Tuesday, 6 May 2014

Faktor-Faktor Inilah yang Bikin Penanganan Hepatitis Jadi Terhambat

Yogyakarta, Hepatitis merupakan penyakit radang hati yang boleh jadi sangat mematikan bila tidak diobati. Kini hepatitis juga masuk dalam jajaran penyakit infeksi paling mematikan di dunia. Sayangnya ada beberapa faktor yang membuat penanganan hepatitis menjadi kurang optimal.

Hal tersebut dituturkan oleh Dr David Muljono, Kepala Penyakit Menular yang Sedang Timbul, di Lembaga Eijkman, Jakarta. Dalam rangkaian seminar bertajuk "Penelitian Inovatif Australia-Indonesia" itu, ia menuturkan bahwa setidaknya ada enam faktor yang menjadi tantangan dalam penanggulangan hepatitis. 

Faktor pertama, menurut David, adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaran mengenai hepatitis. Hal ini terjadi baik di kalangan masyarakat yang berisiko tinggi terinfeksi maupun di kalangan medis dan pembuat kebijakan.

"Sebenarnya terjadi kekurangan pengetahuan dan kesadaran (mengenai hepatitis) pada populasi yang berisiko, pada penyedia layanan kesehatan, termasuk dokter dan pembuat kebijakan," tutur dokter yang tahun 2011 lalu dinobatkan sebagai Guru Besar Luar Biasa di Universitas Hasanudin, Makassar itu. 

Masalah yang dihadapi tim medis saat mendiagnosis serta melakukan pengobatan juga menjadi kendala yang lain. David menjelaskan bahwa kesukaran kerap terjadi pada pengobatan untuk hepatitis B, pasalnya penanganan untuk hepatitis B bersifat kompleks, harus dilakukan dalam jangka panjang, dan bahkan pada beberapa kasus harus dilakukan seumur hidup. Terlepas dari upaya itu, hepatitis B tidak benar-benar bisa disembuhkan. 

Biaya pengobatan yang mahal dan proses yang rumit, ujar David, juga merupakan kendala dalam penanganan hepatitis. Sebab kini untuk mengobati hepatitis, orang masih harus merogoh kocek dalam-dalam. 

"Pengobatannya juga mahal dan kompleks. Itu membutuhkan tes laboratorium molekular yang mutakhir karena kita harus menganalisa virus, genotipe, dan lain-lain. Metode pengobatannya juga rumit dan butuh biaya mahal," terangnya dalam seminar yang dihelat di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM), seperti ditulis pada Selasa (6/5/2014).

Hal lain yang dapat menjadi faktor penghambat ialah kurangnya data yang komprehensif, kurangnya kemampuan medis negara yang bersangkutan, dan respon global yang belum terlihat kentara. Meski demikian, menurut David, sudah terlihat aksi konkret di Indonesia. Misalnya pada tahun 2010 lalu telah dibuat komitmen politik oleh Kementerian Kesehatan. 

No comments: