MEMPERINGATI MAULID NABI ?
Oleh : Fendi Saputra
Pendahuluan
Telah
menjadi tradisi setiap bulan Rabi’ul Awwal sebagian besar kaum muslimin
terutama di Indonesia memperingati Maulid Nabi saw, dari lingkup terkecil di
desa-desa atau kampung hingga lingkup nasional, bahkan secara resmi hari Maulid
Nabi ini menjadi salah satu hari libur nasional. Sudah tentu saya dan Anda
tidak menafikan adanya sebagian komunitas kontra dengan tradisi semacam ini,
sebagaimana yang sudah saya paparkan dalam tulisan saya yang berjudul
“MENGAMBIL HIKMAH
MAULID NABI SAW SEBAGAI WUJUD MENSYKURI NIKMAT ALLAH SWT” yang lalu. Masalah
pro kontra seperti ini biasa dalam memandang dan menilai sesuatu dalam ranah
yang oleh ulama
sering disebut furu’iyyah.
Bagi
yang kontra terhadap tradisi Maulid Nabi boleh saja dengan segala dalil atau
argumen sesuai dengan kitab yang diajarkan ulama yang diikutinya. Tetapi jika
merasa pendapat merekalah satu-satunya yang mutlak benar setara dengan
kemutlakan kebenaran al-Qur’an dan as-Sunnah itu sendiri, sedangkan semua
pendapat ulama yang berbeda dengan mereka salah, sesat, neraka, tentu hati-hati
dan jangan gegabah. Yang benar saja, apakah orang berkumpul di suatu majelis,
bersilaturrahim, bertausiyah, mengkaji kembali biografi Rasulullah
saw selaku pembawa risalah, uswah hasanah, dan rahmatan lil ‘alamin, dengan
berbagai hambatan, tantangan, dan gangguan yang tidak ringan dalam perjuangan
beliau dan para sahabatnya, akan masuk neraka ? Apakah memang benar ada teks
(nas) yang sharih (eksplisit) dan qath’i (pasti), baik dari al-Qur’an maupun
as-Sunnah, yang tidak ada peluang pemahaman (ijtihad) selain yang eksplisit
dalam teks itu sendiri, bahwa siapa yang mengadakan peringatan Maulid Nabi
adalah melakukan sesuatu yang haram dan masuk neraka ?
Sudah
banyak ulama menjelaskan tentang Maulid Nabi
Sudah
banyak ulama yang menjelaskan tentang Maulid Nabi dengan segala dalil atau
argumennya, baik dalam bentuk buku yang dipublikasikan maupun dalam bentuk
blog/situs di media internet, seperti yang dilakukan oleh KH. Muhammad Idrus Ramli. Meskipun demikian mereka tetap tawadhu’ dan tidak
seorang pun yang gegabah menyatakan bahwa mengadakan peringatan Maulid Nabi
adalah wajib dan siapa yang kontra atau tidak mau melakukannya masuk neraka.
Mereka memahami benar bahwa masalah ini hanya berkisar antara sesuatu yang
mubah/jaiz dan sunnah/mustahab sejalan dengan kondisi masyarakat yang
bersangkutan.
Bagi
komunitas tertentu yang memang sehari-hari sudah bergumul dengan aktivitas
pengkajian, diskusi, kepesantrenan, halaqah-halaqah tertentu, dan sejenisnya,
tentang ke-Islaman umumnya dan biografi Rasulullah saw khususnya, mungkin tidak
memerlukan lagi kegiatan semacam peringatan Maulid Nabi ini. Tetapi bagi
komunitas awam yang tentunya mayoritas, lebih-lebih di zaman sekarang ini yang
berbagai media terutama televisi dan internet penuh dengan suguhan-suguhan yang
destruktif tehadap moral (akhlak) masyarakat, apakah salah (sesat) mengadakan
peringatan Maulid Nabi sebagai salah satu solusi media dakwah ? Kecuali jika
dalam kegiatan itu ada unsur-unsur yang jelas diharamkan menurut syariat.
Dalam
konteks di tengah-tengah masyarakat dan bangsa –yang menurut ahlinya- sedang
dilanda krisis multi dimensional termasuk krisis moral, karakter, atau akhlak
ini, maka peringatan Maulid Nabi sangat penting dan diharapkan dapat bermanfaat
(konstruktif) sebagai salah satu media dakwah. Maka jika ada yang menanyakan
tentang dalil boleh bahkan dianjurkannya mengadakan peringatan ini, jawabnya
tentu tidak ada, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah jika yang diminta adalah
dalil yang sharih (eksplisit) dan qath’i (pasti) yang mutlak kebenarannya,
sebagaimana tidak akan ditemukan juga dalil seperti itu bagi yang
mengharamkannya, juga dalam tradisi prosesi pencucian ka’bah
misalnya. Tetapi jika yang diminta dalil-dalil yang bersifat ‘am (umum)
tentu banyak sebagai yang sudah banyak dijelaskan oleh para ulama yang klasik
ataupun yang kontemporar.
Ayat
al-Qur’an tentang umumnya mensyukuri nikmat
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih’” (QS. Ibrahim, 14 : 7)
Apa
relevansi ayat itu dengan peringatan Maulid Nabi ? Peringatan Maulid Nabi
diadakan salah satunya dalam rangka mensyukuri nikmat Allah, bahkan nikmat yang
agung dengan kelahiran Muhammad bin Abdullah yang kemudian sebagai pembawa
risalah yang universal. Apakah kelahiran Nabi saw demikian itu bukan nikmat
yang agung ? Sedangkan Allah sendiri menegaskan :
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya’,
21 : 107).
Dalam
hadits juga ditegaskan :
يا أيها الناس إنما أنا رحمة مهداة
(مستدرك الحاكم 1/ 44)
“Hai
manusia ! Sesungguhnya aku hanyalah rahmat yang dihadiahkan” (Mustadrak Al-Hakim, 1 : 44)
Di
samping untuk mewujudkan rasa syukur, peringatan Maulid Nabi juga untuk
mengungkapkan rasa kegembiraan atas kelahiran beliau saw sebagai rahmat Allah
itu. Bolehkah bergembira karena dikaruniai rahmat oleh Allah? Ayat berikut
menjawabnya
“Katakanlah:
‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan’ “ (QS. Yunus, 10 : 58).
Ayat
al-Qur’an tentang pembelajaran dan peringatan dengan mengkaji ulang biografi
Nabi
Dalam
peringatan Maulid Nabi intinya sebagai media untuk pembelajaran dan peringatan
kepada masyarakat dengan mengkaji ulang kisah (biografi) salah seorang Rasul,
yaitu Nabi Muhammad saw. Bukankah ayat berikut menegaskan:
“Dan
semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang
dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu
kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS. Hud, : 20).
Ayat
al-Qur’an tentang hari kelahiran (maulid)
Dalam
peringatan Maulid Nabi saw biasanya ada doa ataupun shalawat. Bolehkah berdoa
dan bershalawat berkaitan dengan hari kelahiran (maulid) ini ? Dalam ayat
berikut tidak hanya berkaitan dengan hari kelahiran (maulid), bahkan berkaitan
juga dengan hari kematian :
“Kesejahteraan
atas dirinya pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meninggal dan pada hari
ia dibangkitkan hidup kembali”
(QS Maryam, 19 : 15)
وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ
وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا (مريم: 33)
“Dan
kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari
aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS Maryam, 19 : 33)
Ayat
itu untuk Nabi Yahya as, bukan untuk Nabi Muhammad ? Benar, makna eksplisitnya
seperti itu. Tetapi ayat itu mengandung pelajaran tentang kenapa di hari-hari
yang disebutkan dalam ayat itu perlu doa, keselamatan atau kesejahteraan ?
Sayid Thanthawi menjelaskan dalam tafsirnya Al-Wasith :
“Kesejahteraan atas dirinya pada hari
ia dilahirkan”maksudnya : dan ucapan selamat dan keamanan baginya pada hari
ibunya melahirkannya “dan pada hari ia meninggal”yaitu ia berpisah dengan alam
dunia ini, “dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali”untuk perhitungan di
hari kiamat. Allah swt mengkhususkan dengan menyebutkan tiga waktu ini karena
lebih memerlukan pemeliharaan daripada waktu-waktu yang lain.
Sufyan
bin Uyainah berkata, “Seseorang lebih memerlukan keselamatan pada tiga waktu :
pada hari ia dilahirkan karena ia mengetahui dirinya lahir dari kandungan, pada
hari ia meninggal karena ia tidak melihat lagi orang lain, dan pada hari
dibangkitkan kembali agar ia mengetahui berada di padang mahsyar yang luas.
(Al-Wasith, Sayid Thanthawi, hlm. 2768)
Jelas,
meskipun secara eksplisit ayat di atas untuk Nabi Yahya as, tetapi pelajarannya
berlaku untuk seluruh manusia. Dengan demikian, jika dalam memperingati hari
kelahiran yang di dalamnya terdapat doa, ucapan selamat atau semoga mendapat
kesejahteraan untuk manusia umunya dibolehkan, lebih-lebih untuk hari kelahiran
(maulid) Nabi Muhammad saw yang dikenal dengan shalawat itu. Dalam konteks ini
pula boleh saja jika ada sebagian komunitas memperingati atau merayakan haul
(hari wafat) seorang ulama (syaikh)
yang sangat dihormati oleh pengikutnya.
Lebih
jelas lagi yang langsung terkait dengan hari kelahiran (maulid) nabi Muhammad
saw dijelaskan dalam hadits berikut :
“Dan Nabi saw ditanya tentang puasa hari
Senin. Jawab beliau, ‘Hari Senin itu hari aku dilahirkan dan aku diutus’ “ (Shahih Muslim, 2 : 819).
Apakah
puasa sunnah hari Senin sama sekali tidak terkait dengan hari kelahiran Nabi
saw ? Dengan kata lain, apakah puasa sunnah hari Senin bukan dijadikan salah
satu bentuk penghormatan atau peringatan atas hari maulid Nabi saw ?
Kesimpulan
:
- Berbeda pendapat (ikhtilaf)
dalam ranah yang sifatnya furu’iyyah (cabang) yang dalilnya zhanniyyah
(dugaan kuat) atau yang disitilahkan dengan ijtihadiah sah-sah saja dalam
syariat, termasuk dalam masalah maulid Nabi.
- Peringatan Maulid Nabi dalam
arti menjadikannya sebagai salah satu media dakwah yang di dalamnya
dilakukan tausiyah, mau’idhah (pembelajaran), kajian ulang biografi Nabi
saw, dan amar ma’ruf dan nahi munkar pada umumnya, serta adanya doa
dan shalawat, bukanlah suatu perbuatan yang sama sekali tanpa dalil ayat-ayat
al-Qur’an.
- Dalam konteks pesatnya kemajuan
teknologi informasi sekarang ini yang penuh dengan suguhan-suguhan yang
tidak mendidik, bahkan dapat merusak moral, karakter, atau akhlak manusia,
maka peringatan Maulid Nabi saw dinilai penting sebagai salah satu solusi
dakwah yang bermanfaat bagi masyarakat.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ
شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
(إبراهيم: 7)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
(الأنبياء: 107)
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ
فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (يونس: 58)
وَسَلَامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ
وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا (مريم: 15)
وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ
وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا (مريم: 33)
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ
أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ
وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (هود: 120)
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ؟
قَالَ: ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ، وَيَوْمٌ بُعِثْتُ (صحيح مسلم 2/ 819)
{ وَسَلاَمٌ
عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ } أى : وتحية وأمان له منا يوم ولادته { وَيَوْمَ يَمُوتُ
} ويفارق هذه الدنيا { وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَياً } للحساب يوم القيامة . وخص –
سبحانه – هذه الأوقات الثلاثة بالذكر ، لأنها أحوج إلى الرعاية من غيرها .
قال سفيان بن عيينة : أحوج ما يكون
المرء فى ثلاثة مواطن : يوم يولد فيرى نفسه خارجاً مما كان فيه . ويوم يموت فيرى
قوماً لم يكن عاينهم . ويوم يبعث فيرى نفسه فى محشر عظيم (الوسيط لسيد طنطاوي ص:
2768، بترقيم الشاملة آليا) .
No comments:
Post a Comment