alangkah lebih baiknya jika
seorang anak sendiri yang merawat mereka. Bukankah dulu seorang anak dirawat
sendiri oleh mereka, benar bahwa fasilitas di panti jompo jauh lebih lengkap dan
terjamin. Tetapi rasa tenang tinggal di rumah sendiri dengan ditemani anak-anak
dan cucu-cucu tidak akan diperoleh di panti jompo.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Zaenal (3102044), Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surah Al A’raf ayat
199, Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2007.
Abdul Azhim Sa’id, Ukhuwah Imaniyyah Persaudaraaan Iman, Jakarta: Qisthi,
2005.
Abu Bakar Bahrul, Terjemah Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru, 1990.
Abu Lait Samarqandy Abu, Terjemah Tanbihul Ghafilin, Surabaya, Mutiara Ilmu,
2000.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Agil Husin Al-MunawarSaid, Al-Quran Membangun Kesalehan Hakiki, Jakarta:
Ciputat Press, 2002.
Ahmad Ludjito, Guru Besar Bicara: Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam,
Semarang: Rasail Media Group, 2010.
Aly As Shabuny Muhammad, Al-Tibyan Fi ‘Ulum Al-Quran, Bairut: Alim Al-
Kutub, 1985.
Al-Qattan Mana’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Bogor: Pustaka
Literatur Antarnusa, 2007.
Al-Maragi Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 1993.
Al-Ansari Abdullaah bin Ibrahim, Fathul Bayan Fi Maqosidil Quran, Bidaulatil
Qitrin: Ihya’ Turosil Islam, 1248.
Al-Fahham Muhammad, Terjemah Sa’addah Al-Abna’ Fii Birr Al-Ummahat Wa Al-
Aba’, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006.
Alu Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq, Terjemah Lubaib
Tafsir Min Ibni Katsir, Kairo: Mus’assasah, 1994.
Al-Fauzan Abdul Aziz, Fikih Sosial Tuntunan dan Etka Hidup Bermasyarakat,
Jakarta: Qisthi Press, 2007.
Al-Fahham Muhammad, Terjemah Sa’addah Al-Abna’ Fii Birr Al-Ummahat Wa Al-
Aba’, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006.
Al-Qarni Aidh, Tafsir Muyassar, Jakarta: Qisthi Press, 2007.
An-Nawawi Muhammad, Murohu Lubaid Tafsir An-Nawawi, Semarang: Toha
Putra,.
An-Nahlawi Abdurrahman, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah Dan Masyarakat,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2006.
As Siraji Raghib, Cara Cerdas Hafal Al-Qur’an, Solo: Aqwam, 2010.
Azizy A. Qodri, Pendidikan untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu,
2003.
Baidam Nashruddin Baidam, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Bahreisy Salim dan Bahreisy Said, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1990.
Baidan Nashrudin, Methodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2005.
bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh Abdullah, Terjemah Lubaib
Tafsir Min Ibni Katsir, Kairo: Mus’assasah, 1994.
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah Indonesia Inggris, Solo: Qamari,
2008.
Departemen Agama, Al-Quran dan Tafsirnya, Semarang: PT. Citra Effhar, 1993.
Departemen Agama, Al-Quran dan Tafsirnya, Jakarta: Depag., 1990.
Departemen Agama, Tafsir Al-Quran, Semarang: PT. Citra Effhar, 1993.
Huda Faiq Jauharotul (3101332), Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Menurut Al-Qur’an
surat At Taghabun ayat 14, Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah,
2008.
Hasbi Ash-Shiddieqy T.M., Al-Bayaan, Bandung: PT Al-Ma’arif,. .
Hakim Abdul Hamid, As-Sullam, Jakarta: Saadiyyah Putra,. .
Hery Noer Aly dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, JAkarta: Friska Agung Insani,
2003.
Husain At-Thobatobai Muhammad, Al-Mizan Fi Tafsir Al-Quran, Libanan: Yayasan
A’lami, 1991.
Ibn Rusn Abidin, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009.
Jauhari Muchtar Heru, Fiqih Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda karya, 2005.
Jalalain Imam, Tafsir Jalalain, Surabaya, Darul Ilmi,. .
Junaedi Mahfud, Ilmu Pendidikan Islam Filsafat dan Pengembangan, Semarang:
Rasail Media Group, 2010.
Khalid Amr, Spiritual Al-Quran, Yogyakarta: Darul Hikmah, 2009.
Malik Karim Amrullah Abdul, Tafsir Al-Azhar, Singapura: Pustaka Nasional PTE
LTD, 1999.
Mahjuddin, Kuliah Akhlak-Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulia, 1991.
Menteri Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, Jakarta: Menteri
Agama Republik Indonesia, 1990.
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010.
Mulyati Sri, Nilai-nilai pendidikan keimanan anak dalam al-Quran surat al Jin ayat
20, Semarang : Perpustakaan fakultas tarbiyah, 2010.
Munir A. dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Mustafa al-Maragi Ahmad, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1993.
Mubarok Latif Zaky, dkk., Akidah Islam, Yogyakarta: Uii Press, 2001.
Mustafa al-Maragi Ahmad, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1993.
Muslim Imam, Shahih Muslim, Sankapurah Pinang: Sulaiman marai, .
Naim Ngainun , Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.
Nikmatul Ulfa, Nilai-nilai pendidikan social dalam Al Qur’an surat Al Ma’un,
Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, 2008.
Quraish Shihab M., Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Quraish Shihab. M , Membumikan Al-Quran, Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007.
Quthb Sayyid, Fi Zhilalil-Quran, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Raji Al-Faruqi Isma’il, Terjemah tauhid: Its Implications For Thought And Life,
Bandung: Pustaka Jalan Ganesha, 1988.
Ristianto Sugeng, Tauhid Kunci Surga Yang Diremahkan, Semarang: Rasail, 2010.
Setyosar Punaji, Metode penelitian pendidikan, Jakarta : Kencana, 2010.
Shamad Hamid A, Benalu Benalu Aqidah, Jakarta: Qisthi, 2005.
Sueb Musa, Urgensi Keimanan Dalam Abad Globalisasi, Jakarta: Padoman Ilmu
Jaya, 1996.
Supiana dan Karman M., Ulumul Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, Bandung:
Pustaka Islamika, 2002.
Syadali Ahmad dan Rofi’i Ahmad, Ulumul Quran 1, Bandung: CV Pustaka Setia,
2000.
Taufiq Ahmad dan Rohmadi Muhammad, Pendidikan Agama Islam Pendidikan
Karakter Berbasis Agama, Surakarta: Yuma Pressindo, 2010.
Thalib Muhammad, 40 Tanggung Jawab Anak Terhadap Orang Tua,Yogyakarta:
Ma’alimul Usrah, 2005.
Tim Departemen Agama Fisif-ut , Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Universitas
Terbuka, 2005.
Ya’kubi Nizam Muhammad Saleh dan Shadik Muhammad, TerjemahQurratu Al-
Ainaini Fi Fadhail Birri Al-Wahdain Wa 55 Hikayah Fi Birri Al-Walidaini
Li Thiflika, Solo: Ziyad Visi Media, 2009.
Yani Arifin Achmad, Berbakti Kepada Orangtua, Yogyakarta: Insan Madani, 2008.
Yusuf Ali Anwar, Studi Agama Islam,Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Zulkarnain, Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama Lengkap : Khanif
TTL : Demak, 21 Februari 1987
Nomor Induk Mahasiswa : 073111029
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Alamat Asal : Lengkong Rt: 003/IIV Sayung Demak
Pendidikan Formal :
1. SDN Sayung IV, lulus tahun 2001
2. MTs NS Sayung, lulus tahun 2004
3. MAK Futuhiyyah Mranggen , lulus tahun tahun 2007
4. IAIN Walisongo Semarang Fak. Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama
Islam angkatan 2007, lulus tahun 2012
Yang menyatakan,
Khanif

No comments: